HIDUPKATOLIK.COM – Aksi damai untuk protes perusahaan tambang dilakukan dengan mengajak perempuan menenun di tempat tambang. Kini aktivitas menenun bernilai ekonomi.
DIRINYA tak menyangka akan mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien Award (YTHA) dari Kementerian Lingkungan Hidup. YTHA adalah yayasan yang peduli kepada upaya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Nama penghargaan ini diambil dari nama pengacara dan pejuang HAM Indonesia, Yap Thiam Hien.
Saat menerima penghargaan tahun 2017, Aleta Kornelia Baun mengatakan ia hanya orang kecil yang diberi kesempatan Tuhan untuk melayani orang-orang yang senasib dengannya. “Tuhan memberi sedikit kekuatan pada saya untuk tampil bersuara soal ketidakadilan.
Selain penghargaan YTHA, sebelumnya tahun 2013, Mama Aleta juga mendapatkan penghargaan Goldman Environment Prize di San Fransisco, California, Amerika Serikat. Sebuah penghargaan internasiolan kepada pada para aktivis lingkungan dari seluruh dunia.

Tenunan Protes
Bagi banyak orang, penghargaan ini sangat layak diterima Mama Aleta, karena perjuangannya mempertahankan lingkungan dari cengkeraman tambang di Gunung Mutis yang memiliki tiga puncak yaitu Nuaf Muna, Nuaf Nefomasi, dan Nuaf Nupala di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Gunung ini terkenal karena cagar alam dengan kekayaan mermernya. Mutis memiliki keragaman hayati tinggi.
Ia merupakan daerah hulu untuk semua aliran sungan utama Timor Barat, yang memasok air minum dan air irigasi bagi penduduk di pulau itu. Suku terbesar di NTT, Suku Dawan menghuni wilayah itu.
Tak hanya itu, masyarakat mencari makanan dan obat-obatan dari hutan, dan menanam hasil bumi di tanah subur itu. Bahkan, pewarna alami tenunan diperoleh dari tumbuh-tumbuhan alam di gunung tersebut. Hubungan spiritual masyarakat sekitar dengan hutan di Gunung Mutis sangat kuat. Tak heran kala alam hendak diganggu oleh penambang, muncul berbagai penolakan. Mama Aleta tampil menjadi motor penggerak.
Mama Aleta mengatakan, tahun 1996 dirinya sudah berjuang. Dia menjadi ‘musuh’ banyak perusahaan maupun pemerintah daerah saat itu. Nyawanya beberapakali terancam. Mereka pernah menawarkan hadiah pada siapapun yang dapat menghabisi nyawa Mama Aleta. “Saya hidup tidak tenang. Setiap malam saya tidak tidur selalu merasa sedang diawasi. Nyawa saya terancam,” ungkapnya.
Syukur, Mama Aleta selamat dari pencobaan itu. Ia lari menyelamatkan diri ke dalam hutan bersama anaknya yang masih bayi. Warga lain yang terus berjuang ditahan dan dipukuli. Namun, mereka tetap gigih berjuang. Bukannya takut, Mama Aleta malah lebih tampil terbuka. Ia mengorganisir ratusan warga desa untuk melakukan aksi damai, menduduki tempat-tempat penambangan marmer. Ada 150 perempuan melakukan protes sambil menenun. Berkat perjuangan itu, tahun 2007, Mama Aleta dan warga berhasil menghentikan perusakan tanah hutan sakral di Gunung Mutis. Perusahaan tambang itu pun hengkang.
Mama Aleta bercerita, hadirnya tambang ini karena tahun 1980-an pemerintah mengeluarkan izin-izin tambang batu marmer di Pulau Timor. Warga tidak tahu. Perusahaan masuk hutan, tebang pohon sembarangan. Bencana datang, tanah longsor sampai pencemaran air. Perusahaan terus membabat hutan dan memotong batu marmer dari gunung. “Ini ancaman bagi kami sebab warga hidup dari alam.”
Dari satu desa ke desa lain, Mama Aleta sambangi. Desa-desa itu terletak berjauhan. Kadang mereka harus berjalan enam jam untuk mencapai desa satu ke desa lain. Ia meyakinkan orang-orang untuk bergabung. Ia mengingatkan mereka akan keyakinan bahwa tidak dapat hidup tanpa unsur-unsur alam. Ia juga menekankan kepada perempuan bahwa hutan menganugerahi mereka zat-zat pewarna tenun.
Dengan aksi damai, warga pun makin banyak mendukung. Tahun 2007, mulai ada hasil. Aksi-aksi warga mulai mendapat perhatian. Memang perjuangan panjang. Tahun 2010, ada empat pertambangan di Pulau Timor berhenti karena aksi yang terus menerus. “Saya tidak tahu apakah izin-izin perusahaan itu dicabut atau tidak. Tetapi yang kami tahu tambang itu tidak lagi beroperasi,” katanya.
Perempuan dan Air
Lebih jauh, perihal pergerakannya pada isu lingkungan ia menjelaskan bahwa gunung Mutis adalah gunung batu yang menampung sumber mata air. Dibawah gunung batu terdapat mata air yang menyuplai sampai empat puluh desa yang ada disepanjang aliran sungai dan dibawah aliran sungai tersebut ada hampir lebih dari empat puluh ribu hektar sawah yang dikelola oleh masyarakat.
Gunung batu itu dipertahankan karena memiliki pori-pori. Ketika ada hujan turun dan menetes pada pohon, mengalir dari dahan kayu dan masuk ke celah batu sehingga di batu tersebut ada tempat untuk menampung air. Perempuan terlibat dan ambil andil dan ikut berjuang karena didalam batu tersebut ada tempat untuk menampung sumber mata air yang tidak pernah kering. Ketika batu itu dipotong oleh perusahaan pasti masyarakat akan mengalami kekurangan air.

“Yang akan mengalami kekuarangan air tersebut adalah adalah kaum perempuan, karena perempuan sangat membutuhkan sumber mata air karena perempuan yang mengurus konsumsi, mengurus rumah tangga, anak dan pertanian yang sangat bersentuhan langsung dengan kebutuhan perempuan,” jelasnya.
Mama Aleta menambahkan memang perempuan lebih banyak tampil sesuai kebudayaan Timor. Kaum perempuan diharapkan menjadi ibu rumah tangga dan merawat keluarga. Kaum perempuan juga pemilik tanah yang sah dalam kebudayaan Molo. Hak ini dibangkitkan kembali oleh Mama Aleta, khususnya soal hutan yang memberi pewarna alami untuk tenun. “Perempuan Molo di Timor hidup dari menenun. Mereka bisa menyekolahkan anak dari tenun. Maka mereka harus paling utama berdiri di depan.”
Setelah tambang itu pergi, sekarang banyak sekali perempuan yang tampil menenun. Dulu tenunan itu khusus untuk orang tua atau perempuan yang sudah menikah. Sekarang tenun sudah dianggap sebagai warisan budaya dan sumber ekonomi orang muda. Banyak anak setelah selesai kuliah, kembali lalu menjalankan bisnis tenun. Hasil tenunan dijual ke luar NTT.
Dirinya sangat yakin bahwa alam Timor sudah menyediakan semuanya mulai dari benang sampai warna alami untuk tenun. Sebelumnya memang sudah ada warna-warni warisan dari leluhur, tetapi dengan perkembangan tenunan di Molo mulai tampak temuan warna lain. Bahkan sudah ada warga yang bisa menciptakan benang sendiri dari akar pohon khusus di hutan dan warna-warna alam yang indah. Harga satu tenunan juga mahal.
Mama Aleta berharap, perempuan bisa kembali pada pengetahuan lokal yang dimiliki dan mencintai lingkungan. Kepada pemerintah, dirinya berharap agar mampu mengembangkan produk-produk tradisional rakyat yang tak menghancurkan lingkungan dan alam. Perempuan hidup tidak jauh dari kekayaan alam. Perempuan yang mengurus pangan, air bersih, hingga kayu api sehingga kehidupan perempuan yang ada di kampung langsung bersentuhan dengan kekayaan alam.
“Ketika alam tidak ada, perempuan mengalami kehilangan aktivitas karena perempuan yang mengatur segalanya termasuk konsumsi dalam keluarga,” ungkapnya.
Yustinus Hendro Wuarmanuk