HIDUPKATOLIK.COM – “Setiap tahun hilanglah ribuan spesies tanaman dan hewan yang tidak pernah akan kita kenal, dan tidak pernah akan dilihat anak-anak kita, karena telah hilang untuk selamanya. Sebagian besar punah karena alasan yang berkaitan dengan aktivitas manusia. Karena kita, ribuan spesies tidak akan lagi memuliakan Allah dengan keberadaan mereka, atau menyampaikan pesan mereka kepada kita. Kita tidak punya hak seperti itu.”
Demikian pernyataan Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ no. 33). Hal yang sama dikemukakan oleh E.O Wilson, seorang ahli biologi dari Harvard, dalam situs www.biologicaldiversity.org yang memperkirakan bahwa 30.000 spesies per tahun, atau tiga spesies perjam, didorong ke kepunahan.
Pada 1982, penulis mulai tinggal di daerah Cireundeu, Ciputat, TangSel, di rumah yang hanya berjarak sekitar 100 m dari Sungai Pesanggrahan. Suasana masih asri. Ada keluarga Katolik juga di sana, tinggal di bantaran sungai (karena tertipu oleh calo tanah yang menukar guling dengan rumah sebelumnya di Kawasan Senen).
Karena rumah keluarga tersebut cukup jauh dari pemukiman warga setempat, umat lingkungan sering berkumpul di sana untuk berdoa atau latihan koor bersama. Karenanya, waktu itu, kami masih dapat menyaksikan lingsang, biawak, berbagai jenis ular, musang, bulus (semacam kura-kura), dan lainnya. Bahkan segerombolan kera pun masih terlihat bergayut di pucuk-pucuk pepohonan dari dua tepian sungai yang ranting-rantingnya saling menyatu di atas sungai.
Ada kalanya di malam hari anjing kami menyalak keras karena kehadiran kawanan kera di tembok pagar rumah yang mungkin sedang istirahat ketika mencari buah-buahan di kebun sekitar.
Lima tahun kemudian, dibangun perumahan Bukit Pratama di seberang rumah kami, lalu menyusul Kompleks Cireundeu Permai. Pepohonan, terutama bambu, ditebangi supaya bisa dibangun tanggul sepanjang sungai di wilayah pemukiman tersebut.
Situasi yang dikatakan oleh Paus Fransikus dalam LS 34 pun kami alami: …”Aktivitas manusia hadir di mana-mana, dengan segala risiko yang menyertainya.” Kawanan kera menghilang, lingsang mulai jarang terlihat. Jika pun terlihat, lingsang diburu para pekerja bangunan untuk dibunuh, entah mengapa dan untuk apa. Demikian pula saudara-saudari biawak, musang, bulus, dan lainnya mulai tidak terlihat. Padahal,“…untuk berfungsi dengan baik, ekosistem juga membutuhkan jamur, lumut, cacing, serangga, reptil, dan aneka mikroorganisme yang tak terhitung. Beberapa spesies yang jumlahnya kecil dan biasanya tak terlihat, memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan tempat tertentu…”(LS.34).
Pada 2009, setelah musibah jebolnya tanggul Situ Gintung, bantaran sungai Pesanggrahan ditertibkan, dan bangunan baru boleh didirikan dengan jarak 30 meter di tepi kanan-kiri sungai. Beberapa jenis satwa liar mulai terlihat.
Rupanya, beberapa jenis satwa liar seperti biawak, ular sanca, tokek, dan musang, termasuk burung-burung, mencari suaka di seputaran halaman kami yang sengaja dibiarkan rimbun. Biawak dan ular sanca memangsa tikus dan katak, jadi populasi tikus dan katak di rumah kami terkendali. Biawak juga suka memangsa ikan nila atau ikan mas dari kolam hias kami. Buah-buahan seperti matoa, mangga, rambutan, buah jamblang, dikonsumsi bersama oleh kami, tetangga, kelelawar, burung, dan para musang sekeluarga.
Pernah terjadi, satu keluarga musang Ibu dan tiga anak-anaknya yang tinggal di atas plafon, karena terlalu berat, terjatuh ke lantai bersama plafonnya. Juga pernah, ketika zoom meeting di malam hari, suara kawanan katak yang sangat keras memanggil hujan menjadi tertawaan rekan-rekan di ruang zoom. Kami mencintai mereka apa adanya sesuai apa yang dikatakan Paus Fransiskus: “…kita dipanggil untuk mengakui bahwa makhluk-makhluk hidup lainnya memiliki nilai intrinsik di hadapan Allah, dan “dengan keberadaan mereka saja sudah memuji dan memuliakan-Nya,” (LS.69).
Sepuluh tahun terakhir ini, hunian di seputar rumah kami semakin padat. Biawak dan musang yang bersuaka di wilayah rumah kami jarang terlihat oleh tetangga, tetapi ular sanca sering mencari tikus di rumah mereka. Sehingga, setiap kali terlihat, saudara-saudari sanca diburu dan entahlah, mungkin dibunuh.
Sedih melihatnya, tetapi kami tak bisa protes keras, hanya bisa menyatakan kesedihan dan bilang: “Sanca tidak berbahaya, mereka menjaga populasi tikus, nanti tikusnya merajalela jika sancanya punah”. Baru-baru ini, penulis protes keras ketika salah seorang pekerja bangunan, yang sedang membangun rumah tetangga yang “mepet” tembok halaman kami, menangkap biawak dan dibawa pergi pakai motor.
Penulis mengejar dan menuntut agar “bibi”- biawak tersebut dikembalikan hidup-hidup. Beruntung Bibi masih belum disembelih dan bisa kembali dalam keadaan hidup. Prinsip kami sesuai dengan yang dicontohkan Santo Fransiskus dari Asisi.”…baginya setiap makhluk adalah seorang saudari yang bersatu dengannya oleh ikatan kasih sayang. Itulah sebabnya ia merasa terpanggil untuk melindungi semua yang ada.” (LS 11).
Keberanian penulis sekeluarga dalam mempertahankan rumah dan halaman kami menjadi suaka semata-mata karena diberi kesadaran Alkitabiah bahwa manusia memiliki berbagai norma, yang bukan sebatas terkait dengan sesama manusia, tetapi juga berkaitan dengan makhluk-makhluk hidup lainnya: “Apabila engkau menemui di jalan sarang burung di salah satu pohon atau di tanah dengan anak-anak burung atau telur-telur di dalamnya, dan induknya sedang duduk mendekap anak-anak atau telur-telur itu, maka janganlah engkau mengambil induk itu bersama-sama dengan anak-anak-nya” (Ulangan 22:6).
Demikian pula karena ajaran Katekismus Gereja Katolik, 339.: “Tiap makhluk memiliki kebaikan dan kesempurnaannya sendiri […] Makhluk-makhluk yang berbeda-beda itu, mencerminkan dalam kekhususan mereka yang dikehendaki Allah, tiap-tiap dengan caranya sendiri, satu sinar kebijaksanaan dan kebaikan Allah yang tak terbatas. Karena itu, manusia harus menghormati kodrat yang baik dari setiap makhluk…….”.


Sebagai penutup, baik juga jika mendengarkan seruan Paus Fransiskus yang mengutip pesan Yohanes Paulus II (1990): “umat Kristiani, khususnya, tahu bahwa tugas mereka dalam dunia ciptaan dan tanggung jawab mereka terhadap alam dan Sang Pencipta merupakan bagian integral dari iman mereka”. Adalah baik bagi umat manusia dan bagi dunia bila kita, sebagai orang beriman, lebih menyadari komitmen ekologis yang timbul dari keyakinan iman kita,” (LS 64). Terpujilah Engkau, Tuhanku.
Dipersembahkan untuk memperingati Hari Kehidupan Liar Sedunia, 3 Februari 2025.
Margaretha Margawati, Anggota Gerakan Laudato Si’ Indonesia