Belajar dari yang Tak Mendengar

532
Pastor Romanus Heri Santoso.
[NN/Dok.Pribadi]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Menaruh perhatian terhadap berbagai hak dan kewajiban komunitas tuli. Memperjuangkan solidaritas semesta dengan semua kaum minoritas.

Bagi umat penyandang tuna rungu,Gereja juga harus memberikan perhatian. Layaknya payung terbuka yang bisa digunakan di kala terik, juga saat hujan. Seperti apakah peyalanan yang dapat diberikan kepada mereka? Berikut petikan wawancara dengan Pastor Romanus Heri Santoso, pembimbing rohani Komunitas Tuna Rungu yang berjalan di bawah naungan Lembaga Daya Darma (LDD) Keuskupan Agung Jakarta.

Bagaimana Pastor melihat komunitas penyandang tuna rungu yang ada di dalam Gereja?

Teman-teman kita penyandang tuna rungu, mereka bukan orang-orang yang mudah menyerah, dan juga tidak boleh “cengeng”. Kita harus membiasakan meraka hidup untuk terus berjuang dan tidak mudah putus asa. Komunitas penyandang tuna rungu tetaplah “pribadi-pribadi” yang spesial di mata Tuhan. Sama dengan yang lainnya.

Bagaimana perhatian Gereja kepada umat penyandang tuna rungu?

Gereja belum serius dan terkesan biasa-biasa saja alias disamakan dengan yang “bukan tuna wicara dan tuna rungu”. Gereja masih punya banyak PR untuk semakin serius memberi pelayanan bagi mereka. Perlu berdasarkan data yang valid, agar tajam dan terpercaya.

Kata kuncinya pada perhatian dan keseriusan pada kedua belah pihak baik lebih ditingkatkan. Yang saya maksud pada kedua belah pihak adalah Gereja dan juga kita komunitas penyandang tuna rungu. Memang tidak bisa dinafikan, bahwa usaha demi usaha sudah dilakukan, tetapi masih bersifat parsial dan kurang masif.

Pelayanan-pelayanan nyata bagi teman-teman penyandang tuna rungu dimasukkan dalam program-program tahunan, baik tingkat komisi, paroki atau dalam pelayanan di suatu kelompok yang peduli kepada mereka.

Saya berani mengatakan, hal ini belum. Berapa orang yang ditugaskan dalam pelayanan bagi mereka, ya pelayanan sosio ekonomi, rohani ataupun yang lainnya? Berapa dana yang dianggarkan setiap tahunnya? Berapa orang yang ditugaskan untuk belajar bahasa isyarat? Masih ada banyak segudang pertanyaan lainnya. Intinya, Gereja punya pekerjaan rumah besar dalam fokus memberi perhatian untuk mereka.

Apakah sarana dan prasarana Gereja sudah mendukung umat penyandang tuna rungu? Sehingga mereka dapat beribadah, mengimani imannya, dan menjalani kehidupan serta kegiatan menggerejanya dengan baik?

Sangat belum.

Selama ini bagaimana bentuk pendampingan rohani bagi komunitas umat penyandang tuna rungu yang ada?

Kurang lebih empat tahun sudah saya digerakkan untuk hadir dengan komunitas penyandang tuna rungu oleh Sr. Maria, Frans Dwi Susanto, dan beberapa rekan-rekan lainnya. Mereka pribadi-pribadi yang hebat dan setia. Saya selalu belajar dari mereka.

Ada Perayaan Ekaristi bersama yang rutin dilakukan, salah satunya di Gereja Katedral. Atau pertemuan-pertemuan khusus, rekoleksi, retret atau Paskah dan Natal bersama. Syukur itu bisa dilakukan, tetapi pendampingan rohani personal yang berkala rasanya, belum termaktub dalam program rutin.

Bagaimana seharusnya arah gerak pastoral dalam melayani tunarungu?

Memulai dengan penelitian pastoral, dengan data, baru kemudian dimasukkan dalam program rutin yang termonitor dan bisa dilihat hasilnya lalu dievaluasi.

Harapan Pastor untuk kaum disabel secara khusus umat tuna rungu?

Gereja harus memberi perhatian ini secara serius. Hal ini belum didapat maksimal, misalnya saat umat penyandang tuna rungu ingin mengadakan acara, terkadang banyak kesulitan, dari sisi tempat, sarana kecil, dan termasuk dana.

Tetapi, bagi teman-teman penyandang tuna wicara dan tuna rungu jangan pernah putus asa. Hidup kita tetap terus berjalan. Tidak ada hidup yang lepas dari perjuangan dan kerja keras. Tuhan selalu memberi banyak jalan, bagi kita yang tetap mau kerja keras, tanggung jawab, dan tidak kehilangan rasa syukur dalam hidup.

Marchella A. Vieba

HIDUP NO.05 2019, 10 Februari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here