Ketua Lembaga Biblika Indonesia Pastor Albertus Purnomo, OFM: Gembala yang Baik

387
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COMMinggu, 21 April 2024 Minggu Paskah IV. Kis.4:8-12; Mzm.118:1,8-9,21-23,26,28cd,29; 1Yoh.3:1-2; Yoh.10:11-18

“AKU seperti domba sakit yang tersesat dari kawanan domba lainnya. Jika Gembala yang baik tidak memikulku di pundak-Nya dan membawaku kembali ke kandang-Nya, langkahku akan goyah, dan saat aku berusaha untuk bangkit, kakiku akan tersandung.” Kata-kata Santo Hieronimus ini memperlihatkan kepercayaannya bahwa tanpa dukungan dan pertolongan dari Allah sebagai Gembala yang Baik, manusia akan sulit bertahan hidup dalam dunia yang penuh ketidakpastian ini.

Kiasan Gembala yang baik untuk Allah (bdk. Mzm.23) sebenarnya hanyalah satu dari sekian banyak gambaran Allah dalam Kitab Suci. Injil Yohanes juga menampilkan kiasan Gembala yang baik, yang ditujukan kepada Yesus Kristus (Yoh.10). Bahkan, Yesus sendirilah yang menyatakan hal itu, “Akulah gembala yang baik.” Mengapa Yesus disebut Gembala yang baik? Apa relevansinya bagi kita?

Setelah Yesus menyembuhkan orang buta sejak lahir (Yoh.9), di hadapan beberapa orang Farisi, Yesus menyatakan dirinya sebagai gembala yang baik. Intinya, ada harga mahal yang harus dibayar oleh gembala yang baik. Para pekerja upahan tidak peduli dengan domba-domba karena mereka bukan miliknya. Ia akan melarikan diri ketika serigala datang. Namun, seorang gembala tidaklah demikian. Ia rela untuk menyerahkan nyawanya.

Para pekerja upahan ini mirip dengan gembala jahat (pemimpin yang jahat) yang sering dikritik oleh para nabi dalam Perjanjian Lama. Nabi Yehezkiel, misalnya, mengecam habis-habisan para pemimpin bangsa Israel, yang disebut sebagai kawanan gembala jahat, yang tidak peduli dengan rakyatnya (Yeh. 34).

Dalam perikop ini, Yesus sebenarnya sedang mengkritik para pemimpin Yahudi pada zamannya, yang tidak peduli dengan umat yang dipercayakan kepada mereka. Pada saat yang sama, Yesus menampilkan diri sebagai gembala, yang mengenal domba-dombanya, yaitu para pengikut-Nya, dan siap sedia untuk memberikan nyawa-Nya (Yoh.10:16).

Sebagai pengikut Kristus di zaman ini, kita sepatutnya bersyukur karena memiliki Yesus, sang Gembala Baik, yang selalu menuntun, melindungi dan menjaga kita, domba-domba-Nya, dengan cara-Nya sendiri. Kendati demikian, dengan menjadi pengikut Kristus yang harus meneladan hidup Kristus, kita pun mendapat mandat untuk menjadi gembala yang baik. Dalam gereja, secara yuridis uskup dan pastor adalah gembala bagi umat beriman. Akan tetapi, tugas kegembalaan juga berlaku untuk kaum awam.

Presiden adalah gembala bagi rakyat; pemilik perusahaan adalah gembala bagi karyawannya; ayah adalah gembala bagi istri dan anak-anaknya; guru adalah gembala bagi para muridnya; dan bahkan kakak adalah gembala bagi adik-adiknya. Secara otomatis, sebagian besar dari kita pada dasarnya adalah seorang gembala bagi mereka yang dipercayakan kepada kita.

Dipercaya menjadi seorang gembala (atau pemimpin) adalah sebuah kehormatan sekaligus tantangan yang tidak mudah. Pengorbanan, entah apapun bentuknya, menjadi harga mati bagi seorang gembala jika ingin kehidupan “domba-domba” damai dan sejahtera. Mereka yang dipercayakan tugas penggembalaan, tetapi tidak mau berkorban dan sebaliknya ingin memuaskan ego dan kepentingannya sendiri, tidak beda jauh pekerja upahan atau gembala jahat. Mereka bukannya menciptakan kedamaian, melainkan kekacauan. Kita tentu berharap bahwa para gembala, termasuk sebagian dari kita, tidak terjatuh pada dosa menyalahgunakan mandat kegembalaan.

Para nabi Perjanjian Lama telah menunjukkan bahwa syarat menjadi gembala yang baik adalah mempunyai kepedulian, melindungi dan mau berkorban. Namun, Yesus menambahkan satu lagi, yaitu memiliki kedekatan spiritual dengan Allah. Yesus berani menyerahkan nyawa-Nya karena “Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa.” Mengapa? Seorang gembala, apa pun bentuknya, harus menanggung beban yang tidak ringan. Tidak jarang, gembala merasa lelah, kehilangan semangat, dan frustasi atas tugasnya. Akan tetapi, kedekatan dengan Allah, Sang Gembala Agung, akan memberikan kekuatan baru untuk bertahan dalam tugas kegembalaannya.

Berbahagialah jika mendapat tugas menjadi gembala bagi umat, masyarakat, keluarga, dan para sahabatnya. Namun yang terpenting, bukan hanya sekadar gembala saja, tetapi gembala yang baik. Karena itu, ada baiknya, kita selalu mengucapkan mantra seperti yang diajarkan Yesus dalam hati kita “Akulah gembala yang baik.”

“Yesus menambahkan satu syarat lagi, yaitu memiliki kedekatan spiritual dengan Allah.”

Majalah HIDUP, Edisi No. 16, Tahun Ke-78, Minggu, 21 April 2024

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here