My Mary, My Bunda Mariaku

59
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM

Oleh Angelina Sulistya

Rabu Abu …

Harindra masih mengantarku ke kapel di aula atas TK, SD, SMP Katolik. Gereja kami masih dibangun di bilangan Rawamangun.  Ini Rabu Abu ke-5 dalam rentang hubungan kami yang kata orang entah mau dibawa ke mana. Di luar hari-hari besar seperti dalam Pekan Suci, Natal dan Paskah, sungguh aku merasa nyaman dalam kebersamaan kami.  Bahkan sampai Sabtu malam dalam setiap minggunya pertemuan kami sangat berarti.

Namun saat Minggu tiba…. ada kontra di hatiku. Antara rindu yang membuncah mengikuti undangan Tuhan dalam Ekaristi dan perasaan miris memikirkan Rindra yang sedang nongkrong di warkop dengan segelas kopi menungguku selesai Misa. Mengapa dia tak duduk di sisiku? Bersalam damai dengan umat dan membuat barisan dengan umat lain menerima tubuh-MU, Tuhan? Mengapa dia Kau biarkan menunggu di luar? Di warkop, di cafe, atau sekedar membuka ponsel di taman. Mengapa Tuhan? Dan aku tak pernah dengar Tuhan menjawab bahkan lewat bisikan sekalipun!

Hingga saat aku menerimaabu malam itu …

“Bulan depan mungkin aku mau ambil cuti tahunan 2 minggu…” Rinda membuka percakapan yang bernada misterius.

“Really? Cuti di hari biasa? Bukan di hari raya?”responsku agak bingung.

“Ya, aku udah lulus kuliah tapi mau KKN lagi nih,” balasnya lebih misterius namun dibungkus canda tak jelas. Aku juga senyum tak jelas. Kuangkat cup plastik kopi kenangan dan menyeruput kopi dingin bersama semilir bayu yang lewat di taman mal terbesar di kotaku. Hingar bingar perform band  di dalam mal seperti teredam saat duduk santai di kursi rotan bulat di tepi kolam koi besar.

“Yaaa, paling aku yang akan kangen kamu selama KKN di kampung halamanku.  Kamu kan wanita karier super sibuk, banyak teman di gereja dan ……”

“Stop!!” leraiku.

Ujungnya Rindra hanya akan iri, dengki dan cemburu dengan teman-teman mudika zaman SM di paroki. Namun Rindra tetap setia menjadi ajudan di sampingku saat ngobrol kangen dengan mereka seusai misa.

Jumat Agung…

Ini kali pertama Rindra tidak mengantarku Misa besar siang ini.  Bukan karena sakit, atau sedang tugas ke daerah, melainkan dia sedang dalam perjalanan berkendara ke kampung halamannya.

“Yang, aku otw ke kampung. Maaf tidak info sebelumnya,” suara Rindra terasa berat di ujung telepon.

“Kamu enggak bercanda atau sedang halu pengin mudik kan?” aku masih tidak yakin.

“Semua nampak sudah diatur. Aku harus mengelola bisnis travel perjalanan haji dan umroh milik bapak.  Ini yang kumaksud KKN karena sebelumnya aku tak pernah mengenal bisnis ini sebelumnya….” Rindra berhenti, telepon sunyi.

Aku mulai paham namun terhanyut dalam diamnya.

“SK kepindahan juga sudah turun untuk aku berdinas di kota propinsi dan …. yang paling aku tak mampu katakan secara langsung sejak Rabu Abu adalah … orangtuaku telah menjodohkanku dengan putri kerabat jauh….”

Aku sudah tidak konsen mendengar suaranya. Tiba-tiba tubuhku lemas.  Puasa Jumat Agung pasti tak ada pengaruh.  Mengapa semua ditumpuk jadi satu, Tuhan? Rindra pergi bukan banya untuk cuti tahunan! Kementeriannya mengharuskan dia mengabdi di tempat nun jauh di sana. Pertanyaan akan kebersamaan kami sudah Kau berikan jawabannya. Jawaban yang tidak kuinginkan atau aku ingin tetapi penuh keraguan.  Kau malah memberikan bonus jawaban, Tuhan. Jodoh Rindra juga bukan lagi halu, tapi nyata!!

Dalam Misa Jumat Agung itu aku ingin duduk dekat kapel Maria.  Kursi dalam gereja masih banyak tersedia. Sudah satu jam lebih aku bersimpuh di depan patung Bunda Maria yang baru. Paroki kami baru saja diresmikan. Bangunan gereja yang luas, indah, agung dan bergelimang cinta umat akan sebuah rumah Tuhan yang telah dicita-citakan.

Saat memandang patung Bunda, banyak cerita mengalir dalam diam. Pantaskah membandingkan ketaatan, kepasrahan dan penderitaannya saat putra-Nya, Yesus, menanggung sakit, pedih, hinaan, sesahan dari orang banyak yang ingin Dia disalibkan. Apakah kehilangan kebersamaan dengan Rindra menjadi hal yang maha tragis?  Sampai akhirnya Tuhan memberikan jawabannya tadi pagi lewat mulut Rindra melalui sarana telepon.  Kedengarannya pengecut, tidak gentle, tidak tegas, atau apalah itu.  Mungkin juga tidak punya hati.  Tapi mungkin juga Rindra tak sampai hati, terpuruk, sedih bila harus berhadapan langsung denganku.  Aku berserah, Bunda.  Apa yang kujalani ternyata bukan yang dituju. Bukan yang Tuhan mau.

Jumat Agung tahun ini bagaikan pementasan tablo kisah sengsara Yesus delapan tahun lalu yang begitu kuhayati sebagai manusia berdosa. Hingga saat mencium salib tiba, aku tergugu menahan tangis. Aku hampir meninggalkan Yesus sang kasih.

Malam Paskah …

Misa Malam Paskah selalu jadi pilihanku sejak dulu. Tapi malam ini aku tidak menjumpai teman-teman yang biasa datang dari berbagai kota untuk rayakan Paskah di sini.  Sampai dengan Paskah lalu, mereka masih menyindirku, “Bahaya lho, ‘nyebrang’  ntar kecemplung dan tenggelam.”

Sindiran itu mereka tujukan hubunganku dengan Rinda.

“Mending pindah ke lain hati aja, Mer,” saran Edo yang tak lelah PDKT sejak zaman SMA.

“Daripada pindah server, say,” tambah Cicil .

“Masih banyak yang antre, Mer,” Cello ikut-ikutan.

Sempat terlintas kegalauan di hati. Serasa semangat mengikut Dia memudar. Dari tahun ke tahun seperti melemah walau tanpa absen beribadah.

Sukacita dan antusias begitu membuncah dan terawat sejak TK-SMP di sekolah Katolik. Hingga orang tuaku yang moderat memberiku restu.

Pada pembabtisan yang sakral dan syahdu.

Saat aku kelas sebelas SMA dulu.

Sejak itu aku tinggal dalam nauangan mudika.

Dari arisan sampai paduan suara.

Juga belajar kerja sambilan di Pekan Raya.

Sampai kuliah semester tiga.

Aku bertemu Rindra.

Menjalani kebersamaan sambil menggayuh cita.

Berakhir di Jumat sengsara.

“Haiiiiiiii… My Mary?” ada sapaan tepat di sampingku. Areal parkir penuh kendaraan akan keluar. Malam sudah merambat tua. Gereja sampai penuh sukacita Paskah. Aku menoleh ke kiri. Menatap sebentuk wajah yang pernah kukenal tapi ragu untuk membalas sapa.

My Mary??” itu cuma seseorang yang memanggilku My Mary karena aku Maria di tablo Sengsara Yesus di Jumat Agung dulu. Mungkinkah??

My Mary, kamu lupa sama putramu, Yesus yang kau tangisi sampai wajah Yesus banjir airmatamu?” laki-laki itu membangun ingatanku.

“Mas Harry?” terbata aku mengingat nama itu.

“Nggak! Dulu kamu panggil aku Mas Bule,” ptotesnya lucu.

Ya, pemuda tampan dengan wajah tirus, hidung  mancung dan rambut gondrong.  Perawakannya tidak kekar tetapi tinggi menjulang.  Persis Yesus.  Mas Bule? Ya Mas Bule blasteran Jawa Amrik.

“Ya Yesus, Mas Bule, apa kabar? Apa kabar? Kapan datang?” tanyaku memberondongnya.

“Baik, baru minggu lalu aku tiba di Indo,” jawabnya ceria.

“Btw, kamu pulang sama siapa?  Rumah masih yang dulu kan?’

“Sendiri. Ini mau order ojek online”

“Kuantar ya. Tapi kita mampir ke resto Pengambiran dulu ya, kangen bakminya,” ajak Mas Bule setengah memaksa.

“Tablo itu sudah delapan tahun lalu yaaa,” kenang Mas Bule sambil minum kopinya. Aku mengangguk. Malu kalau ingat tablo itu. Setelah aku menangis menbanjiri wajah Mas Bule yang berperan sebagai Yesus saat aku memangku-Nya, tangisku masih berlanjut di ruang ganti pakaian.

“Mer, Maria itu kuat, tabah dan taat,” ledek Anas.

“Bukan kayak emak-emak cengeng,”  tambah Nico.

Mas Bule memelukku, melindungiku dari bulian teman-teman.

My Mary, My Bunda Mariaku,” bisiknya menghibur sambi menepuk-nepuk pundakku.

“Aku dapat proyek di Indo, Mer… dan putuskan tuk tinggal di Indo lagi,” cerita Mas Bule.

“Mer, pergi Misa bareng ya kujemput seperti dulu,” pintanya.

Aku sudah benar-benar lupa. Mas Bule lah yang banyak mendampingiku inisiasi baptis dan komuni pertama. Bahkan dia memilihkan nama pelindungku saat aku dibaptis.

My Mary, please ya kita selalu Misa bareng”

Sukacita itu kembali, mengalir lagi.

Majalah HIDUP, Edisi No. 14, Tahun Ke-78, Minggu, 7 April 2024

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here