Surya Tjandra, Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta : Merugikan Semua Pihak

935
Surya Tjandra, Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta.
[Dok.HIDUP]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Sebetulnya, sebagai lembaga Katolik punya pendekatan berbeda, yakni secara moral. Kalau soal hukum, semua sama.

Surya Tjandra menyayangkan perselisihan antara Yayasan Pendidikan Umum St Lukas Pademangan dengan Fransisca Tri Susanti Koban (Sisca) harus berbuntut hingga ke meja hijau. Padahal persoalan ini bisa diselesaikan lewat jalur kekeluargaan. Berikut nukilan wawancara dengan Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya, Jakarta melalui sambungan telepon, Rabu, 24/7.

Bagaimana Anda menilai perselisihan ini?

Dari cerita Anda, peristiwa ini tentu merugikan semua pihak. Harusnya sih persoalan ini bisa selesai lewat mediasi atau jalur informal. Apalagi keputusan sudah jelas. Kelihatannya, pengadilan, meskipun melihat itu ada kesalahan (yayasan) tapi tetap mengabulkan PHK. Makanya ada kewajiban pesangon. Kalau di perdata, kesalahan bisa dimaafkan kalau ada ganti rugi.

Dalam pekerjaan, ganti rugi itu berupa pesangon. Secara hukum kesalahan yayasan bisa terkompensasi dengan pesangon seperti yang diputus di dalam pengadilan itu. Mendingan mereka (yayasan) bayar segera.

Pengakuan Bu Sisca benar itu sudah diakui oleh pengadilan. Jadi, Bu Sisca di-PHK bukan karena kesalahan tapi itu bakal tidak harmonis saja. Itu pertimbangan pengadilan sendiri.

Kalau dari saya, kasus yang dialami oleh Bu Sisca bisa menjadi presenden yang bagus. Ini menunjukkan bahwa lembaga Katolik itu tak imun dari problem, perselisihan. Ini harus dicari solusinya biar ada preseden yang elegan. Kayaknya kedua pihak main kuat-kuatan. Cuman Bu Sisca tetap dalam posisi lemah karena pekerja.

Seandainya ada persoalan lain seperti ini, lembaga Katolik rupanya sudah tak imun lagi. Dulu (lembaga pendidikan Katolik) baik-baik, tapi sekarang sudah kayak korporasi.

Bila satu pihak melanjutkan kasasi?

Itu hak mereka. Namun, jangan sampai Mahkamah Agung memutuskan yang sama. Kasasi itu tak memeriksa materi lagi, cuman pelaksanaan hukum atau aturan.

Dalam hubungan perburuhan atau kerja, sebagian ada sisi publik. Artinya, negara ada sebagian yang ikut campur, seperti upah minimum, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), dan sebagainya. Ini adalah hukum perburuhan heteronom, melibatkan negara. Tapi perburuhan punya hukum atau sisi yang otonom, yakni kesepakatan perdata para pihak. Dalam hal ini, kalau ada kesalahan atau perbuatan non hukum yang dilakukan oleh yayasan itu diterima oleh pengadilan. Dalam perdata, bentuknya tidak harus berupa penjara atau ganti rugi. Dalam konteks perbu ruhan, ganti rugi itu adalah pesangon.

Sebetulnya, keputusan itu sudah bisa diterima oleh semua pihak. Tapi, kalau memang (Bu Sisca) menolak PHK dan ingin diperkejakan kembali berarti bisa panjang lagi kisahnya. Ini yang harus direnungkan semua pihak. Sepertinya saat ini mereka (yayasan) sedang nunjukin otoritas yah. Dan Bu Sisca orangnya kritis.

Carilah solusi, jalan tengah. Seandainya keputusan kemarin diterima, sementara Bu Sisca tak menerima bisa tidak yayasan menambahkan kompensasi plus tambahan lain? Sehingga persoalannya secara informal bisa cepat selesai.

Sebetulnya, sebagai lembaga Katolik punya pendekatan berbeda, yakni secara moral. Kalau soal hukum, semua sama. Secara moral, saya kira lembaga Katolik punya tanggung jawab itu. Ini (masalah) sebetulnya bukan sesuatu yang tak bisa dilakukan.

MPK-KAJ sempat memediasi perselisihan ini. Namun, kami dapat info, ada anggota tim hukum MPK-KAJ yang hadir dalam proses mediasi tersebut kemudian menjadi kuasa hukum penggugat, yakni yayasan. Tanggapan Anda?

Seandainya info itu benar, ini melanggar kode etik. Mereka konflik kepentingan dong. Cari kasus-kasus lain-lah, jangan yang sama. Ini mungkin kelalaian atau kekurangpedulian MPK. Mungkin kasus ini kurang dianggap serius oleh mereka. Mereka ngerti nggak sih kalau ada kejadian ini?

Itu melanggar etik. Ini kan jadi rancu. MPK tak bisa begitu. Kalau memang menjadi mediator jangan menjadi kuasa hukum dong. Mestinya MPK menjadi penengah di luar proses formal itu. Agar penyelesain perdata antara kedua belah pihak bisa dicapai win-win. Itu tugas MPK untuk membuka ruang dialog dan proses ini menjadi smooth. Seharusnya masalah ini tak sampai keluar dan melibatkan orang lain.

Jadi, kalau begini, peran MPK itu apa? Seharusnya MPK mengambil peran lebih aktif dan proaktif. Jadi penengah yang informal, sebab kalau formal itu melibatkan negara. Malu semua kan. Apalagi kalau mediatornya juga konflik kepentingan dan tak ada solusi. Itu berarti ada masalah di MPK.

MPK harus mempertanyakan diri kalau seandainya benar begitu. Dan kalau memang benar ada konflik kepentingan seperti itu wah ngaco itu. MPK harus mengevalusi diri.

Apa saran Anda bila terjadi perselisihan seperti ini di lembaga Katolik?

Mediasi saja, lewat perantara secara informal. Agar tak panjang dan juga ini demi kebaikan pendidikan. Dan juga menjunjung profesionalitas. Sehingga kalau ada yang salah harus ditegur, entah itu pihak sekolah, yayasan, atau guru. Bila mereka berbuat kesalahan, harus ditegur. Kita ingin masalah ini selesai dan tak ramai. Apa manfaatnya buat kita? Padahal saat ini kita sedang berkompetisi. Pendidikan sekarang itu tak mudah.

Yanuari Marwanto

HIDUP NO.31 2019, 4 Agustus 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here