Saohagölö, Beni!

120
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Pak Buala! Cepaaat!” teriakan warga bersahut-sahutan.

“Hape-nya mati. Mungkin dia kelelahan, semalam dia urus panggung RW sampai dini hari!”

“Makanya samperin ke rumahnya!!!” teriak Pak RW panik.

“Kasih udara buat Pak Rizal! Minggir… minggur!”

Pak Rizal yang masih mengenakan kaos olahraga tergeletak tak bergerak di tepi lapangan bulutangkis. Tak sampai lima menit, Buala dengan wajah yang lusuh, setengah berlari menuju lapangan, sambil membawa peralatan medis.

“Mohon beri ruang ya bapak ibu…saya mau CPR dulu!” pinta Buala. Wajahnya tampak pucat. “Tolong telepon ambulans, bapak-bapak!”

Setelah beberapa kali melakukan CPR, dan tak menunjukkan hasil positif, Buala berteriak, “Ambulans kelamaan, tolong pakai mobil warga aja! Segera! Darurat!” teriak Buala. Hatinya tercekat, ia pesimis. Segala upaya ia lakukan di perjalanan menuju rumah sakit, namun denyut di
dada Pak Rizal yang ia tunggu tak kunjung muncul.

Sampai di rumah sakit, dokter menyatakan bahwa Pak Rizal sudah meninggal. Buala melangkah ke luar ruang ICU. “Beristirahatlah dalam damai, Pak
Rizal!” gumamnya. Malam sebelumnya mereka masih membereskan panggung di pendopo RW. Pak Rizal masih banyak bercanda.

“Pak, anda ini calon ketua RW berikutnya ni…hahahaha!” seru Pak Rizal ketika itu.

“Dari panggung sampai orang sakit, situ semua yang ngurusin.”

“Ah, bapak bisa aja. Gak mungkin lah saya…masih anak kemarin sore!” jawab Pak Buala.

“Sekarang ini kalau ada yang darurat, warga pasti menghubungi anda si…” ujar Pak Rizal sambil menepuk-nepuk bahu Buala.

Semenjak merawat Beni, putra keduanya, Buala memang jadi terbiasa menggunakan peralatan medis, dan terbiasa mengelola keadaan-keadaan
darurat. Beni terlahir sebagai anak berkebutuhan khusus. Mikrosefali.

Saat Beni masih di dalam kandungan, dokter sudah memberitahukan Buala dan istrinya, bahwa janin yang dikandung Anas terinfeksi virus toksoplasma. Para dokter memprediksi, apabila janin dipertahankan akan sulit bertahan hingga sembilan bulan. Jika pun lahir, berisiko mengalami kegagalan dalam pertumbuhan bahkan mengalami
cacat. Dokter bahkan sudah memberi keleluasaan kepada mereka, apakah janin tersebut mau digugurkan atau diteruskan. Anas meyakinkan suaminya, bahwa ajaran Katolik tidak membolehkan pengguguran kandungan. Buala, yang belum lama menjadi Katolik, menurut. Mereka teguh dalam iman Katolik, mempertahankan kehidupan.

“Pak Buala….bantu saya membawa pulang jenazah ayahnya anak-anak ya, Pak!” Bu Rizal berkata sambil diselingi sesenggukan.

“Jangan tinggalkan kami dulu, Pak! Saya sendiri tak tahu harus berbuat apa nanti….”

“Siap, Bu Rizal. Tetangga di rumah sudah saya hubungi kok. Mereka sudah merapikan rumah ibu!”

“Terima kasih banyak ya Pak!”

Pak Buala mengurusi jenazah Pak Rizal bersama para tetangga, sampai di pemakaman.

“Kamu mandi, langsung istirahat, Pa! Sudah dua hari tidurmu kurang…” tegur Anas, istrinya, saat Buala sampai di rumah.

“Jangan sampai sakit.”

“Iya, Ma! Memang capek banget rasanya!”

Sebelum tidur, Buala menatap wajah Beni. “Saohagölo, Beni!” dibelainya rambut Beni.

“Kamu yang telah mengubah hidup kami. Kamu cahaya hidup kami. Kamu guru kehidupan kami..”

Beni lahir normal. Namun, lambat laun terlihat, perkembangannya sangat lambat. Berkali-kali Buala harus membawa Beni ke rumah sakit. Lama-kelamaan, Buala jadi terbiasa. Mengingat biaya
perawatan Beni sangat besar, Buala dan Anas memutuskan, dalam keseharian, Buala merawat Beni. Konsekuensinya adalah, Buala harus meninggalkan pekerjaannya. Ekonomi keluarga
sepenuhnya ditanggung oleh Anas yang bekerja di sebuah bank swasta. Merawat Beni memang harus cermat, sabar, dan telaten….nyaris sepanjang hari.

***

Suatu hari ibu Buala datang dari Gunungsitoli. “Hewisa ya’ami?” tegur Mama.

“Baik, Mama!” Jawab Anas yang tengah mendapat giliran memangku Beni.

“Buala sekarang sudah berubah ya!” sambung Mama.

“Dia jadi lebih sabar.”

Anas tersenyum sambil memijat-mijat Beni.

“Mama, Beni adalah mukjizat buat kami!” tutur Buala saat sudah berkumpul di ruang tamu.

“Hingga saat ini ia bisa tumbuh meskipun dengan keterbatasannya. Dokter pun menyatakan kalau Beni mengalami mikrosefali, sebuah kondisi yang memang tidak bisa disembuhkan. ‘Anugerah’ kami tak hanya itu. Kondisi mikrosefali yang dialami Beni ternyata berujung membuatnya mengalami
cerebral palsy dan epilepsi. Mungkin kami memang sudah dipilih Tuhan menjadi orangtua dengan anak yang mengalami kondisi seperti ini, dan kami pun yang memilih untuk menjalaninya. Lewat Beni, saya terutama, Ma, belajar ikhlas, belajar sabar dan banyak lagi. Saya banyak berhutang budi kepada Beni.”

“Mama ikut berbahagia, Buala! Tuhan Yesus sudah menjadi terang di keluarga ini lewat Beni.” Mama menangis, serayaberanjak dari duduknya, ingin memeluk Beni.

Minggu siang itu, ponsel Buala berbunyi berkali-kali. “Dari Pak RT!” seru Buala. Rupanya ada warga yang perlu ditangani. “Titip Beni ya, Sayang!” teriak Buala sambil menggotong tabung oksigen. “Selang uap Beni tolong dicek ya…kemarin ada yang sedikit bermasalah!”

“Iya, Sayang! Hati-hati!” jawab Anas.

“Papanya anak-anak kini banyak jadi tumpuan kalau ada warga yang mengalami kondisi darurat!” jelas Anas kepada Mama.

“Sejak remaja dia seperti itu. Sigap untuk bantu-bantu masyarakat! Tapi dulu dia emosional!” jawab Mama sambil memangku Beni. “Cuma kalau melihat kondisi Beni, Buala harus lebih hati-hati….
apalagi kondisi Beni sekarang sedang banyak dahak!”

“Iya, Ma! Kebetulan hari Minggu saya yang bertugas jaga Beni. Selain diuap, nanti akan saya sinari dengan lampu ultraviolet. Selebihnya, saya sih menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan Yesus!”

Pak Ibrahim, tetangga Buala mengalami sesak nafas. Padahal belum lama, ia mengalami stroke ringan. Untunglah, kesigapan Buala membuatnya tenang.

“Ini tabung oksigen punya Beni, Bu. Kami punya dua kok!” ujar Buala kepada Bu Ibrahim yang semula panik, karena suaminya sempat kejang-kejang tadi.

“Terima kasih ya Pak Buala! Untung ada Bapak!”

“Dlilililit!” ponsel Buala berbunyi. Dari Anas.

“Sayaang, Beni….”

“Segera!” Tanpa menunggu kelanjutan kalimat istrinya, Buala segera pamit dan berlari ke rumah. Dengan cekatan dan penuh kelembutan, Buala merawat Beni.

“Beni, ayo sambil nyanyi sama Papa yaaa…biar dahaknya cepat hilang. … burung pipit yang kecil, dikasihi Tuhan… terlebih Beni ganteng…dikasihi Tuhan….”

Pijatan-pijatan kecil untuk menstimulasi saraf tubuh, terus dilakukan. Mama Buala memperhatikan anaknya yang dengan sabar merawat anaknya. Tanpa sadar, matanya basah. Buala adalah anak yang paling sering ia lindungi. Dia terlalu baik hati. Sewaktu kecil, ia sering
dibohongi teman-temannya. Tapi ia tak pernah membalas perlakuan teman-temannya. Saat sudah punya anak, perilakunya tidak berubah.

Ketika memutuskan untuk menikahi Anas yang Katolik, betapa ia harus “pasang badan”.

“Kalau kalian terus memusuhi Buala, baik kiranya musuhi aku dulu. Jangan dia. Aku tahu, dia sangat mencintai Anas. Tak boleh ada yang menghalangi!”

Keluarga besar mereka sangat menentang. Dalam pertemuan-pertemuan keluarga, Buala sudah tak pernah lagi diberi kesempatan untuk berdoa: sebuah hukuman khas keluarga besar mereka.

“Tak apa, Mama! Buala siap menerima hukuman dari keluarga besar,” tutur Buala suatu ketika kepada Mamanya. “Aku percaya, suatu ketika mereka akan menerima Buala lagi. Buala ‘kan cuma pindah gereja…aku masih mengimani
Kristus!”

Keterampilan Buala lah, yang pada kemudian hari melunturkan amarah keluarga besarnya. Ada satu masa, ia merawat pamannya yang stroke. Padahal
keluarga paman tersebut yang paling keras
menentang Buala saat ia memutuskan untuk menjadi Katolik. Saat itu, ia harus mondar-mandir, mendada risiko, merawat Beni dan pamannya. Untunglah, rumah pamannya tak terlalu jauh dari rumahnya.

Dimulai saat kebaktian pamannya, yang pada akhirnya meninggal, Buala boleh memimpin doa makan. Amarah keluarga besar mulai luntur. Di pertemuan-pertemuan berikutnya, Buala boleh
memimpin doa, meski bukan doa utama. Anas lega sekali, ketabahan suaminya mulai berbuah manis.

Malam itu, Buala memeluk Anas erat. Siang harinya mereka baru saja berziarah ke makam Beni. “Aku dipercaya Tuhan menjaga Beni cuma 5 tahun, ya Sayang!”

“Kamu sudah menunaikannya dengan telaten kok!”

Buala membelai rambut istrinya.

“Tuuu, kamu diliatin Beni, ujar Buala sambil menunjuk foto Beni di meja. “Dan lima tahun kamu jadi penjaga ekonomi keluarga. Aku makin sayang kamu…” Dikecupnya Anas.

“Ini bercanda ya…”sela Anas. “Ada juga si yang aku syukuri dengan meninggalnya Beni. “

“Apa?” selidik Buala.

“Suara fals mu itu gak sering aku dengar lagi…hehehe…udah gitu lagunya ‘Burung Pipiiiit’ terus….”

“Iya, iya, dasar solis lingkungan,” gerutu canda Buala sambil mengucal-ngucal rambut istrinya.

Mereka tertawa bersama.Tiba-tiba ada suara pagar diketuk orang.

“Pak…Pak Buala….wedhangan di pos yuuuk!”

“Ya Pak sekretaris….ada yang sakit gak?”

“Ya ampun, gak adalah…cuma wedhangan kumpul bapak-bapak!”

“Kalau gitu, khusus hari ini saya absen ya pak! Ada acara keluarga!” teriak Buala sambil cekikikan.

“Wooo, masih sore ni Pak!” l

Catatan :
Saohagölö : Terima kasih
CPR : Cardiopulmonary Resuscitation adalah teknik kompresi dada dan pemberian napas buatan untuk orang-orang yang detak jantung atau pernapasannya terhenti.
Mikrosefali : Gangguan sistem saraf langka yang
menyebabkan kepala bayi menjadi kecil dan tidak
sepenuhnya berkembang. Kondisi ini membuat otak anak berhenti tumbuh sebagaimana mestinya.Hal ini dapat terjadi saat bayi masih dalam kandungan atau dalam beberapa tahun pertama kelahiran.
Hewisa ya’ami : bagaimana dengan kalian? (Nias)
Cerebral palsy : Penyakit yang menyebabkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh.
Wedhangan : istilah bahasa Jawa yang berarti minum bersama. Minumannya biasanya kopi, teh, atau jahe. Sering dimanfaatkan sebuah komunitas, seperti erte untuk bersilaturahmi.

Aloisius Eko

HIDUP NO.06 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here