HIDUPKATOLIK.COM – TERIAKANMU melengking, mencucuk gendang telinga orang-orang di sekitarmu. Sementara tubuhmu berkelejat menahan nyeri yang tak terkira, kau membentur-benturkan kepalamu di pinggir ranjang kayu jati yang kokoh, yang tak bakal lapuk digasak oleh waktu. Peluh membanjiri tubuhmu.
“Sakit… sakit… aduh… aduh….” Seakan tak berjeda kau merintih, menyayat hati. Matamu tampak cekung berlingkar kelabu akibat tidur yang tak memadai beberapa hari belakangan.
Putrimu, Lily, yang baru menginjak masa remaja pun dilabrak kebingungan menyaksikan kondisimu yang memilukan. Ia mengobrak-abrik laci bufet, tempat kau biasa meletakkan obat. “Minum obat analgesic ya Ma supaya sakitnya berkurang,” bujuk dara berparas ayu itu.
Di antara tangis dan rintihan membendung sakit, kau serta-merta menampik tawaran Lily. “Tidak ada gunanya minum obat itu, tidak bakal mempan!” katamu dengan kedua tangan menghalau upaya putrimu.
“Untuk meredakan nyeri, Ma,” ujar Lily mulai kehabisan siasat.
Sejurus berselang, teriakanmu kembali memekakkan telinga. Kali ini, raung tangismu sampai menggegerkan tetangga-tetangga. Tanpa ketuk pintu, mereka menyelonong ke kamarmu.
“Ada apa, Bu Nina?” selidik Bu Ratih, tetangga di depan rumahmu. Suaranya yang cempreng saling tindih dengan eranganmu yang memilukan. Lily menjelaskan, sudah lima hari ini mamanya sakit kepala. Kian hari sakitnya kian merajam. “Dua hari lalu, Mama sudah ke dokter dan mendapat obat.”
Ternyata, obat itu tak sanggup menaklukkan sakit kepalamu. Makin hari, kau makin kesakitan. Biasanya kau menelan pereda sakit. Namun, hanya dalam hitungan jam, sakit kepala hebat kembali menghajarmu.
“Hari ini, saya berniat membawa mama ke rumah sakit, Tante. Tapi, saya akan memberinya obat pereda sakit dulu,” kata Lily seraya membawakan obat untukmu. Kali ini, kau mau menelannya. Kau gelontor kerongkonganmu dengan segelas air. Lalu, perlahan kelopak matamu yang sembab menyembunyikan manik matamu yang tampak layu kelelahan. Mulutmu komat-kamit, berdoa.
Di hadapan tetangga-tetangga yang bersimpati pada kondisimu, kau bertutur, “Sakitnya tak tertahankan, Ibu-ibu. Seperti ada sesuatu yang bergerak-gerak di dalam kepala saya.” Sejurus kemudian, Lily dan tetangga-tetanggamu melarikanmu ke rumah sakit terdekat, sebelum rasa sakit kembali menggeruduk kepalamu.
***
BAYANGAN dirimu digempur rasa nyeri seakan menguntitku. Iba menelusuk hatiku setiap kali teringat pada peristiwa yang kau alami. Kau adalah sahabatku. Kekariban kita telah terpilin sebegitu lama. Nyaris di sepanjang waktu, aku berada tidak jauh dari suka duka hidupmu.
Aku menyaksikan jatuh bangun kau memancangkan tiang nafkah rumah tanggamu saat suamimu, Mas Teguh, jatuh sakit hingga akhirnya pergi untuk selamanya. Kau tak mengulur waktu mengasihani diri sendiri. Kau tak tersuruk dalam keterpurukan.
“Ria, sekarang aku buka warung sembako,” katamu kepadaku tak lama setelah kau menyandang predikat janda. “Modalnya seadanya, terutama uang duka dari kantor Mas Teguh,” lanjutmu. Hari demi hari, kau mengepakkan sayap usahamu. “Aku juga berjualan tanaman hias,” ungkapmu sekitar sebulan berselang.
Lantas, kesibukan membelitmu. Semangatmu berpijar karena usahamu mulai menjumput laba. Saat aktivitas studinya tengah longgar, Lily ikut membantumu. “Kalau Lily menjaga warung, aku mengurus tanaman,” ucapmu dibarengi seulas senyum yang memikat. Kau tak enggan mengaduk-aduk tanah, menyiangi tanaman-tanaman muda yang baru tumbuh. Kau lintasi pematang hidupmu dengan ketekunan.
Di pengujung hari, kau madahkan syukur atas perolehanmu. Pundi-pundi rezekimu tak pernah lengang. Hingga pada suatu hari, warungmu tutup. Tiada pengumuman apa pun. Banyak pembeli pulang dengan tangan hampa. Tak dinyana, prahara tengah menggulung dirimu, si empunya warung yang ramah, yang gemar mengulum senyum.
***
KAU baru saja siuman dari bekapan anestesi. Segalanya masih tampak muram dan samar kendati sesungguhnya sorot cahaya lampu di atas ranjangmu memberi penerangan yang berlimpah. Suaramu terdengar serak dan perlahan tatkala dokter Richard mengontrol kondisimu.
“Selamat siang, Dokter,” sapamu dikuntit sesabit senyum.
“Selamat siang, Bu Nina. Semoga sekarang sudah tidak pusing lagi ya,” balas dokter Richard.
Kepalamu menggeleng lemah.
“Masih nyeri, Dok,” timpalmu selirih bisik.
“Satu dua hari ini, pastilah masih terasa nyeri,” kata dokter Richard.
Lantas, dokter bedah berpostur gagah itu berujar, “Semalam ini Ibu dirawat di ICU ya. Kalau besok kondisi Ibu sudah membaik, baru kita pindahkan ke kamar perawatan.”
Setelah operasi bedah kepala dan perawatan selama lima hari, kau diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Sebelum pulang, dokter Richard membeberkan panjang lebar ihwal penyakit yang sempat bersarang di kepalamu.
“Sebenarnya, saya sudah menjelaskannya kepada putri Ibu sebelum tindakan operasi,” ungkapnya. “Ibu menderita infeksi cacing pita pada otak. Istilah medisnya, neurosistiserkosis. Telur cacing pita masuk ke tubuh Ibu melalui mulut,” beber dokter Richard dibarengi seringai di wajahnya.
Selanjutnya, larva cacing itu menimbulkan peradangan yang mengakibatkan terjadinya pembengkakan di jaringan otak besar, otak kecil, dan batang otak. “Hasil scan menunjukkan banyak kista di sisi kiri dan kanan kepala Ibu. Bahkan ada sebagian otak yang berlubang, seperti ada matanya.”
Kau tertegun mendengar pemaparan tersebut. Tiba-tiba, kau melontarkan pertanyaan, diiringi tatapan laksana bocah tanpa dosa, “Apakah otak saya sekarang sudah bersih dari larva cacing, Dok?”
“Minggu depan, kita lihat ya. Ibu datang lagi untuk kontrol,” tandas dokter Richard. Sekilas mata dokter itu menyoroti parasmu, sebegitu lekas hanya sehelaan napas.
“Baik, Dokter,” balasmu dengan mimik cemas.
“Kalau dalam satu dua hari ini kepala Ibu terasa sakit, silakan hubungi saya,” pesan dokter Richard sembari menatap dalam parasmu yang elok.
***
MALAM mulai dilanda keheningan. Lily telah terhanyut dalam lelap. Kau masih terjaga. Kendati pelupuk matamu terpejam, cakram otakmu masih berkelana. Banyak hal lalu-lalang di benakmu. Terlebih, tentang usahamu yang telah sekian waktu terbengkalai. Hasratmu untuk kembali beraktivitas keburu menggeliat.
Kau lega, sakit kepala yang sungguh menyiksa telah sirna. Kini, hanya sisa-sisa nyeri yang berjejak di kepalamu. “Wajarlah, habis operasi bedah kepala,” katamu menghibur diri.
Kau seakan baru terjaga dari sebuah mimpi buruk. Pintu ajal yang hampir terkuak telah kau lintasi. Nyawa yang tetap tersambung sungguh berkat. Kecemasan yang menggumpal di dadamu, perlahan merepih. Dadamu terasa ringan. Kini, kau kembali menggenggam seutas harapan akan esok yang penuh makna.
Perlahan kau raih ponselmu di atas meja di sebelah ranjang. Kau buka WhatsApp . Seketika kau terhenyak mendapati ada pesan dari dokter Richard.
“Selamat malam, Bu Nina. Sudah tidak pusing lagi ‘kan?”
“Tidak lagi, Dokter,” balasmu disertai emoticon senyum.
Chat pun berlanjut hingga rembulan di punggung langit beringsut ke peraduannya. Malam itu, berulang kali kau mengumbar senyum setelah sekian waktu bibirmu bagai terekat. Kau diayun sukacita yang tak dinyana. Tak mudah dipahami, bagaimana larva cacing pita yang telah menyesahmu sebegitu rupa, justru bermuara bahagia.
Oleh Maria Etty
Sumber: Majalah HIDUP Edisi No. 43, Tahun Ke43, Minggu, 27 Oktober 2024