Ketua Komisi Karya Misioner KWI, Mgr. Aloysius M. Sutrisnaatmaka, MSF: Perlu Penguatan Spiritualitas Misi

313
Mgr Aloysius Maryadi Sutrisnaatmaka, MSF
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Agar tak lebur dalam disrupsi digital, Spiritualitas Misi perlu diperkuat. Di sinilah SEKAMI, usia anak, menjadi strategis bagi pembaruan Gereja.

Jambore SEKAMI Keuskupan Agung Palembang

KETIKA anak-anak usia SD berkerumun di depan kelas dan ditanya tentang cita-cita mereka, maka secara beruntun mereka menjawab satu per satu: “Saya mau menjadi dokter, saya guru, saya tentara, saya polisi dan saya menteri”, dan lain-lain.

Itulah jawaban anak-anak, yang pada tahun 1960-an mengungkapkan tentang cita-cita mereka. Anak-anak melihat tokoh-tokoh idola yang dikenal dan dihormati dalam masyarakat. Mereka menemukan sosok yang berprofesi seperti itu sebagai cita-cita mereka.

Selain terpandang dan dihormati, hidup ekonomi mereka relatif baik, berkecukupan. Masyarakat yang masih sederhana tidak terlalu peduli dengan gaji. Keadaan masih jauh dari semangat materialistik dan komsumeristik. Individualisme belum nampak, masih tertutup oleh kuatnya kebersamaan, gotong royong dan kerelaan berkorban.

Berubah

Sebelum pandemi, Presiden Jokowi bertemu dengan anak-anak dan bertanya kepada anak-anak, apa cita-citanya. Jawabanya memang sangat berbeda dari jawaban tahun 1960-an. Ada menjawab, “saya mau menjadi youtuber, saya menjadi selebgram (selebriti Instagram) dan yang lain mau menjadi tik-toker.

Itulah profesi yang dikenal anak-anak generasi milenial itu yang berbasis media sosial (medsos) di zaman ini. Memang sangat berbeda dan bahkan kurang bisa dimengerti oleh kebanyakaan lansia,  profesi dan kerja apa semua itu?

Zaman millennial, sangat kental dengan teknologi digital, memunculkan profesi baru. Dari sinilah gejala disrupsi digital masuk ke dalam semua kalangan masyarakat yang merangkum baik kehidupan anak-anak, orang dewasa maupun lansia.

Anak-anak yang lahir sejak 2010, sudah dicemplungkan ke dalam  lautan medsos yang berbasis perangkat digital. Bagaimana dengan keadaan hidup beragama dan beriman dalam ungkapannya sehari-hari: apakah juga terpengaruh oleh keadaan itu? Dan apa dampaknya bagi anak-anak dalam disrupsi digital ini?

Program Wisata Rumah Ibadat Komosi KKI-KKM Keuskupan Bandung bekerja sama dengan tokoh lintas agama.

Tentu anak-anak yang tergabung dalam Sekolah Minggu (SEKAMI) ikut terpengaruh. Bedanya, dalam diri mereka sudah ditanamkan sikap untuk menghadapi situasi itu. Mereka diajak untuk memberi kesaksian atas hidup beriman, membawa kabar gembira kepada orang lain. dengan doa, derma, korban dan kesaksian (2D2K). Dengan moto “Children helping children” (anak menolong anak), mereka melaksanakan tugas misi Gereja untuk lingkup dunia anak-anak.

Perlu Penguatan

Dengan pelbagai cara setiap kali Gereja mengingatkan kita bahwa sebenarnya setiap murid Kristus, semua harus ikut ambil bagian dalam karya Misi Yesus.

Mewartakan karya keselamatan Allah dalam pelbagai seginya, dengan macam-macam metode yang paling cocok untuk setiap orang dalam keadaan masing-masing. Pengaruh budaya tertentu, pada zaman tertentu harus menjadi perhatian untuk setiap pewarta Injil.

Iman akan Yesus Kristus yang menjadi pokok keselamatan, perlu diakarkan pada setiap budaya dan disesuaikan dengan keadaan pada setiap era. Ketika kita masuk pada era digital, pewartaan akan keselamatan Allah tetap meliputi semua segi kemanusiaan, diuji dan mendapat tantangan apakah spiritualitas misi itu masih bisa diterima dalam era digital ini ataukah malah lebur dan menjadi kurang eksis lagi.

Beberapa pemikiran dan catatan ini perlu dicermati terutama ketika pandemi mulai merebak. Ponsel pintar, laptop dan alat-alat komunikasi sosial menjadi sangat besar perannya dalam kehidupan sehari-hari.

Perayaan Ekaristi diselenggarakan secara live-streaming; pertemuan-pertemuan memakai Zoom Meeting, belanja macam-macam barang bisa dilakukan secara daring. Hal ini tentu menjadi salah satu pemicu disrupsi digital.

Dari sinilah perubahan demi perubahan makin menjadi jelas dan berkembang terus. Maka melalui refleksi yang mendalam dan pertimbangan yang bijaksana perlu dipadukan, agar hasilnya bisa diaktualisasikan dalam pelaksanaan tugas misi di era digital ini.

Spiritualitas misioner yang didasari semangat mewartakan karya keselamatan Allah, menuntut pengorbanan dan  kepekaan terhadap kebutuhan sesama.  Tantangan arus zaman makin besar, mengingat arus millenial lebih condong kepada individualisme dan konsumerisme.

Karena itu, hambatan utama dalam bermisi adalah egoisme, lekat pada diri sendiri, kemapanan, kurang mau berkorban, berbagi kepada mereka yang lebih memerlukan. Sejak anak-anak memang perlu dilatih untuk berkorban, sekaligus peka terhadap kebutuhan anak-anak lainnya.

Untuk membangkitkan sekaligus menguatkan kesadaran misioner di hati umat, utamanya anak-anak adalah bahwa tugas misi adalah tugas semua umat beriman. Bermisi adalah gerakan dari dalam diri karena dipicu oleh kesadaran bahwa dirinya adalah pribadi yang dipilih dan dikasihi Allah.

Berlandaskan Dekrit Konsili Vatikan II, bisa ditegaskan bahwa “Pada hakikatnya Gereja peziarah bersifat misioner, sebab berasal dari perutusan Putera dan perutusan Roh Kudus, menurut rencana Bapa” (Dekrit tentang Kegiatan Misioner kepada Bangsa-Bangsa, AG 2).

Karena itu, Paus Fransiskus juga memberi tekanan dalam Sukacita Injil (Ev. Gaudium, 119). Peryataan ini dilengkapi dengan keterangan, bahwa pelaku misi dan evangelisasi yang sesungguhnya adalah Roh Kudus, dan umat beriman menjadi pribadi alat-Nya (Bdk. Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi, Mewartakan Injil, art. 75).

Usia Strategis

Sudah sekian lama kita mendengar semboyan: Ecclesia semper reformanda est; Gereja senantiasa dibarui. Dengan pelbagai cara dan usaha: ada yang bersifat perorangan, kita kenal tokoh-tokoh pendiri tarekat seperti Ignatius Loyola, Fransiskus Assisi, Teresa dari Kalkuta. Ada yang dalam konteks kelembagaan religius, kebanyakan juga terkait dengan tokoh-tokoh pembaru, sehingga gema dan cakupan reformasinya menjadi lebih luas, dan bisa mempercepat prosesnya.

Itulah kiranya yang menjadi salah satu alasan, mengapa Gereja masih terus bertahan dan berkembang sampai sekarang. Tiap zaman memiliki ciri khas dan sifatnya yang mengikuti perubahan kebudayaan, teknologi, sarana-prasarana komunikasi, dll.

Pada era millennial ini, ciri dan identitas digital sangat dominan. Bagi generasi pramillenial, apalagi yang sekarang ini sudah memasuki lansia, tentulah tidak begitu mudah untuk mengikuti perkembangan yang begitu cepat dalam pelbagai bidang kehidupan. Dari soal umum, mengisi kartu identitas masuk ke dalam formulir Peduli Lindungi, sampai cara belanja dan membayar secara daring, semua harus dipelajari untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Keberadaan SEKAMI yang mematok batas usia dari 0–15 tahun, benar-benar merupakan generasi yang sangat strategis untuk tidak terjebak dalam disrupsi digital, dan sekaligus merupakan generasi muda yang secara sangat potensial menjadi pembaru Gereja di masa depan.

Peranan pendamping menjadi sangat menentukan untuk membina iman dan karakter, juga sikap hidup beriman, dan menempa mental,  untuk menghargai sesama dan sahabat-sahabat; walau beda suku, agama, ras, tingkatan sosial ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Ini tentu Indonesia banget. Pelbagai kegiatan diadakan secara rutin setiap hari Minggu memberi bekal untuk menjadi generasi yang tangguh di masa depan.

Program dan semboyan 2D2K merupakan program yang mengandung spiritualitas misioner yang konkret, praktis mudah dipahami, sekaligus relevan untuk dipraktikkan.

Di dalamnya sudah terkandung secara implisit missio ad intra (misi ke dalam) berupa doa, seperti yang diteladankan oleh St. Theresia dari Kanak-Kanak Yesus (1873 – 1897), Pelindung Misi. Memperkuat iman dan mengakarkan iman dalam diri sendiri, melalui doa, meditasi dan kontemplasi menjadi sumber dan jantung yang memberi denyut dan kehidupan misi Gereja.

Sedangkan Derma, Korban dan Kesaksian, bisa dikategorikan sebagai missio ad extra (misi ke luar), gerakan, aksi yang ditujukan kepada orang lain. Keduanya dipadukan  dalam kenyataan sehari-hari.

Spiritualitas misi pada SEKAMI merupakan salah satu bentuk, metode dan program yang secara sederhana dan popular bisa diimplementasikan dalam kelompok umat: lingkungan, paroki, keuskupan atau tingkat nasional.

SEKAMI yang ada dan bisa ditingkatkan kegiatan dan programnya agar semakin intensif. Sedangkan yang baru mulai bisa belajar dan menyimak pada KKI-Nasional. Di tingkat nasional itu pengalaman, fasilitas dan hubungan makin luas, sehingga bisa memfasilitasi dan membantu  SEKAMI untuk berkembang dengan lebih baik dan lebih cepat.

Berbasis SEKAMI inilah pembinaan berkelanjutan diperlukan sampai mencapai dewasa. Kelanjutan dari SEKAMI bisa mengarah pada pembinaan Remaja: Remaka, Remaja Katolik, atau Rekat, ada OMK (Orang Muda Katolik), umur sekitar 15–35 tahun.

Ketika sudah mencapai umur dewasa itulah, pembinaan sudah bisa diserahkan kepada yang berangkutan mengembangkan spiritualitas misionernya sendiri dalam mengembangkan Gereja setempat.

HIDUP, Edisi No. 01, Tahun ke-76, Minggu, 2 Januari 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here