Uskup Tanjung Selor, Mgr. Paulinus Yan Olla, MSF: Sabda Bahagia dan Kasih Allah

271
Mgr. Paulinus Yan Olla MSF, Uskup Tanjung Selor
Mgr. Paulinus Yan Olla, MSF
5/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu, 29 Januari 2023 Minggu Biasa IV Zef.2:3;3:12-13; Mzm.146:1,7,8-9a,9b-10; 1Kor.1:26-31; Mat.5:1-12a.

“SABDA Bahagia” yang direnungkan pada minggu ini mengejutkan. Kebahagiaan umumnya identik dengan kekuasaan, kehormatan, ketenaran, kekayaan, kemolekan, kecerdasan atau kelimpahan harta dan gaya hidup yang mewah. Semua hal itu tidak dimasukkan dalam daftar ajakan kebahagiaan yang digaungkan Yesus kepada para pendengar-Nya. Sebaliknya mereka yang disapa berbahagia adalah yang miskin di hadapan Allah, yang berdukacita, lemah lembut, yang lapar dan haus akan kebenaran, yang murah hati, yang suci hati, yang membawa damai, yang dianiaya karena kebenaran atau yang dicela dan dianiaya karena nama Yesus.

Renungan atas nilai-nilai kebahagiaan yang dinamakan juga nilai-nilai Kerajaan Allah di atas membantu kita untuk memahami bahwa ternyata Allah mempunyai ukuran dan nilai yang berbeda dengan ukuran, nilai, dan sikap hidup manusia tentang kebahagiaan. Para ahli tafsir Kitab Suci membantu kita untuk memahami Injil Matius ini dengan menegaskan bahwa melalui Sabda Bahagia ini terungkap Kasih Allah kepada manusia yang dipenuhi dalam diri Yesus. Yesus adalah kepenuhan Hukum Taurat. Ia melengkapi apa yang telah diwayukan Allah melalui Musa dalam perintah-perintah di Gunung Sinai.

Dua sikap rohani sangat mendasar yang membingkai nilai-nilai Kerajaan Allah di atas adalah “kemiskinan di hadapan Allah” dan “kesetiaan mengandalkan Tuhan” dalam penganiayaan karena nama Yesus. Janji dari pemenuhan semua nilai itu adalah diperolehnya Kerajaan Allah bagi mereka yang menghayatinya (bdk., J. Lambrecht, The Sermon on the Mount, 1985). Kebahagiaan yang dijanjikan mengalir dari kasih Allah yang merindukan kebahagiaan manusia. Hal itu memperlihatkan bahwa nilai-nilai Kerajaan Allah tidak ditawarkan sebagai beban yang menyiksa tetapi tawaran pada kebebasan mengalami kasih Allah.

Dalam konteks di atas, liturgi hari ini mengingatkan kita akan pengalaman bangsa Israel dalam keterpurukan pembuangan. Mereka yang akhirnya dipuji berbahagia hanyalah “sisa-sisa Israel” yang “rendah hati dan lemah” yang hidupnya mengandalkan Tuhan (Bdk. Zef.2:3; 3:12-13). Jalan menuju Kerajaan Allah yang disiratkan dalam Perjanjian Lama dan dijanjikan kepenuhannya oleh Yesus tidak ditanggapi oleh semua orang secara otomatis. Hanya sedikit orang yang menanggapinya, baik itu di kalangan bangsa Israel maupun di kalangan pengikut Yesus. Sebuah tantangan tanggapan yang terus dihadapkan pada orang beriman di setiap zaman. Diperlukan kerendahan hati dan iman yang teguh untuk membiarkan Allah menjamin kehidupan dalam Kerajaan yang dijanjikan-Nya.

Sabda bahagia Yesus menjadi suatu bentuk pembalikan atau perlawanan budaya berdimensi rohani. Rasul Paulus menegaskan kenyataan itu misalnya dengan menyatakan bahwa “yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya daripada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat daripada manusia.” (1Kor. 1: 25). Selanjutnya ditegaskan pula bahwa “apa yang bodoh di mata dunia dipilih Allah untuk mempermalukan orang-orang berhikmat dan apa yang lemah bagi dunia dipilih Allah untuk mempermalukan yang kuat” (1Kor. 1:27).

Kebahagiaan yang dijanjikan dalam Sabda Yesus dan bacaan lain dalam liturgi hari ini dengan demikian hanya dapat dicapai dengan pembalikan hati. Itu terjadi melalui iman untuk membaca kejadian hidup dan menjalaninya dalam terang “kaca mata” Allah sendiri. Hati Allah yang menggerakkan-Nya untuk merangkum manusia dalam kasih hanya dapat dimengerti dan dialami dalam “kemiskinan rohani” dan dalam penerimaan ajaran-Nya dalam iman dan ketekunan untuk mengandalkan Dia sebagai penguasa kehidupan. Ajaran tentang Kerajaan-Nya mengandung nilai-nilai kontras dengan apa yang sering kita temukan sebagai nilai kebahagiaan dalam kacamata melulu manusiawi. Akhirnya, Sabda Bahagia Yesus semoga tidak diterima sebagai beban atau bahkan  sebagai “sabda kedukaan” yang hanya mengusik kenyamanan hidup, tetapi sumber pengungkapan kasih Allah kepada manusia.

 Nilai-nilai Kerajaan Allah tidak ditawarkan sebagai beban yang menyiksa tetapi tawaran pada kebebasan mengalami kasih Allah.

HIDUP, Edisi No. 05, Tahun ke-77, Minggu, 29 Januari 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here