Komnas Perempuan Desak Pemenuhan Hak Perempuan Penyandang Sindrom Down

99
Retty Ratnawati, komisioner Komnas Perempuan
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak pemerintah agar melakukan pendekatan berbasis hak dalam menangani kasus-kasus yang dihadapi perempuan penyandang sindrom down.

Dalam rilis yang dikeluarkan Senin (20/03/2023), sehari jelang peringatan Hari Sindrom Down Sedunia, Komnas Perempuan mengatakan pendekatan berbasis hak mencakup pelibatan bermakna perempuan dengan sindrom down dalam berbagai kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik.

Perempuan penyandang sindrom down juga berhak atas pendidikan, pekerjaan, terlibat dalam pengambilan keputusan dan pengembangan budaya.

Hari Sindrom Down Sedunia diperingati setiap tahun pada 21 Maret. Ini adalah hari penyadaran global yang telah diperingati secara resmi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 2012. Tema tahun ini adalah “With Us Not For Us” (Bersama Kami Bukan untuk Kami).

Kampanye kaos kaki untuk memperingati Hari Sindrom Down Sedunia. (www.worlddownsyndromeday.org)

Menurut Komnas Perempuan, penyandang disabilitas intelektual, termasuk sindrom down, rentan terhadap kekerasan seksual.

“Kendati pengaduan ke lembaga layanan yang dicatatkan dalam Catahu (Catatan Tahunan) 2023 terdapat tiga kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas intelektual, namun angka tersebut merupakan puncak fenomena gunung es. Banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dengan sindrom down yang tidak dilaporkan karena berbagai faktor sosial, budaya dan ekonomi. Tak jarang kekerasan baru terungkap setelah kekerasan berlangsung lama,” kata Retty Ratnawati, komisioner Komnas Perempuan.

Ia menyebut satu kasus terhadap anak perempuan disabilitas intelektual berusia 16 tahun yang baru diketahui setelah korban diperkosa sebanyak 10 kali. “Fakta ini menunjukkan, terdapat hambatan untuk mengetahui pertama kalinya terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas psikososial,” ujarnya.

Pola Penyelesaian

Rainy Hutabarat, komisioner Komnas Perempuan lainnya, mengingatkan bahwa Catahu 2023 mencatat penyelesaian di luar pengadilan melalui mediasi menjadi pola penyelesaian terbanyak dalam penanganannya, yaitu 312 kasus.

“Menarik kembali kasusnya/gugatannya tercatat di urutan ketiga (242 kasus), sementara di urutan kedua korban menghentikan kasusnya dari lembaga layanan (383 kasus). Pemantauan Komnas Perempuan menyimpulkan bahwa mekanisme sosial berupa perdamaian dengan ganti rugi, denda adat, mengawinkan korban dengan pelaku merupakan bentuk-bentuk penyelesaian di luar pengadilan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan dilakukan tanpa pelibatan korban secara bermakna,” jelasnya.

Sementara itu, Siti Aminah Tardi, komisioner Komnas Perempuan lainnya, menegaskan perempuan korban khususnya dengan disabilitas tidak dilibatkan dalam penyelesaian di luar pengadilan, melainkan diwakilkan kepada orang tuanya atau keluarganya.

“Mereka dipandang tak layak dalam berhadapan dengan hukum karena kondisi disabilitasnya, dan kesaksiannya tak dapat dipercaya. Stigma bahwa perempuan sindrom down tak dapat memahami kasus yang dialaminya, mitos bahwa tidak mungkin perempuan sindrom down mengalami kekerasan seksual karena anggapan mereka tidak memiliki hasrat seksual (aseksual) atau dinilai sebagai penyebab kekerasan seksual karena tak mampu menjaga atau mengontrol dirinya,” katanya.

Pendampingan

Menurut Komnas Perempuan, prinsip “bersama kami bukan untuk kami” berarti negara harus memastikan ketersediaan pendamping sesuai dengan kebutuhan khususnya, yang dikenal baik dan mendapat persetujuan korban. UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjamin hak pendampingan bagi korban penyandang disabilitas dan kekuatan hukum yang sama dengan saksi atau korban non-penyandang disabilitas untuk keterangannya.

Komnas Perempuan menyebut jaminan tersebut sebagai perwujudan pelaksanaan, konstitusi dan UU Penyandang Disabilitas atas akses keadilan dan pengambilan keputusan dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang dialaminya sebagai bagian dari hak sipil politik. Untuk pencegahan kekerasan seksual, perempuan dengan sindrom juga berhak atas pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi,

Oleh karena itu, Komnas Perempuan merekomendasikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak agar melibatkan organisasi-organisasi penyandang disabilitas, khususnya sindrom down, dalam percepatan penyusunan peraturan pelaksana UU TPKS dan memperluas pendidikan publik dan keluarga tentang kesetaraan dan keadilan gender yang tautannya dengan hak-hak penyandang disabilitas khususnya perempuan sindrom down.

“Polri, kejaksaan dan MA memperkuat kapasitas aparaturnya dengan perspektif disabilitas dan kesetaraan gender, dan membangun sistem rujukan dengan lembaga-lembaga layanan untuk memenuhi kebutuhan pendampingan khusus untuk penyandang disabilitas,” lanjutnya.

Katharina Reny Lestari

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here