web page hit counter
Rabu, 16 Oktober 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Bapa Suci di Timor Leste: Pinggiran sebagai Pusat

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Di Timor Leste, Paus Fransiskus menanggapi ungkapan dari Uskup Noberto de Amaral, Uskup Maliana, ketua konferensi Uskup Timor Leste, yang menggambarkan negeranya sebagai negeri yang berada di ujung dunia, mengatakan nahwa ujung dunia merupakan pusat dari Injil.

Paus menegaskan, merupakan suatu paradox, sebagaimana dipaparkan dalam Kitab Suci, bahwa pinggiran merupakan pusat. Di dalam Kitab Suci kita bisa menemukan sedemikian kayanya kisah, figur dan orang-orang yang berada di pinggiran, ada di ujung batas, dan mereka inilah yang dipanggil Yesus untuk menjadi pelaku-pelaku utama harapan yang dinyatakannya kepada kita hingga kini.

Disambut Presiden Timor Leste, Ramos Horta

Maka Gereja yang tidak berkemampuan untuk ada serta berada di pinggiran dan karenanya menyembunyikan wajah pusatnya, ada menjadi Gereja yang sangat sakit. Dia mengingatkan Gereja senantiasa mengirim para misionarisnya ke wilayah-wilayah pinggiran, sebab sadar di sanalah pusat Gereja. Paus kemudian mengajak Gereja Timor Leste untuk bersyukur karena itu, karena menghidupi kenyataan pesan dasar Injil.

Maka kepada para imam, religius dan katekis, Fransiskus mengajak mereka untuk memelihara dan menyebarkan keharuman Injil. Keharuman Injil tersebut pertama-tama adalah Yesus Kristus, yang kita imani. Maka iman itu harus terus-menerus dihidupi. Bahkan dalam homili, Paus menyebut tentang pentingnya inkulturasi iman, jangan iman dihidupi secara asing, tidak sungguh berakar pada kultur serta realitas hidup nyata umat beriman setempat.

Baca Juga Artikel:  Sinode III Keuskupan Sibolga: Bersama-sama Menemukan Kehendak Allah
Lebih dari 600 ribu umat menghadiri Misa kudus yang dipimpin Paus.

Memang kunjungan Paus ke setiap kawasan senantiasa bermuatan sebagai peneguhan iman, sebagaimana memang diperintahkan Yesus kepada Petrus (lih Luk 22:32). Tidak mengherankanlah kalau Kardinal Virgilio Do Carma da Silva, Uskup Agung Dili, menyebut kunjungan Paus sebagai perayaan iman. Baginya kunjungan tersebut bermuatan untuk meneguhkan identitas dan iman. Kedua hal tersebut kiranya selaras dengan harapan Paus akan inkulturasi iman.

Memelihara dan menyebarkan keharuman Injil bagi Fransiskus nyata dalam kasih, terlebih kasih kepada mereka yang miskin. Maka dia mengingatkan tidak saja jangan menjadi orang beriman yang hanya suam-suam kuku saja, namun juga jangan terjebak dengan menghidupi semangat duniawi. Mewartakan iman selalu merupakan perintah dan tugas perutusan utama yang diemban Gereja. Paus mengingatkan hal ini.

Perutusan ini merupakan bagian nyata dari menyebarkan keharuman Injil. Maka pewartaan terutama dijalankan dengan kesaksian dan pelayanan. Sebab memang pewartaan Injil sejalan dengan langkah semakin memanusiawikan kehidupan, tidak saja agar tidak ada yang direndahkan dan disingkirkan, namun juga agar kesejahteraan bersama dibangun, korupsi dan kekerasan dihilangkan serta rekonsiliasi setelah perang dan konflik bertahun-tahun ditapaki. Paus memang dalam pidatonya di depan para pejabat pemerintahan dan korps diplomatik menyinggung soal pengalaman perang dan derita rakyat Timor Leste di antara tahun 1975-2002.

Sukacita umat Katolik Timor Leste menyambut Paus.

Akan tetapi baginya, umat Katolik di Timor Leste tetap bertahan dalam iman, dan iman itulah yang menjadikan kekuatan dalam menggelorakan hasrat akan kemerdekaan dan harapan akan kebebasan. Rakyat Timor Leste mampu bangkit kembali dan memulai awal yang baru.

Baca Juga Artikel:  Manyambut Hari Pangan Sedunia, Kardinal Suharyo: Menghargai Pangan Lokal, Memartabatkan Petani dan Nelayan

Paus kemudian mengingatkan akan homili Paus Yohanes Paulus II di Timor Timur (waktu itu) saat berkunjung di tahun 1989, yang berbicara tentang kekayaan tradisi yang dilandasi dengan Injil, terlebih spirit Sabda Bahagia, yang tidak saja melandasi keteguhan di saat derita namun pula tetap bertahan dalam kepercayaan akan Allah, belaskasihan dan pengampunan-Nya. Melanjutkan apa yang sudah dikatakan Yohanes Paulus II, Fransiskus mengingatkan akan pentingnya penegalan akan ajaran sosial Gereja dalam proses penanaman iman, sehingga iman dapat terwujud sungguh dalam upaya pengentasan kemiskinan, penghapusan kesenjangan sosial, dan akhirnya juga membangun persaudaraan sejati.

Oleh karena itu Paus Fransiskus mendorong agar ajaran iman semakin dipelajari dan didalami. Namun tidak hanya mendalaminya, tetapi juga menginkulturasikannya. Malahan dia menyebutkan kalau Gereja tidak mampu menginkulturasikan imannya, maka Gereja tidak akan bisa mewujudnyatakan imannya selaras dengan nilai-nilai yang hidup di wilayah setempat, lalu hanya akan menjadi Gereja  yang sekedar moralistik serta tak berbuah.

Di akhir Ekaristi Paus memakai gambaran tentang buaya, yang berkeliaran di tepian lautan dan bisa memangsa siapa saja, demikian pula waspadalah dengan ‘buaya-buaya’ yang bisa memangsa sejarah maupun budaya yang ada. Warisan iman dan warisan budaya merupakan harta kekayaan yang berharga, maka perlu terus dijaga dan dilestarikan.

Baca Juga Artikel:  Superior Provinsial SCJ Indonesia, Pastor Andreas Suparman, SCJ: Ingin Memadukan Seluruh Potensi Keberagaman

Jangan takut menjadi kecil di hadapan Allah. Di tengah kenyataan akan banyaknya generasi muda di Timor Leste, Paus mengatakan bahwa generasi baru merupakan harapan baru, sambil juga mengingatkan akan kenyataan kerapuhan yang dihadapi siapa saja. Maka senantiasa kita perlu menyadari akan kerapuhan serta kekecilan kita, bagai seorang anak. Dengan menjadi anak kita akan membiarkan Allah bertindak dalam diri kita, supaya kita memiliki hati yang hangat dan dipenuhi dengan kelembutan.

Paus menyapa seorang kecil.

Paus menyadarkan kita akan kerapuhan, berani menjadi kecil. Maka jangan takut   untuk melepaskan segala apa yang kita genggam dan rancang, jangan takut berkorban dan memberikan diri dengan menerima sesama, menjaga dan memeliharanya. Maka dia mengingatkan para pimpinan Gereja, jangan merasa lebih daripada yang lain, sehingga kurang siap sedia untuk melayani, sebab gembala Gereja adalah pelayan dan tanda belaskasih Allah.

Berada di pinggiran memang berarti menempatkan diri bukan sebagai segala, menyadari akan kekecilan dan kerapuhannya. Bukanlah itu jantung hati dari pesan Injil: melayani dan mewartakan kabar sukacita keselamatan Allah.  Keluar dari diri sendiri, memberikan diri dalam pelayanan, agar warta keselamatan itu sampai ke ujung-ujung bumi.

T. Krispurwana Cahyadi, SJ
Teolog, tinggal di Girisonta, Jawa Tengah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles