HIDUPKATOLIK.COM – Di tengah gelombang zaman yang terus berubah, Paus Fransiskus tampil sebagai suara kenabian yang lantang berbicara tentang isu-isu besar dunia: perang yang tak kunjung reda, penderitaan para pengungsi, ketimpangan ekonomi global, hingga krisis iklim yang mengancam masa depan bumi. Dalam banyak kesempatan, ia menyerukan pertobatan ekologis, memperingatkan bahaya global indifference, dan menegaskan kembali ajaran sosial Gereja dalam dunia yang semakin materialistik dan terfragmentasi.
Namun di balik khotbah-khotbahnya yang tajam dan penuh urgensi terhadap dunia orang dewasa, ada sisi lain dari Paus yang mungkin justru paling menggambarkan siapa dirinya yang sejati: seorang bapa yang menunduk untuk mendengarkan pertanyaan anak-anak.
Sejak awal masa kepausannya, Paus Fransiskus telah menunjukkan bahwa ia bukan hanya seorang pemimpin Gereja Universal, tetapi juga seorang “kakek dunia”, seorang gembala yang memahami pentingnya dunia kecil—dunia anak-anak—dalam rencana besar keselamatan.
Dalam Dear Pope Francis: The Pope Answers Letters from Children Around the World, sebuah buku yang diterbitkan oleh Loyola Press pada 2016, kita melihat lebih jauh betapa seriusnya beliau mendengarkan suara anak-anak—suara yang sering diabaikan oleh dunia dewasa. Dalam buku itu, anak-anak dari berbagai negara menulis surat kepada Paus, dan Paus sendiri membalasnya satu per satu, dengan bahasa yang sederhana namun mendalam, seakan sedang duduk bersila bersama mereka di lantai ruang keluarga.
Buku itu mencatat tiga puluh surat dari anak-anak berusia antara 6 sampai 13 tahun, dari berbagai penjuru dunia—dari Filipina hingga Nigeria, dari Amerika Latin hingga Eropa Timur. Paus tidak hanya menjawab pertanyaan mereka, tetapi juga mendengarkan—dan dalam mendengarkan itulah kasih pastoralnya terpancar kuat.
Pertanyaan Kecil, Jawaban Besar
Salah satu surat datang dari Chiara, seorang anak perempuan berusia 10 tahun dari Italia. Ia bertanya, “Yang Mulia Paus Fransiskus, mengapa Yesus harus disalibkan?” Jawaban Paus tidak menggurui. Ia menjelaskan bahwa Yesus mengasihi kita begitu dalam hingga rela menderita untuk menebus dosa-dosa manusia. Ia menjawab dengan nada yang tidak membuat Chiara merasa kecil, melainkan sebagai sahabat yang sedang diajak memahami cinta yang besar.
Surat lainnya datang dari Mohammed, seorang anak berusia 10 tahun dari Suriah. Ia bertanya dengan polos, “Apakah dunia akan selalu seperti ini, penuh perang?” Paus menjawab dengan kejujuran dan pengharapan. Ia tidak menjanjikan dunia tanpa perang, tetapi menegaskan bahwa harapan selalu hidup ketika ada anak-anak yang berdoa dan mencintai. “Kamu bisa menjadi pembawa damai, bahkan sekarang,” tulisnya.
Dan dari Australia, ada Luca, usia 7 tahun, yang bertanya, “Apakah Anda pernah menari?” Paus menjawab, “Ya, saya pernah. Saya suka menari tango saat muda.” Jawaban ini membuat pembaca tersenyum, bukan hanya karena kejutan dari informasi itu, tapi karena terasa betul bahwa Paus tidak sedang menjaga citra, melainkan sedang bercakap dengan sahabat kecilnya.
Adegan-Adegan yang Menggema
Tapi interaksi Paus Fransiskus dengan anak-anak tak berhenti di lembaran buku. Banyak peristiwa nyata memperlihatkan betapa ia sungguh membuka hatinya bagi mereka—terutama yang paling rapuh.
Salah satunya terjadi di Roma pada 2017, ketika seorang bocah laki-laki bernama Emanuele tiba-tiba maju saat audiensi umum dan menangis tersedu di samping Paus. Ketika akhirnya bisa bicara, ia bertanya, “Apakah ayah saya yang seorang ateis bisa masuk surga?” Paus memeluknya, lalu menjawab di hadapan semua umat, “Tuhan punya hati seorang bapa. Saya tidak bisa membayangkan bahwa Ia akan meninggalkan ayahmu begitu saja.” Jawaban itu bukan hanya menghibur Emanuele, tapi juga menyentuh jutaan hati di seluruh dunia.
Dalam kesempatan lain, saat berkunjung ke Napoli, Paus turun dari kendaraan resminya dan menghampiri seorang anak dengan disabilitas berat yang menunggu di tepi jalan bersama ibunya. Anak itu tak bisa bicara. Tapi Paus menunduk, menyentuh wajahnya, lalu memberkatinya dengan tenang, tanpa suara. Momen itu difoto dan menyebar luas, menjadi ikon kasih tak bersyarat yang ditawarkan Gereja pada yang paling kecil.
Dalam Misa di Vatikan, kadang anak-anak naik ke altar, bermain di kaki Paus, atau bahkan menarik jubahnya. Alih-alih risih, Paus membiarkan itu terjadi. “Anak-anak membuat kita tersenyum dan mengajarkan kita kebebasan di hadapan Tuhan,” ujarnya suatu kali.
Bapa yang Menyapa dengan Hati
Sejak awal masa kepausannya pada 2013, Paus Fransiskus menunjukkan perhatian khusus kepada anak-anak dan generasi muda. Dalam berbagai audiensi, ia membiarkan anak-anak naik ke atas panggung, memeluknya, bahkan diam saja di sampingnya selama ia berbicara. Tidak jarang, anak-anak itu menjadi bagian dari momen-momen penting Vatikan, bukan sebagai simbol, tetapi sebagai subjek penuh.
Pada Hari Orang Muda Sedunia (World Youth Day) di Rio de Janeiro, Panama, hingga Lisboa, Paus berbicara kepada kaum muda dengan nada yang sama seperti dalam buku ini: penuh kehangatan, penuh pengharapan. Ia berkata, “Jangan biarkan orang lain merampas sukacitamu.” Kalimat itu tidak lahir dari dokumen teologis, melainkan dari kedekatan seorang gembala dengan domba-dombanya yang muda.
Mengapa Anak-anak?
Mengapa Paus Fransiskus memberi begitu banyak ruang bagi anak-anak dalam pelayanannya? Barangkali karena, seperti Yesus sendiri, ia percaya bahwa “kerajaan Allah adalah milik mereka yang seperti anak-anak.” Dalam dunia yang kian bising dengan politik, polarisasi, dan kekerasan, suara anak-anak menjadi pengingat akan kepolosan, kejujuran, dan kerapuhan manusia yang tak boleh dilupakan.
Lewat Dear Pope Francis, dunia dewasa diajak mendengar kembali suara yang paling jujur dalam komunitas kita. Paus mencontohkan bahwa Gereja harus menjadi ruang aman bagi pertanyaan anak-anak, bahkan yang terdengar naif atau sulit. Bahwa iman itu tumbuh bukan dari jawaban yang sempurna, melainkan dari keberanian untuk bertanya dan kesiapan untuk mendengarkan.
Penutup: Mendekatkan Surga ke Tanah
Dalam salah satu jawabannya, Paus menulis, “Kamu tidak perlu menjadi Paus untuk mencintai seperti Yesus. Cinta bisa dimulai dari rumahmu sendiri.” Kalimat ini adalah rangkuman dari seluruh pesan pastoral Paus Fransiskus kepada generasi muda: iman yang sejati tidak rumit, tidak jauh, tidak eksklusif. Ia dimulai dari sapaan lembut, dari pelukan hangat, dari telinga yang mendengar.
Dan mungkin, dalam dunia yang tengah kehilangan arah, jawaban-jawaban untuk masa depan justru datang dari pertanyaan anak-anak—dan dari Paus yang berani mendengarkannya.
Bob Priya Husada