Tuhan Hadir Dalam Setiap Peristiwa

1077
Anugerah: Niek bersama suami dan ketiga buah hati mereka.
[NN/Dok.Pribadi]
4.2/5 - (5 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Sejak kecil, ia telah kehilangan bundanya. Ia bertekad hidup mandiri. Sembari menyelesaikan pendidikan tinggi, ia memberikan les pelajaran dan bekerja. Uang diperolehnya juga untuk membiayai adiknya.

Hingga usia lima tahun, Rosaline Ineke Witanto menghabiskan hari-hari dalam kebersamaan dengan keluarganya di Solo, Jawa Tengah. Setelah itu, bersama seorang adik perempuan, ia tinggal di rumah nenek-kakek di Purwokerto, Jawa Tengah, lantaran ibundanya sakit hepatitis. Waktu itu, orangtuanya mengatakan bahwa mereka akan berlibur di Purwokerto. “Tapi kami tidak pernah dijemput untuk kembali ke Solo. Bahkan, saya kemudian didaftarkan sekolah TK di sana (Purwokerto –Red),” kisah Niek, yang pada waktu itu merasa ditinggalkan.

Tiga tahun berselang. Niek mendapat kabar dukacita: sang ibu meninggal. Ia sangat terpukul dan merasa kehilangan. Dalam kesedihan, ia merasa dikuatkan oleh orang-orang di sekitarnya, termasuk guru di sekolah. “Jika tidak ada mereka, saya tidak tahu seperti apa jadinya,” tandas perempuan kelahiran Solo, 30 Oktober 1973 ini.

Niek berusaha bangkit dan menata hati. Ia sadar, dirinya tak bisa terus terpuruk dan larut dalam kesedihan. Menjalani hidupnya, Niek dan adik perempuannya merasa, nenek dan kakek menjadi pengganti orangtuanya. “Nenek dan kakek tidak pernah sedikitpun mengeluh bahwa saya dan adik membebani. Mereka juga banyak menanamkan arti tanggung jawab dan bagaimana seseorang harus bekerja untuk dapat mengubah nasib,” tutur Niek.

Nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan oleh nenek dan kakeknya terpatri dalam diri Niek. Ia bertekad untuk bisa mandiri dan terus berjuang. Doa pun menjadi sandaran dan kekuatannya. “Saya yakin, hidup seseorang sudah digariskan tahap demi tahap. Dalam setiap tahap itu, Tuhan pasti memberikan penolong,” tandasnya.

Terus Berjuang
Lulus SMA pada 1991, Niek ingin melanjutkan pendidikan tinggi. Ia diterima di UNSOED Perwokerto dan STMIK Bina Nusantara (Binus) Jakarta Barat (sekarang Universitas Bina Nusantara). Ia harus memilih.

“Saya akhirnya memutuskan untuk kuliah di Jakarta, karena pertimbangan akan membuka kesempatan lebih banyak untuk saya. Kakak dari ibu yang juga menjadi orangtua angkat saya, memberi kesempatan saya kuliah di Binus. Pertimbangan biaya kuliah yang berlipat kali dibandingkan sekolah negeri, menjadi pemacu saya untuk mandiri. Di Jakarta, saya benar-benar menghadapi lingkungan sosial yang sangat keras menempa. Dari seorang anak yang sangat dilindungi, menjadi seseorang yang harus dapat menghadapi permasalahan hidup sendiri, secara mandiri,” tutur anak kedua dari lima bersaudara ini.

Awal di Jakarta, Niek tinggal bersama sepupunya yang sudah bekerja dan menikah. Karena tak ingin membebani, pada semester tiga ia menjadi guru les privat untuk tiga anak di daerah Pluit. Memasuki semester lima pada 1993, ia memutuskan untuk kos.

Di celah kesibukan kuliah, Niek bekerja sebagai staf keuangan di sebuah perusahaan recording di Jelambar, Jakarta Barat. Selain membiayai kebutuhan kuliah dan kehidupan sehari-hari, ia membantu menanggung biaya adiknya yang masuk kuliah di Semarang. Ia mengirimkan sepertiga gaji yang ia terima untuk adiknya.

Niek berjuang untuk bisa membagi waktu sebaik mungkin. Biasanya jam 07.15, ia berangkat dari kos menuju tempat kerja. Jam kerja di kantornya, pukul 08.30-16.30. Usai bekerja, ia kuliah dari pukul 17.30 hingga 21.30. Niek memilih kuliah malam agar bisa bekerja. Ia juga mesti mengatur jadwal agar bisa memberikan les privat Matematika, dua kali seminggu. Biasanya, ia mengajar privat pada pukul 19.00-21.00. Syukur, tiga bulan setelah diterima bekerja, ia diangkat menjadi karyawan tetap. Ia pun berhenti memberi les privat.

“Hari pertama menjalani itu, saya tidur dengan baju kantor masih di badan sampai besok paginya. Setelah seminggu, irama tubuh mulai terbiasa. Saya sempat menangis menghadapi ini semua. Namun, saudara saya menguatkan: ini ibarat tempaan untuk saya. Ketika bisa melewati itu semua, saya akan semakin kuat,” tandas Niek.

Niek lulus kuliah pada 1996. Lalu melamar bekerja di perusahaan IT di bilangan Jakarta Selatan. “Saya sangat bersyukur … Bagaimana mungkin, saya bisa diterima di bagian product support di perusahaan IT asing dengan keterbatasan kemampuan berbicara Inggris? Padahal, banyak pelamar sangat fasih. Bahkan, kekurangan saya malah menjadi anugerah… Perusahaan memberikan kursus Bahasa Inggris (Conversation) dengan native teacher. Saya juga mendapatkan pengalaman berharga dari teman-teman pergaulan yang profesional dan mendukung saya.”

Percaya dan Yakin
Niek bersyukur atas segala pengalaman dalam peziarahan hidup. Ia merasakan Tuhan mengutus orang-orang di sekitarnya untuk membantu. “Saya dipertemukan dengan orang-orang baik yang menolong saya. Tuhan selalu berperan dalam setiap tahap kehidupan saya. Saya yakin dan percaya itu! Saya tak bisa mengandalkan diri sendiri. Saya libatkan Tuhan dalam setiap langkah hidup saya,” tandas umat Paroki St Lukas Sunter, Jakarta Utara ini.

Di antara mereka, kehadiran Khasimirus Djuanda Sanusi sangat berarti bagi hidupnya. Ia adalah rekan karyawan di tempat pertama ia bekerja, yang setia mengantar dan menjemputnya dari kampus pada malam hari. Pada 1999, Niek menikah dengan Khasimirus Djuanda Sanusi. Setelah kelahiran anak kedua, ia berhenti bekerja dan mendampingi anak-anak mereka. “Ini demi anak-anak juga. Saya ingin bisa mendampingi tumbuh kembang ketiga buah hati kami.”

Selain sebagai ibu rumah tangga, Niek ambil bagian dalam kegiatan di lingkungan dan wilayah: doa Rosario, pendalaman iman, dll. Rumahnya pun menjadi tempat untuk latihan koor setiap Kamis. Sejak 2012 hingga sekarang, ia dipercaya sebagai Koordinator Koor Wilayah St Agustinus, Paroki St Lukas Sunter.

Niek tak henti bersyukur atas pengalaman yang mewarnai hidupnya. Doa menjadi sandaran dan kekuatan dalam menghadapi suka-duka kehidupan. Sumeleh (pasrah) menjadi semangat yang terus ia hidupi. Ia mengungkapkan, “Pertolongan Tuhan datang melalui orang-orang yang dikirim-Nya untuk menjadi teman, musuh, guru, dan sebagainya. Saya mengandalkan doa. Saya yakin, kasih Tuhan selalu datang tepat pada waktunya. Saya percaya, untuk segala sesuatu di bumi ini ada waktunya (Pengkotbah 3:1). Secara manusiawi, saat mengalami kesulitan dan cobaan hidup, saya mungkin hilang sabar, mengeluh, dan bertanya-tanya. Namun saya yakin, Tuhan tak akan memberikan cobaan yang melebihi apa yang bisa kita mampu tanggung.”

Maria Pertiwi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here