web page hit counter
Minggu, 16 Februari 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Wakil Presiden AS, JD Vance, Mantap Beriman Katolik karena Santo Agustinus

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COMIa idak hanya tertarik pada ide-ide teologis Gereja, tetapi juga pada ajaran-ajarannya tentang keluarga dan tatanan sosial serta keinginannya untuk menanamkan kebajikan dalam masyarakat modern.

WAKIL Presiden terpilih Amerika Serikat (AS), James David Vance atau yang dikenal dengan JD Vance, yang baru saja dilantik pada Senin (20/01/2025), seketika menjadi sensasional media sosial terutama di kalangan umat Katolik. Sejak pengumuman kemenangannya yang mendukung Trump, banyak kisah perjalanan imannya menjadi Katolik berseliweran di grup-grup Whatsapp. Rupanya banyak yang penasaran dengan sosoknya. Memang, dalam setiap pidato publiknya, ia terlihat berani dan lantang menyuarakan opini melalui sudut pandang iman Katoliknya.

Berkat Sang Nenek
Sebagian besar hidup wakil presiden termuda ketiga dalam sejarah AS ini banyak dibesarkan oleh sang nenek, yang ia panggil “Mamaw”. Dalam tulisannya yang terkenal di The Lamp Magazine berjudul “How I Joined The Resistance” di mana ia menuliskan kisahnya memeluk iman Katolik, disebutkan Mamaw sangat berperan.

Mamaw sendiri adalah pribadi yang sangat percaya kepada Yesus dan menyukai Pendeta Billy Graham, tetapi tidak menyukai apa yang disebutnya “agama terorganisasi”. Maka dari itu, Vance tidak dibaptis saat masih kecil. Apalagi, anggota keluarga yang paling banyak menghabiskan waktu bersamanya umumnya tidak pergi ke gereja, kecuali mereka mengunjungi rumah leluhur mereka di Appalachian di Jackson, Kentucky, AS. Meskipun demikian, ia mengatakan dalam memoarnya, “Hillbilly Elegy”, neneknya memiliki iman yang sangat pribadi (meskipun unik).

Saat tumbuh dewasa, Vance mengakui jarang pergi ke gereja, tetapi menyerap ajaran Kristen yang dipraktikkan neneknya. Dalam memoarnya itu ia menulis, “Di dunia yang rusak yang saya lihat di sekitar saya — dan bagi orang-orang yang berjuang di dunia itu — agama menawarkan bantuan nyata untuk menjaga orang-orang beriman tetap pada jalurnya.”

Baca Juga:  Vatikan Memanggil, Monica Belluci Datang dalam Tahun Suci

Saat remaja, kelahiran 2 Agustus 1984 ini pergi ke gereja ayahnya, tempat ia mendalami ajaran evangelis. Perlahan ia pun meninggalkan musik Black Sabbath-nya, bahkan mencoba mengubah keyakinan orang lain, seperti guru sains kelas tujuhnya yang beragama Islam. Ia mendukung “pro-kehidupan” pada usia 14 tahun. Ia mengatakan bahwa agama Kristen memberikan struktur dan “tekanan moral” kepada ayahnya dan kepadanya.

“Tidak minum alkohol, memperlakukan orang dengan baik, bekerja keras, dan sebagainya, membutuhkan banyak kemauan keras ketika Anda tidak tumbuh dalam keistimewaan,” sebutnya dalam sebuah wawancara di tahun 2016 dengan Rod Dreher, seorang penulis konservatif dan penganut Kristen Ortodoks yang menghadiri pembaptisannya. Vance melanjutkan, “Perasaan itu — entah itu nyata atau sepenuhnya palsu — bahwa ada sesuatu yang ilahi yang membantu Anda dan mengarahkan pikiran dan tubuh Anda, sangatlah kuat.”

JD Vance bersama Scott Hahn di Franciscan University of Steubenville| Dok. Catholicconnect.com
JD Vance bersama Scott Hahn di Franciscan University of Steubenville| Dok. Catholicconnect.com

Sempat Ateis
Pada saat ia memulai Sekolah Hukum di Universitas Yale, usai menyelesaikan tugasnya sebagai Marinir dan lulus dari Ohio State, Vance mengakui telah melalui “fase ateis yang pemarah,” katanya dalam wawancara selanjutnya dengan Rod Dreher. Ia menguraikan di fase itu, ia menolak anti-intelektualisme dari agama Kristen keluarganya. Namun, ia bertemu dengan kelompok Katolik di Yale, dan keingintahuan intelektualnya sendiri tumbuh.

Di Washington, ia terhubung dengan seorang alumni Hukum Yale yang telah menjadi imam Katolik di Dominican House of Studies ‘Rumah Studi Dominikan’. Sebelum bergabung dengan Ordo Dominikan, Pastor Dominic Legge, OP telah menjadi juru tulis untuk Hakim Diarmuid O’Scannlain dari Pengadilan Banding AS untuk Sirkuit Kesembilan. Ia merupakan imam Katolik pertama yang diajak Vance untuk berdiskusi tentang prosedur menjadi seorang Katolik.

Rumah Studi Dominikan di Washington memang terkenal karena menarik perhatian kelompok intelektual konservatif dan calon penganut Katolik yang memegang jabatan profesional tinggi. Pada tahun 2016, untuk memperingati ulang tahun ke-800 berdirinya ordo tersebut, Rumah Studi Dominikan menyelenggarakan perayaan dengan mengundang pembicara seperti Hakim Agung Alito dan Antonin Scalia, serta tamu seperti aktivis konservatif, Leonard Leo. Beberapa Dominikan muda membentuk band bluegrass yang disebut Hillbilly Thomists, mengambil nama mereka bukan dari judul buku Vance, tetapi dari kutipan Flannery O’Connor, seorang novelis gotik.

Baca Juga:  Uskup Agung Samarinda, Mgr. Yustinus Harjosusanto MSF: Fokus pada Kebahagiaan Sejati dan Abadi

Ketika Vance pindah ke Cincinnati pada tahun 2018, Pastor Legge menghubungkannya dengan Pastor Henry Stephan, OP di Gereja St. Gertrude. Sebagai mahasiswa tingkat akhir di Princeton, Pastor Stephan tercatat pernah magang dengan Hakim O’Scannlain, yang menyarankannya untuk menjadi imam Katolik. Gereja St. Gertrude sendiri adalah pusat Ordo Dominikan di wilayah tersebut — tempat para novis Dominikan, para pemuda yang mempertimbangkan untuk bergabung dengan ordo, menghabiskan tahun pertama mereka sebelum pergi ke Rumah Studi di Washington.

Berdiskusi dengan Dominikan
Selama bertahun-tahun, Vance sudah sering “PDKT” dengan gereja itu. Sekarang, hatinya ingin mengeksplorasi keinginannya untuk bergabung secara sungguh-sungguh dengan Gereja Katolik. Selama berbulan-bulan, Vance dan Pastor Stephan membaca karya-karya teologi, mistisisme, serta filsafat politik dan moral. Terkadang mereka pergi minum kopi atau makan siang bersama.

Kemudian, pada suatu hari musim panas tahun 2019, Vance, yang saat itu berusia 35 tahun, kembali ke Gereja St. Gertrude, kali ini untuk dibaptis dan menerima komuni pertamanya di kapel pribadi Dominikan. Para biarawan merayakan pembaptisannya bersama keluarga Vance dengan donat. Untuk nama baptisnya, Vance dengan mantap memilih Santo Agustinus sebagai pelindungnya, seorang teolog politik yang terkenal dengan risalahnya pada abad kelima “City of God” ‘Kota Tuhan’ yang menantang kelas penguasa Roma. Hal ini sangat menarik Vance dan diakuinya sebagai salah satu kekuatannya untuk mantap beriman Katolik.

Baca Juga:  Pertobatan Ekologis dalam Keseharian Hidup: Apa dan Bagaimana

“City of God adalah kritik terbaik tentang zaman modern kita yang pernah saya baca,” ujar Vance yang ia jelaskan dalam jurnal sastra Katolik. “Masyarakat yang berorientasi sepenuhnya pada konsumsi dan kesenangan, mengabaikan tugas dan kebajikan.” Untuk itu bagi Vance, menjadi katolik merupakan cara praktis untuk melawan apa yang ia lihat sebagai nilai-nilai elit, terutama sekularisme. Ia tidak hanya tertarik pada ide-ide teologis gereja, tetapi juga pada ajaran-ajarannya tentang keluarga dan tatanan sosial serta keinginannya untuk menanamkan kebajikan dalam masyarakat modern.

Pandangan dunia itu menjadi titik balik bagi sebagian besar masa kecilnya yang berantakan, dan berpadu dengan kritiknya sendiri terhadap Amerika kontemporer, dari apa yang ia lihat sebagai pengabaian para pekerja hingga ketidakbahagiaan. Pandangan itu juga telah merasuki ‘roh’ politiknya, yang berupaya memajukan masa depan yang berorientasi pada keluarga dan konservatif secara sosial melalui populisme ekonomi dengan berdiri bersama para penentang aborsi.

JD Vance bersama keluarganya| Dok. readilion.com
JD Vance bersama keluarganya| Dok. readilion.com

“Pandangan saya tentang kebijakan publik dan seperti apa seharusnya negara yang optimal cukup sejalan dengan ajaran sosial Katolik,” ungkap Vance bangga, masih dalam wawancaranya dengan Rod Dreher. “Saya melihat adanya tumpang tindih yang nyata antara apa yang ingin saya lihat dan apa yang ingin dilihat oleh Gereja Katolik. Dan saya memilih bergabung dengan kelompok ‘penentang’ (Red. Gereja Katolik) cita-cita masyarakat modern yang semuanya bersumber pada kesenangan daging semata.”

Akhirnya, dalam tulisan esainya di jurnal Katolik The Lamp itu, ia menyimpulkan bahwa dirinya “membutuhkan rahmat” untuk memberinya kebajikan agar dapat menjadi suami dan ayah yang baik. “Dengan kata lain, saya perlu menjadi seorang Katolik,” tulis suami dari Usha Chilukuri Vance ini.

Felicia Permata Hanggu

Telah terbit di Majalah HIDUP Edisi 48 Tahun 2024

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles