web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Suster Maria Virgo, SND: Bangkit dari Luka, Tumbuh dengan Cinta

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM “Setiap kehilangan meninggalkan luka, tetapi setiap luka adalah jalan menuju kasih-Nya yang menyembuhkan.”

KITAB Suci sendiri banyak berkisah tentang pengalaman luka dan bagaimana orang bisa sembuh ketika memandang hidup dari kacamata Tuhan. Misalnya kisah Yusuf, yang dijual oleh saudara-saudaranya ke pedagang budak. Hidupnya merana, tetapi tangan Tuhan menyertainya sehingga ia bisa menjadi bendahara Kerajaan Mesir.

Dalam prosesnya, Yusuf bergantung pada Tuhan dalam deritanya, dan percaya bahwa Tuhan memelihara hidupnya selama ini. Ia menemukan bahwa Tuhan mempunyai rencana yang lebih besar, yang melampaui peristiwa yang menyakitkan hatinya. Karena menyatukan diri dengan kasih Tuhan, ia pun disembuhkan dan dapat mengampuni saudaranya dengan ikhlas.

Gelombang Kehilangan
Kisah pengolahan luka ini juga dialami oleh Provinsial Bunda Penasihat yang Baik Kongregasi Suster Notre Dame (SND) Indonesia ke-7 (8 Desember 2004- 8 Desember 2010), Suster Maria Virgo, SND. Tumbuh di keluarga sederhana, Theresia Sutirah, nama kecilnya, sangat mengasihi keluarganya. Ayahnya, (alm.) Bernardus Djumari Atmosukarto adalah seorang tukang batu dan sang ibu, (alm.) Bernadeta Rubiyah Atmosukarto seorang pedagang kecil.

“Saya adalah anak pertama dari tujuh bersaudara,” ujar kelahiran 1 Agustus 1955 ini mengawali cerita. “Dari tujuh saudara itu, dua adikku telah dipanggil Tuhan.” Sejenak ia menghela napas sebelum melanjutkan, “Keduanya mengalami kecelakaan.” Sebagai anak pertama, ia sangat menyayangi keenam adiknya.

“Adik laki-lakiku satu-satunya mengalami kecelakaan dan tidak selamat. Kejadiannya sepulang sekolah,” ujarnya dengan mata menerawang, mengenang kejadian itu. “Saat kejadian, hanya saya yang melihat semuanya. Saya waktu itu Kelas VI, sedangkan adik saya yang meninggal masih Kelas II,” ucapnya lirih, mengenang peristiwa yang tak akan pernah terlupakan.

Saat kejadian, ibunya baru saja pulang dari pasar, sedangkan sang ayah masih bekerja. Ironisnya, hari itu juga sang ibu mengabulkan permintaan terakhir adiknya. “Bu, belikan aku kaos dan celana,” pinta adiknya sebelumnya. Dan tanpa ragu, ibunya membelikannya hari itu juga, tanpa tahu bahwa itu adalah permintaan terakhirnya.

Langkah kaki Theresia gontai. Setibanya di rumah ia hanya ingin merangkul ibunya yang telah dikerumuni banyak orang, terbaring di tempat tidur dengan duka yang mendalam. Ketika dirinya mendekat, sesuatu yang tak terduga terjadi, ibunya tiba-tiba menjambak rambutnya dengan erat. Dalam keadaan setengah terduduk, ibunya berkata dengan suara penuh emosi, “Piye, Le? Momong adikmu gimana? Kenapa bisa seperti ini?” Rasa sakit secara fisik bercampur dengan perasaan terluka di hatinya. Ia hampir tak kuat, hampir pingsan karena kejadian itu.

“Tanpa disadari, pengalaman ditinggalkan mendadak secara beruntun membuat saya merasa terbebani.”

Akhirnya ia pun bisa melepaskan diri dari ibunya. Saat itu, ia belum menyadari bahwa momen itu akan meninggalkan luka mendalam dengan ibunya. Ia merasa disalahkan, merasa gagal sebagai kakak tertua. Sejak saat itu, kedekatan mereka tak lagi sama. Ada jarak yang terbentuk, ada luka yang tersisa.

Baca Juga:  Penyuluh Katolik Berkolaborasi dengan Komunitas Doa Santa Faustina Melaksankan Pembinaan Iman di Rutan Wirogunan

Belum kering luka kehilangan itu, ia dan keluarganya harus menghadapi luka kehilangan lain. Adik perempuannya yang berusia tiga tahun ditemukan meninggal dunia di dalam kolam ikan. Ia terjatuh dan tenggelam. “Saat itu saya berkeliling seluruh desa, masuk dari rumah ke rumah untuk mencari adik saya,” kisahnya. Ia bahkan sempat berpikir, “Jangan-jangan adikku diculik orang?” Saat jasadnya dibawa pulang oleh sang ayah, semua orang terpukul. Hati seluruh keluarga terkoyak.

Ketika sudah mulai melangkah untuk berdamai dengan keadaan, ternyata ia harus kembali mendengar kabar kematian saat duduk di Kelas I SMP. “Paklik saya, yang momong saya waktu kecil, meninggal mendadak,” sebutnya pilu.

“Semua kejadian ini benar-benar menyayat hati saya,” aku Suster Virgo dengan suara lirih. Ia melanjutkan, “Tanpa disadari, pengalaman ditinggalkan mendadak secara beruntun membuat saya merasa terbebani.”

Matanya kembali menerawang, me- ngenang setiap kehilangan yang di- alaminya. “Setiap peristiwa itu menambah beban di hati saya,” tambahnya, “hingga saya menjadi seseorang yang memikul beban berat tanpa sadar.”

Rahmat Pengolahan Hidup
Akhirnya, Tuhan memberikan Suster Virgo kelegaan lewat Kursus Pendampingan Rohani (KPR) di Rumah Khalwat Roncalli. “Saya ikut KPR selama enam bulan,” ujarnya, “Saat itu, saya masih kuliah di Atma Jaya, mengambil Bimbingan Konseling.” Saat ditawari ia begitu senang karena memang ia rindu sekali mengolah hidup.

Baca Juga:  Bekas Mobil Paus Fransiskus Jadi Klinik Kesehatan Keliling di Gaza

Dengan suara lirih, ia menambahkan, “Waktu itu saya merasa hidup ini seperti mengambang, antara hidup dan tidak. Saya ingin tahu apa sebenarnya yang membuat saya tidak berpijak dengan mantap.” Lanjutnya, “Saya terlihat gembira, relasi saya banyak, tetapi ada sesuatu di dalam diri saya yang berat,” akunya. “Ternyata, itu adalah beban batin.”

Sr Maria Virgo, SND memegang warisan salib misi.
Sr Maria Virgo, SND memegang warisan salib misi.| HIDUP/Felicia Permata Hanggu

Suster Maria Virgo pun terdiam sejenak sebelum melanjutkan dengan suara bergetar, “Di sana saya mengolah perasaan saya tentang adik saya yang meninggal, dan itu sangat menyakitkan. Saya yang melihatnya pertama kali di bawah mobil….” Refleks ia menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan emosinya. “Sampai sekarang, saya masih trauma. Setiap kali melihat kerumunan orang di jalan, saya pasti langsung menutup mata,” katanya dengan lirih. “Saya memang sudah mencoba mengolah perasaan ini, tetapi bayangan adik saya di bawah mobil… aduh, rasanya begitu menyakitkan.”

Selama proses pengolahan, ia bersyukur dipertemukan pembimbing dan teman- teman yang baik. Ia mengaku sangat berat menjalani proses pengolahan itu. “Di KPR inilah saya mengolah hidup saya,” katanya pelan. “Selama enam bulan, saya benar- benar hanya fokus untuk kursus dan mengolah hidup saya sendiri.” Ia menarik napas dalam sebelum melanjutkan, “Rasanya berat sekali. Saya sampai sakit, kurus, dan habyt saya sampai longgar. Mengolah hidup itu ternyata membuat sakit.”

Dengan tersenyum ia berkata, “Sakitnya itu bukan hanya di hati, tetapi juga di tubuh. Saya mengalami semacam bisul di sekujur tubuh… hanya wajah saya yang tidak kena.” Ia pun kembali menghela napas panjang. “Tapi semua itu harus saya jalani. Prosesnya memang menyakitkan, tetapi saya tahu, saya harus melewatinya.” Selama retret agung pengolahan itu, ia mengaku terus mengucurkan air mata. Namun, ia bersyukur dapat meluapkan seluruh beban batinnya.

“Virgo, tidak cukupkah Kristus bagimu?”

Salib misi pemberian Suster Maria Noberta, SND yang dibawa dari Jerman ke Indonesia. | HIDUP/Felicia Permata Hanggu
Salib misi pemberian Suster Maria Noberta, SND yang dibawa dari Jerman ke Indonesia.
| HIDUP/Felicia Permata Hanggu

Usai retret selesai, ia pun dihadapkan dengan cobaan baru soal kehilangan. Bibi kesayangannya di Semarang dikabarkan meninggal. Saat melayat, ia yang semula paling takut untuk melihat orang meninggal, sekarang sudah berani, bahkan sempat menciumi jenazah sang bibi.

Baca Juga:  Kongregasi FCh Rayakan 34 Tahun Kemandirian dan Hidup Membiara di Palembang

Dalam kesempatan itu, ia juga bersyukur bisa memperbaiki relasinya dengan sang ibu. “Tidak sampai dua minggu setelahnya, Mbok (ibu, red.) saya dipanggil Tuhan.” Ia tersenyum, mengenang, lalu melanjutkan, “Tapi saya bersyukur, Mbok dipanggil dalam keadaan rahmat itu benar-benar nyata. Wajahnya kelihatan gembira.”

Dengan mata berbinar, ia menambahkan, “Mbok saya, walaupun sakit, tidak pernah mengeluh. Pokoknya, dia selalu gembira, malah seorang pendoa.” Ia tersenyum, mengenang sosok ibunya. “Siapa pun yang datang menjenguknya pasti merasakan penghiburan,” katanya

“Pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi pengalaman konkret dalam hidup saya. Saya belajar bagaimana mengolah diri, bagaimana ditemani, dan bagaimana diantar menuju kehidupan yang membawa kebebasan.” Ia tersenyum tipis lalu melanjutkan, “Karena itu, secapek apa pun saya, saya selalu menyediakan waktu bagi mereka yang ingin curhat.”

Sejenak kemudian ia menatap ke kejauhan, merenung sebelum berkata dengan nada penuh syukur, “Saya bersyukur dengan pengalaman di Roncalli dan dibentuk di dalam komunitas SND. Ini membantu saya lebih memahami diri dan orang lain.”

Suster Virgo lalu menegaskan, “Komunitas pasti punya andil dalam membentuk saya. Kongregasi, retret, olah hidup, kuliah, semuanya memberi saya kesempatan untuk berkembang. Itulah yang membuat saya menjadi Virgo (gelar yang disematkan kepada Bunda Maria yang Tak Bernoda) seutuhnya.” Ia tersenyum, lalu berkata, “Saya ingin meneladani Bunda Maria, karena Maria yang Tak Bernoda menjadi idola saya. Inilah hidup saya, perjalanan saya, dan saya bersyukur atas semua yang telah saya jalani.”

Dalam meniti hidupnya, ia senantiasa terkenang perkataan pimpinannya dulu, Suster Maria Xaviera, SND yang berkata dikala ia ragu, “Virgo, tidak cukupkah Kristus bagimu?” perkataan itu menjadi rema dibatinnya yang selalu mengingatkannya akan Kristus yang amat mencintainya sebagaiamana adanya dia. Apalagi hingga sekarang, ia masih menyimpan salib misi pemberian Suster Maria Noberta, SND yang dibawa dari Jerman ke Indonesia. Semua peneguhan ini memampukannya untuk berkata dengan penuh iman, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.”

Felicia Permata Hanggu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles