Andreas Adi Siswa dan Teresia Marlanti Djaja : Kala Indonesia Raya Berkumandang

3688
Andreas Adi Siswa dan Teresia Marlanti Djaja.
[HIDUP/Yanuari Marwanto]
4/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Putra bungsu mereka menyumbang emas untuk Indonesia di Asian Games 2018. Sempat terpukul lantaran anak pertama menyandang autis. Ada maksud di balik peristiwa itu.

Pertandingan final bulu tangkis tunggal putra Asian Games 2018 di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (28/8/2018), baru akan berlangsung satu jam kemudian. Partai terakhir nomor perseorangan cabang olahraga itu mempertemukan atlet tuan rumah Indonesia, Leonardus Jonatan Christie (Jojo) dengan wakil Taiwan, Chou Tien Chen.

Teresia Marlanti Djaja –kerap disapa Dewi– bersama sang suami, Andreas Adi Siswa, meluncur dari rumah mereka di Jakarta Timur menuju Istora. Tiba di sana, Dewi dan Andreas berpisah. Dewi menuju arena badminton, sementara Andreas ke Hotel Century Park Senayan, tempat menginap Jojo, putra bungsunya.

Tiba di kamar anaknya, Andreas mendengar lagu pop rohani berjudul Sampai Akhir Hidupku. Lagu itu diputar Jojo lewat telepon genggamnya yang dihubungkan ke pengeras suara. Pemandangan tersebut mengingatkan Andreas pada laga tinju antara Evander Holyfield melawan Mike Tyson tahun 1997.

Sebelum laga berlangsung, yang pada akhirnya dimenangkan oleh Holyfield, petinju berjuluk “the Real Deal” itu mendengarkan dan menyanyikan lagu rohani di ruang gantinya. “Saya langsung teringat Holyfield. Saya yakin Jojo akan memenangi pertandingan. Lagu itu (yang didengar Jojo) membuat suasana jadi teduh, tenang. Saya juga bilang kepadanya, ‘Jo, Papa yakin kamu menang’,” kenang Andreas, ketika ditemui di Gedung Hati Kudus Yesus, Gereja St Antonius Padua Bidaracina, Keuskupan Agung Jakarta, Rabu, 29/8.

Keyakinan Andreas terbukti. Jojo berhasil “menaikan” bendera Merah-Putih di pucuk tiang, lagu Indonesia Raya pun berkumandang di arena pertandingan.

Kurang Uang
Adreas memang figur terpenting di balik perjalanan Jojo menjadi atlet. Dia meninggalkan pekerjaan untuk menemani dan memperhatikan kebugaran serta latihan anak bungsunya itu. Itu juga yang membuat Andreas jarang bertemu dengan istri dan putra sulungnya, Bernardus Ivan Christie. “Jojo dan Bapaknya tinggal bersama di rumah mertua saya. Sedangkan saya menemani Ivan di rumah. Itu berlangsung selama hampir lima tahun,” ujar Dewi.

Keadaan finansial keluarga Andreas kala itu juga sedang tak bagus. Begitu mengundurkan diri dari tempatnya bekerja lantaran memperjuangkan kesejahteraan karyawan, Andreas menangani urusan kenotarisan bersama keluarganya. Pekerjaan itu akhirnya dia lepas karena ingin fokus kepada Jojo. Mereka juga masih tinggal di kontrakan.

Keluarganya sempat menawarkan bantuan. Tapi, Andreas menolak. Dia tak ingin menerima pemberian secara cuma-cuma. “Saya ingin istri dan anak-anak bisa makan dan hidup dari hasil kerja saya,” ujarnya.

Keluarganya lalu menawarkan pekerjaan kepada Andreas untuk mengantar dan menjemput keponakannya sekolah. Dia terima pekerjaan tersebut karena bisa dijalani sembari mendampingi putranya latihan. Lagipula dia melakukan itu demi keponakannya sendiri. Gaji yang dia dapat diserahkan seluruhnya kepada sang istri. “Itu semua untuk istri dan anak-anak. Saya bersyukur ada keluarga kami yang membelikan vitamin untuk Jojo,” beber Andreas sembari tersenyum.

Situasi ekonomi keluarga yang sulit membuat Andreas sempat berbohong kepada Jojo. Suatu hari, dia mengajak Jojo ke rumah makan Padang. Andreas tahu putranya butuh banyak asupan bergizi. Tak pelak, saban kali makan, Jojo menyantap lebih dari sepotong daging.

Pada saat itu, menurut Andreas, uang yang dibawanya hanya cukup untuk membayar porsi makanan yang disantap putranya. Jojo heran dan bertanya, mengapa papanya tak kunjung makan? Andreas beralasan bahwa dirinya sudah makan sebelum mengajak Jojo. “Ketika dia dewasa, saya baru ceritakan soal ini, dia menangis,” kenang pria kelahiran Jakarta, 14 April 1963 ini.

Penantian Lama
Bila Andreas begitu getol mendorong dan mendukung putranya menjadi atlet, itu tak lepas dari cita-citanya pada masa lalu. Dia sempat lulus seleksi masuk tim nasional Indonesia U-15. Tapi, kerinduan itu terpaksa dia kubur amat dalam karena orangtuanya tak mengizinkan. “Masa depan atlet tak cerah,” kata Andreas, mengutip alasan orangtuanya dulu.

Andreas kecewa. Karena itu, setelah tamat SMA, dia tak mau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikut. Andreas memilih untuk langsung bekerja.

Pada 5 Juli 1987, Andreas dan Dewi menikah di Gereja St Antonius Padua, Jakarta Timur. Sejak awal pernikahan, menurut Dewi, sang suami begitu menginginkan agar anak pertama mereka menjadi atlet. Harapan itu merupakan obsesi masa muda suaminya yang tak kesampaian.

Andreas dan Dewi gembira setelah tiga tahun menikah mereka mendapat momongan. Beberapa bulan kemudian, Andreas dan Dewi membawa Ivan ke dokter. Mereka terkejut begitu mendengar perkataan dokter bahwa putra mereka menyandang autis. Andreas dan Dewi sangat terpukul dengan kabar itu. Sekali lagi, Andreas harus mengubur citacitanya.

Seiring waktu kehadiran Ivan justru semakin memupuk hidup rohani Andreas dan Dewi. Menurut Dewi, putranya itu selalu mengingatkan dirinya untuk berdoa. Sementara Andreas yakin, Ivan adalah berkat bagi keluarganya. “Tuhan memberi kan kami Ivan pasti ada maksud tertentu,” ungkapnya.

Rencana Tuhan mulai tersibak tujuh tahun kemudian. Anak kedua mereka, Jojo lahir dengan sehat. Baru menginjak usia setahun, Andreas mengutarakan rencananya kepada sang istri untuk menjadikan Jojo atlet. Dewi mendukung. Seiring waktu, mereka berbagi peran: Dewi mendampingi Ivan, sementara Andreas menangani Jojo. “Saya selalu berpesan kepada Jojo, ‘Kamu harus selalu berterima kasih kepada kakakmu, karena waktu Papa bersama Ivan banyak dipakai untuk kamu’,” pesan Andreas.

Andreas juga berpesan kepada Jojo untuk selalu menghormati kakaknya. Sebab, menurutnya, Ivan sudah menjadi guru kehidupan bagi Jojo karena telah melatih dan mengasah kesabarannya. Ivan suka menggoda adiknya. “Jadi, latihan kesabaran Jojo bukan hanya saat berada di lapangan, tapi juga ketika berada di rumah. Mereka berdua suka bercanda, seperti kakak-beradik yang lain,” ujar Andreas.

Haru, Bahagia
Andreas dan Dewi tak bisa menyembunyikan keharuan dan kegembiraan saat Jojo meraih emas dalam pesta olah raga terbesar di Asia. Andreas gembira kerinduan masa lalu pada akhirnya mampu diwujudkan oleh putranya. “Ini kemurahan Tuhan. Dia telah memberikan suatu yang indah. Terima kasih Tuhan. Terima kasih seluruh rakyat Indonesia yang telah mendukung Jojo,” ucap Andreas.

Meski demikian, Andreas mengingatkan putranya bahwa gelar juara yang disandangnya itu adalah tantangan berat. Sebab, para atlet lain akan berusaha dan mempersiapkan diri untuk merebut gelar tersebut darinya. Maka, dia berharap, Jojo terus berusaha dan jangan sampai melupakan doa. Sebab, doa dan usaha itupula yang membentuknya menjadi seorang atlet. Sementara Dewi berharap, para orangtua senantiasa mendukung impian anak-anak mereka masing-masing.

Setelah Asian Games, ada satu harapan Andreas kepada putranya. Dia ingin Jojo kembali “menaikan” bendera Merah-Putih, dan lagu Indonesia Raya berkumandang pada Olimpiade 2020 di Jepang nanti. “Jika itu terwujud, terserah Tuhan ingin berbuat apa kepada saya. Saya siap,” pungkasnya seraya tersenyum.

Yanuari Marwanto

HIDUP NO.36 2018, 9 September 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here