St Dionysius Denis Ssebugwawo (1870-1886) : “Katekis Gelap” di Istana Buganda

411
Para peziarah berdoa di depan patung St Dionysius Ssebugwawo di Taman Doa Martir Uganda di Munyonyo, Kampala.
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – ”Ada harapan, kelak saya ingin seperti Yesus. Saya ingin ditombaki, dan memberi kepalaku dipaku,” ujar Denis suatu hari.

Melayani di kerajaan menjadi cita-cita semua anak muda Uganda, Afrika Timur. Setidaknya dengan menjadi pelayan raja, seseorang tidak akan mati kelaparan. Kemiskinan yang mendera wilayah Uganda, membuat banyak anak muda tidak punya pilihan. Namun tak semua orang mendapat peluang yang sama untuk menjadi Mtumishi wa Mfalme ‘pelayan raja’. Hanya pemuda dari Suku Acholi, Buganda, Iteso, Karamojong, Lango, Lugbara, dan Kakwa yang mendapatkan posisi ini.

Dionysius Denis Ssebug wawo adalah satu dari sekian pelayan yang terpilih sebagai pelayan raja. Bila orang lain melihat pelayan sebagai jalan memperbaiki ekonomi, maka Denis tidak. Dia ingin menjadi “katekis gelap” di istana. Ia ingin mempertobatkan kaum muda istana.

Beberapa tahun di istana, Raja Mwanga II mengetahui misi rahasia Denis. Raja membunuh Denis dengan cara menombakinya. Ia meninggal karena kebencian Raja Mwanga II. Kendati begitu, benih iman yang ditanam Denis telah mulai tumbuh. Banyak anak muda menemukan kebenaran di istana.

Kristiani Sederhana
Denis dan saudara kembarnya Isaac Kajane lahir di Kigoloba, Bulemeezi tahun 1870. Mereka adalah putra pasangan Nsonga dan Kajansi. Nsonga yang berasal dari Suku Musoga sejak kecil diangkat anak oleh Nkalubo Sse bug wawo yang adalah ayah Kajansi dari Suku Bugiri. Ketika Nsonga dewasa, ia dinikahkan dengan sau dara angkatnya itu. Dari pernikahan ini, Nsonga dan Kajansi dikaruniai 11 anak termasuk Denis.

Kehidupan keluarga Denis mengalami tragedi ketika sang kakek, Nkalubo, ditangkap dan dihukum mati oleh para pengawal Raja Buganda. Kejadian ini tak lama setelah kelahiran Denis. Demi keselamatan anak-anaknya, Kajansi terpaksa pindah ke Bunono, Busiro.

Di situ, Kajansi menghidupi keluarganya dengan hasil dari bertani. Kajansi dikenal seorang Kristiani yang sederhana. Dari pria hitam manis inilah, Denis pertama kali mengenal iman Katolik. Sejak kecil, Denis diajarkan cara berdoa, membaca Kitab Suci dalam bahasa Swahili (Kiswahili)-bahasa yang digunakan secara luas di Afrika. Kajansi juga sangat gemar bernyanyi. Lagu “Tutusheni Sisi Kumpenda Mungu, ‘Ajari Kami Kasih-Mu Tuhan’ menjadi pujian andalan yang juga diajarkan kepada Denis.

Denis mulai mencari informasi tentang The Society of Missionaries of Africa (White Fathers). Ia bisa duduk dan mendengarkan khotbah para misionaris Eropa itu tentang Yesus yang disalibkan. “Ada harapan, kelak saya ingin lebih dari Yesus. Saya ingin ditombaki, dan memberi kepalaku untuk dipaku,” demikian ditulis J. P. Thoonen, dalam buku biografi tentang Denis berjudul Black Martyrs (London: 1941).

Peralihan Kekuasaan
Denis sebagai putra Buganda termasuk sebagai klan yang berhak mendapat posisi sebagai pelayan raja. Saat usianya menginjak remaja, ia pun mulai bekerja melayani raja. Ia menerima tugas ini dengan harapan bisa menyebarkan Kabar Gembira di antara para pelayan muda yang lain.

Di masa menjelang akhir abad XIX ini, masyarakat Buganda (periode kerajaan di mana Uganda masuk wilayah ini) sangat terbuka pada iman Kristen. Hal ini karena sikap Raja Muteesa I (1837-1884) yang sangat mendukung karya misionaris. Banyak orang bertobat selama kepemimpinan Muteesa. Agama Kristen boleh masuk dalam istana tanpa ketakutan.

Ketika sang raja mangkat dan digantikan Raja Mwanga II tahun 1884, kondisi ini berubah. Sang raja baru melihat kehadiran misionaris sama dengan sebuah penjajahan yang dilakukan kekuatan asing (Eropa). Sikap Mwangwa II ini tentu bertolak belakang dengan ayahnya. Sejak ia berkuasa, ia mulai memerintahkan ekse kusi kepada orang-orang Kristen. Ia prihatin pada pengaruh yang semakin meningkat dari Kekristenan. Penguasaan Jerman atas Tanzania yang ketika itu terjadi memicu kekhawatiran lebih lanjut.

Mwanga II memerintahkan untuk menangkap tiga orang yaitu Yusufu Rugrama, Makko Kakumba, dan Nuah Serwanga pada 31 Januari 1885. Mereka adalah pelayan raja yang telah mengabdi sejak pemerintahan Raja Muteesa I. Di tahun yang sama Mwanga II memerintahkan untuk membunuh seorang Uskup Anglikan James Han nington di Buganda.

Dua peristiwa tragis ini mendapat protes keras dari seorang katekis istana, Yusufu Mukasu Balikudembe. Yusufu membela tradisi “negeri mutiara Afrika” tentang perlakuan terhadap para pendatang. Protes ini membuat raja memerintahkan untuk memenggal kepala Yusufu. Katekis setia ini menjadi martir pertama Katolik di Uganda. Posisi ini kemudian diserahkan kepada Charles Lwanga yang tidak kalah salehnya. Charles berusaha keras menjauhkan remaja pria dari Mwanga II karena kebiasaan pedofilianya.

Tombak Kemartiran
Pada 25 Mei 1886, raja pergi berburu Kuda Nil. Setelah kembali dia ingin memuaskan hasratnya kepada pelayan favoritnya Mwafu. Tetapi raja tidak menemukan Mwafu. Raja memerintahkan agar seisi istana segera mencari Mwafu dan membawanya ke kamar raja. Menjelang sore, Mwafu tak kunjung datang karena berpikir sang raja akan tiba di istana malam hari. Sedang orang mencarinya, di tempat berbeda luar istana, Mwafu bersama Kato dan beberapa temannya lagi duduk mendengarkan pengajaran Denis tentang misteri salib.

Suatu ketika, Wwanga II bertanya kepada Mwafu kenapa akhir-akhir ini sering menghindarinya. Mwafu, anak 16 tahun itu dengan polos menjawab, “Sebab saya sekarang menjadi katekumenat.” Mendengar ini, Mwanga II naik pitam. Ia tidak ingin “buruannya” diambil orang. Ia lalu meminta Denis dipanggil dan diadili. Kaki, leher, dan tangan Denis diikat rantai dan dipaksa berdiri di depan raja. Di hadapan para pengawal raja, Denis dipaksa meninggalkan imannya tetapi ia menolaknya.

Mwanga II bertanya, “Bagaimana Anda bisa menjadi Kristen di kerajaan yang saya pimpin?” Semua mata memandang rendah kepada Denis. Dengan tatapan penuh kasih ia menjawab, “Sebab kerajaan Anda akan kuat bila Anda mau bertobat, memberi diri dibaptis dan menjadi Kristen.” Jawaban ini sontak mendatangkan tawa dan olok-olokan dari para prajurit. “Bagaimana mungkin kamu selamat sementara nasibmu saat ini berada di tangan raja,” gertak Apolo Kaggwa, pemimpin pasukan.

Denis tetap bersikukuh bahwa masyarakat Uganda akan hidup damai bila raja memberi diri dibaptis. Denis yakin, hanya dengan cara ini kemiskinan Uganda akan dikurangi, lewat program-program yang ditawarkan para misionaris. “Saya tidak berharap banyak ada keselamatan di tempat ini. Tetapi darah saya akan mengalirkan kasih bagi tumbuhnya Gereja di sini,” timpal Denis.

Kata-kata Denis membuat Mwanga II marah besar. Ia lalu berdiri meraih tombak yang digunakan untuk berburu Kuda Nil dari Apolo dan menombaki Denis. Tombak itu melayang dan tepat di tenggorokan Denis. Dalam rasa benci itu, Mwanga II semakin brutal dan memerintahkan agar tak seorang Kristen pun yang diperkenankan ke luar istana.

Setelah kematian Denis pembantaian demi pembantaian terjadi. Katekis istana Charles Lwanga menyaksikan kematian Denis sadar bahwa saat yang dinanti telah tiba. Charles dengan cepatcepat membaptis empat orang pelayan yang sedang menjalani katekumenat. Salah satunya adalah St Kizito yang berusia 14 tahun. Keesokan harinya raja memerintahkan untuk mengumpulkan orang-orang Kristen. Di tempat yang sama, raja memerintahkan untuk membakar orang-orang Kristen. Semuanya wafat sebagai martir Tuhan agar benih Injil tertabur dan tertancap ke dalam hati masyarakat Uganda.

Dionysius Denis Ssebuggwawo dibeatifikasi Paus Benediktus XV pada tahun 1920. Ia dinyatakan sebagai orang suci dan dikanonisasi oleh Paus Paulus VI pada 18 Oktober 1964. Kesucian Santo Denis diperingati setiap tanggal 3 Juni. Ia menjadi pelindung untuk para musikus.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.41 2018, 14 Oktober 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here