Paulus Pramono Rahardjo : Membangun di Daerah Rawan Bencana

1649
4.3/5 - (6 votes)

Sementara bangunan dengan fondasi yang dangkal dan bangunannya ringan akan dengan mudah terseret. Paulus juga menganjurkan, bangunan berat lain dengan banyak bukaan, seperti masjid. Bangunan berat dan mempunyai bukaan, saat tsunami, akan kemasukkan air melalui celah-celah lubangnya.

Meski demikian, jelas Paulus, air tak mampu menyeretnya. Apalagi jika bangunan tersebut dibuat tinggi, maka bisa dijadikan tempat evakuasi. Di samping itu bangunan ini juga menjadi penghalang bagi bangunan di belakangnya. “Saya kira pemerintah perlu membuat kebijakan lain daripada melarang pembangunan kembali di daerah yang terdampak tsunami,” ungkapnya saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis, 11/4.

Tahan Bencana
Paulus menyampaikan, dalam diskusinya dengan kolegakoleganya dari California, Amerika Serikat, dikatakan di daerah ini setiap 500 meter terdapat bangunan tahan tsunami, yang sekaligus dijadikan shelter jika terjadi tsunami. Masyarakat pun diwajibkan untuk mengenali bangunan yang menjadi shelter tersebut. Oleh sebab itu, ia menganjurkan, mendirikan bangunan di daerah rawan bencana, bukannya tak boleh, tetapi tak boleh tanggung-tanggung. “Bangun (bangunan) yang kokoh sekalian!” tuturnya.

Selain tsunami, hal yang sama juga ia katakan pada daerah rawan bencana lain, seperti longsor, banjir, dan likuifaksi. Likuifaksi atau pencairan tanah adalah berubahnya tanah menjadi lumpur. Paulus mengatakan inilah yang terjadi di Palu. Rumah-rumah tergulung sehingga ribuan manusia masuk dalam lumpur.

Paulus menjelaskan, likuifaksi pada dasarnya berbeda dari tsunami, karena terkait dengan tanah. Saat likuifaksi, tanah yang tadinya berpasir, berubah menjadi bubur. Inilah yang menyebabkan rumah dan bangunan tenggelam. Likuifaksi memang hal yang baru di kalangan awam meskipun telah akrab di kalangan para ahli tanah sejak lama.

Likuifaksi tidak biasa dimasukkan dalam kategori bencana. Di Indonesia, Paulus mengatakan, likuifaksi rentan terjadi di sepanjang pantai Barat Sumatera, Selatan Jawa, dan sepanjang pantai Selatan Nusa Tenggara. Bagi Paulus, dengan penelitian-penelitian yang ia lakukan ini, membuat geoteknik kian menarik. “Kita bisa menyelamatkan banyak orang dan kita harus sadari bahwa kitalah yang harus menyesuaikan diri dengan alam,” ungkapnya.

Paulus mengatakan, terkadang manusia entah dengan atau tanpa sengaja, tidak mengindahkan hukum alam, khususnya tanah, saat akan mendirikan bangunan. Memahami alam dapat menghindarkan kita dari bencana. “Sebelum kawasan ditentukan pemakaiannya oleh pemerintah, harusnya dilakukan kajian terlebih dahulu agar dilakukan plotting pemetaan kota mengikuti aspek pengurangan risiko bencana,” tambahnya.

Pembuatan Kebijakan
Masalahnya, banyak pembuat kebijakan yang tidak mengerti soal ini dan tidak melibatkan yang ahli. Hal yang sama juga Paulus sampaikan berlaku di daerah rawan longsor. Pembangunan di daerah ini, ia sebut tidak boleh mengganggu karakteristik tanah karena akan mengubah sifat tanah dan akan memudahkan longsor. “Jadi ada perlakuan perlakuan khusus, ada teknologi yang perlu diterapakan agar bisa tetap aman,” tambahnya.

Geoteknik bisa dikatakan menjadi dunia Paulus. Di tengah kesibukan dan padatnya jadwal mengajar, ia bahkan rela menggadaikan akhir pekannya untuk “urusan tanah”. Meski demikian, umat Paroki Santo Laurentius Bandung ini, mengaku panggilannya adalah lebih sebagai guru. “Saya sangat menikmati profesi saya sebagai dosen. Saya senang membantu mahasiswa-mahasiswa saya dalam belajar,” tuturnya.

Bagi Paulus, menjadi dosen adalah pekerjaan yang ia jalani dengan ikhlas, karena guru menyayangi muridnya tanpa pamrih. Ikhlas menjalani pekerjaan adalah kunci utamanya dalam berkarya. Proyek dan rezeki lain akan datang dengan sendirinya.

Paulus Pramono Rahardjo

Lahir : Tegal, 15 Januari 1954
Istri : Cecilia Lindayani
Anak : Grace Meilina Pramono, Adrian Pramono, Aditya Pramono

Pendidikan :
– Sarjana Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan, 1980
– Pascasarjana Teknik Rekayasa Jalan, Institut Teknologi Bandung, 1982
– Magister Ilmu Teknik Sipil, Virginia – Polytechnic Institute and State Univeristy, AS, 1983
– Doktor Geoteknik, Polytecbic Institute and State University, AS, 1989
– Guru Besar Fakultas Teknik Unpar, 2000

Hermina Wulohering (Bandung)

HIDUP NO.17 2019, 28 April 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here