Paulus Pramono Rahardjo : Membangun di Daerah Rawan Bencana

1647
Paulus Pramono Rahardjo.
[HIDUP/Hermina Wulohering]
4.3/5 - (6 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Terkadang manusia tidak mengindahkan hukum alam, khususnya tanah, saat akan mendirikan bangunan. Memahami alam dapat menghindarkan kita dari bencana.

Dua bulan pasca gempa Palu, Sulawesi Tengah, Paulus Pramono Rahardjo ikut dalam rombongan peneliti melakukan joint survey ke lokasi bencana. Paulus melakukan investigasi kondisi geoteknik di daerah tersebut dan mengumpulkan data penyelidikan tanah. Tujuannya adalah untuk memahami fenomena likuifaksi yang terjadi pada bencana yang menelan ribuan jiwa tersebut.

Dunia Paulus memang tak jauh dari tanah. Dari beberapa keahlian dalam teknik sipil, ia memilih geoteknik sebagai spesialisasinya. Ia menjelaskan, geoteknik berkaitan dengan fondasi juga tanah, seperti landslide atau pemantauan pergerakan tanah dan bangunan tanah seperti dam, terowongan-terowongan, bahkan sampai pada bencana alam seperti longsor dan gempa bumi. Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) ini, tertarik pada geoteknik sejak awal ia mempelajarinya.

Baginya, geoteknik tidak semata sains. “Lebih banyak seninya ketimbang sains,” ujar pria asal Tegal, Jawa Tengah ini. Ia mengatakan geoteknik itu urusannya dengan material yang dibentuk oleh alam dan sifatnya acak. Padahal dalam produksi, para teknisi biasanya menginginkan kepastian. “Di tanah itu hanya ada satu kepastian, yaitu ketidakpastian,” tambahnya.

Butuh Seni
Untuk menyesuaikan proses perhitungan, pengukuran, dan fakta, Paulus mengatakan butuh seni. Ia mencontohkan, ketika membuat beton, kekuatannya bisa diatur. Namun tidak demikian dengan tanah. Karenanya, pendekatan menjadi solusi. Tanah juga tak bisa ditebak. Beda tempat, sifat tanah juga ikut berbeda tergantung pada proses pembentukannya. Keunikan inilah yang membuatnya semakin bersemangat mendalami geoteknik.

Sejak awal menjadi dosen, Paulus membaktikan diri untuk Unpar. Ia bahkan bergabung sejak tamat SMA. Kala itu, ia menerima beasiswa dengan ikatan dinas sebagai dosen di universitas di Bandung, Jawa Barat ini. Selain mengajar, ia juga menangani berbagai proyek terkait pembangunan dan bencana.

Tak jarang, Paulus menerima kunjungan investor asing yang ingin mengulik soal tanah di Indonesia. Tanah menjadi bahan pertimbangan investasi. Para investor kini biasa berkonsultasi terlebih dahulu sebelum membuat deal. Maksudnya adalah agar tak merugi karena fondasi bisa jadi lebih mahal daripada bangunannya.

Paulus menjelaskan, tanah lunak membutuhkan fondasi tiang, sehingga investasinya akan semakin besar. Hal ini berbeda dengan tanah di daerah perbukitan yang biasanya kuat. Untuk itu, pada jenis tanah lunak diperlukan fondasi yang kokoh dan lebih dalam. Ia menyarankan, untuk pembangunan gedung di tanah lunak, sebaiknya lebih dari tiga lantai. “Karena rugi kan kalau fondasinya mahal, sementara bangunannya hanya dua atau tiga lantai,” tuturnya.

Di beberapa daerah yang rentan bencana, pembangunan gedung biasanya dihindari. Namun, menurut Paulus, pandangan ini keliru. Ia mengatakan justru dengan membangun gedung yang kokoh, dengan fondasi dalam dan bangunan yang berat, dapat membantu saat menghadapi bencana. Ia menjelaskan, saat terjadi tsunami, bangunan kokoh tidak akan goyah akibat erosi berkat fondasinya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here