Patricia Lestari Taslim : Mendampingi Anak Berbakat

773
Patricia (kiri) bersama sang buah hati usai wisuda bersama.
[Dok.Keluarga Patricia]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Meski usianya tak lagi muda, ia mengambil Magister Pendidikan Luar Biasa. Semua ia lakukan untuk membimbing anak semata wayangnya.

Akhir Agustus lalu merupakan salah satu hari terindah bagi Patricia Lestari Taslim. Ia dan putri semata wayangnya, Maria Clara Yubilea Sidharta, menjalani wisuda bersamaan. Patricia mengikuti wisuda magister, sementara Lala, sapaan akrab buah hatinya, menjalani wisuda sarjana. Ibu-anak itu berasal dari satu perguruan tinggi yang sama, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Pada acara tersebut, Lala dinobatkan sebagai wisudawan termuda. Tak hanya itu, ia menggondol predikat cum laude, dengan indeks prestasi kumulatif 3,78. Patricia tak dapat membendung rasa haru sekaligus sukacita. Terlebih menyaksikan keberhasilan putrinya itu.

Saat Lala mengenyam pendidikan di bangku Sekolah Dasar, Patricia baru mengetahui bahwa Lala merupakan anak berbakat (gifted), yang membutuhkan pendampingan khusus.

“Anak gifted dikenal sebagai cerdas atau berbakat istimewa. Anak gifted seperti Lala kalau tidak didampingi, prestasinya bisa jadi akan terpendam,” ujar Patricia, saat ditemui di kediamannya “Omah Organik”, di Dusun Jenengan, Maguwoharjo, Depok, Sleman-DI Yogyakarta.

Lompatan Perkembangan
Anak gifted, kata Patricia melanjutkan, memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Anak-anak seperti Lala biasanya difasilitasi di kelas akselerasi. Ini karena anak-anak gifted mengalami lompatan perkembangan dalam skala besar pada waktu singkat, hanya saja tak sinkron. “Anak gifted bukan seperti ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) karena kemampuan intelektualnya berbeda. Umumnya, anak gifted lebih mendahului teman sebayanya, lebih cepat, pola pikirnya berbeda. Anak gifted kesulitan bersosialisasi dengan teman sebaya, tapi mereka lebih “klik” berkomunikasi dengan orang yang lebih dewasa,” tuturnya.

Sejak SD, menurut Patricia, Lala merupakan trouble maker dan sulit diatur guru kelas. Predikat nakal itu menjadikan Lala sampai harus berpindah-pindah sekolah sejak kelas 2 SD. Tercatat hingga akhir jenjang SD, Lala sudah lima kali pindah sekolah.

Buah hati pasangan Patricia dan Bernadus Boy Rahardjo Sidharta ini sempat mogok sekolah menjelang ujian SD. Mulanya, Lala tak mau lagi masuk sekolah karena merasa tak nyaman dengan kegiatan belajar di sekolah. Namun setelah dipaksa orangtua, ia akhirnya menuruti perintah dan berhasil menuntaskan ujian SD dengan nilai memuaskan. “Nilainya
bagus-bagus. Mulai saat itu saya mulai sadar harus ekstra tenaga mendampingi Lala,” kata Patricia.

Pada 2013, Patricia pernah mengajak putrinya untuk berkonsultasi dengan dokter sekaligus mengikuti tes IQ. Saat itu, IQ Lala sekitar 131. IQ-nya terus naik setiap dilakukan tes tiap dua tahun sekali. Pada 2017, Lala mencatatkan nilai 145 dalam tes IQ. Lulus SD dan diketahui sebagai anak gifted, Lala memilih untuk belajar secara homeschooling. Patricia dan suami menyetujui pilihan putrinya. “Lulus SD, saya keliling cari sekolah untuk Lala. Tapi dia tetap tidak mau melanjutkan sekolah,” kenang Patricia.

Dibimbing Patricia, Lala menggunakan buku bekas milik kakak sepupunya belajar sendiri di rumah. Tak dinyana, Lala cepat menangkap pelajaran. Ia berhasil menuntaskan ujian kejar paket B yang setara SMP, dan menyelesaikan kejar paket C yang setara SMA pada 2013 dan 2015.

Patricia, yang senantiasa mengikuti perkembangan putrinya, mengatakan, sistem pembelajaran di sekolah formal membosankan bagi anak gifted, seperti putrinya. Ini karena pola belajar anak gifted lebih cepat dibandingkan anak-anak lain. Bagi Lala, belajar sendiri di rumah bukan berarti dirinya tak punya kesempatan bersosialisasi dengan teman-teman. Buktinya, ia aktif di berbagai komunitas, selain komunitas sesama homeschoolers, Lala juga punya komunitas menari dan musik.

Sanggar kegiatan belajar dan pusat kegiatan belajar masyarakat menjadi tempatnya menghabiskan waktu bersama kawan-kawan. “Terakhir, Lala masih sempat ikut Putri Altar di Kapel St Maria Bintang Samudera di kompleks Rumah Sakit Panti Rapih. Pada 2017, Lala menjadi EO (Event Organizer) pertemuan Asian Youth Day (AYD) ke 7 di Yogya, menghandle peserta dari Thailand dan Laos. Lala juga beberapa kali ikut camping rohani di Malang,” tutur Patricia.

Banyak Bahasa
Patricia mengakui, putrinya menguasai sejumlah bahasa asing, antara lain: Inggris, Perancis, dan Jepang. Menurut Patricia, Lala mempelajari bahasa tersebut dari percakapan sehari-hari dengan keluarga di rumah, serta berselancar di dunia maya.

Selepas ujian kejar paket dan bertemu kawan-kawan, Lala tiba-tiba menyampaikan niat kepada orangtuanya untuk kuliah di UNY. “Kami pikir memang ada baiknya Lala kuliah. Saran dari hasil tes IQ, Lala sebaiknya ambil jurusan bahasa. Akhirnya ia mengambil bahasa yang belum dikuasainya, yakni Pendidikan Bahasa Jerman,” ungkap Patricia.

Demi mendukung kegiatan belajar Lala, sejak awal Patricia mengantar-jemput putrinya. Maklum, saat awal masuk kuliah, Lala masih berusia 15 tahun. Ia masih amat membutuhkan perhatian dan kasih sayang orangtua. Namun setahun berjalan, Patricia mengaku bisa datang ke universitas hanya untuk mengantar jemput saja.

Apalagi, tambah Patricia, kebutuhan khusus Lala terus berkembang seiring usianya bertambah. “Saya merasa tidak cukup bekal lagi untuk membantu Lala, sehingga atas seizin suami, saya kuliah ambil S2 agar punya ilmu yang bermanfaat dalam mendidik Lala,” ujar kelahiran Teluk Betung, Bandar Lampung, 31 Juli 1971.

Setahun setelah Lala kuliah, Patricia mendaftar dan dinyatakan diterima di Magister Pendidikan Luar Biasa UNY. Ia merupakan satu-satunya mahasiswa yang bukan berlatar sarjana pendidikan luar biasa. Di antara kawan-kawannya, Patricia merupakan mahasiswa paling “senior”.

Tekad utama Patricia kembali kuliah adalah demi mendampingi putrinya belajar. Selain itu, ada pengalaman pahit yang pernah dicecapnya. Pada 1993, saat Patricia menjadi kepala sekolah di salah satu sekolah swasta di Jakarta, ia mengalami batu sandungan. Ia dicibir di muka kelas oleh salah satu temen di sekolah. “Saya masih ingat, saat itu dikatain, ‘ngapain sok buat kebijakan. Sarjana juga bukan’,” kenang lulusan IKIP Bandung, Jawa Barat itu.

Patricia langsung mengundurkan diri dari sekolah itu usai mendapat penghinaan. “Saya katakan, tunggu dua tahun lagi, saya akan ke sini dengan membawa ijasah S1,” ujar Patricia, ngebatin.

Pada 1995, Patricia mendaftar kuliah di IKIP Jakarta. “Persis awal 1998, saya selesai kuliah dan kembali ke orang yang menghina saya dulu. Saya katakan, ‘saya sudah S1. Tunggu suatu waktu saya akan bawa ijasah S2’. Cambuk penghinaan membuat saya harus kuliah lagi,” kata Patricia yang pernah mendapatkan beasiswa untuk mendalami Musik Gereja di Filipina.

Terus Bertambah
Patricia menjelaskan, di Yogyakarta jumlah anak gifted seperti Lala ada sekitar 35 anak. Di Yogya, ada komunitas orangtua yang mememiliki anak gifted, bernama Parents Support Group for Gifted Children Jogja (PSGGC). Anggota komunitas ini semula ada enam orang. Jumlahnya terus berkembang hingga kini. Pada 2015, PSGGC menggelar seminar perdana di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, tentang anak gifted yang terabaikan.

Lala bersama anak-anak gifted pada September lalu menggelar pameran gambar. Ternyata, ketika masih berusia 12-13, Lala sudah mampu menggambar obyek tiga dimensi dengan menggunakan teknis arsir. Karya Tuhan luar biasa.

H. Bambang S

HIDUP NO.44 2019, 3 November 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here