Romo Karl-Edmund Prier, SJ : Emas Sang Maestro Musik Liturgi Inkulturasi

973
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Ia turut merintis Musik Liturgi Inkulturasi di Indonesia. Namanya sempat viral ketika seseorang menyerang dan hendak membunuhnya saat memimpin Misa. Bulan lalu, ia merayakan pesta emas imamat.

Romo Prier, demikian panggilan akrab Romo Karl-Edmund Prier SJ. Pada Sabtu, 21 Desember 2019, “nahkoda” Pusat Musik Liturgi (PML), Daerah Istimewa Yogyakarta ini, merayakan pesta emas (50 tahun) tahbisan imamat. Perayaan Ekaristi yang berlangsung di Pusat Kateketik (Puskat) Yogyakarta ini dipimpin oleh Kardinal Ignatius Suharyo.

Pada kesempatan itu hadir rekan imam Serikat Yesus (Societas Iesu/Jesuit) seangkatan Romo Prier, seperti Kardinal Julius Darmaatmadja SJ dan
Romo Wolfgang Bock Kastowo, SJ. Sejumlah rubiah Ordo Cisterciensis Strictioris Observantie (OSCO) Bunda Pemersatu Gedono, Jawa Tengah pun hadir. Juga, adik dan keponakan Romo Prier, Rudolf Prier dan Christian Prier, datang khusus dari Jerman.

Bagi gembala murah senyum itu, 50 tahun berkarya sebagai imam bukanlah suatu kebanggaan. Tetapi menjadi suatu alasan untuk berterima kasih kepada Tuhan, atas tugas yang dipercayakan. Atas bantuan Tuhan maupun teman-
teman Jesuit kepada dirinya, dan juga atas dukungan umat yang dilayani serta pengampunan atas kesalahan dirinya selama ini. “Saya senang dapat merayakan Misa ini bersama teman seangkatan. Saya senang adik dan keponakan saya berkenan datang dari Jerman, untuk ikut merayakan hari besar ini,” ucap Romo Prier penuh haru.

Madah Bakti
Imam kelahiran Weinheim, Jerman, 18 September 1937 ini dikenal karena mengembangkan inkulturasi musik Liturgi di Indonesia. Selama 50 tahun berkaya sebagai imam, banyak hal penting dilakukan di bidang musik Liturgi.

Pada 1971, ia bersama Paul Widyawan mendirikan PML, untuk merealisir pembaruan musik Liturgi, secara khusus musik inkulturasi. “Saya mulai mengajar musik gereja di Fakultas Teologi Wedabhakti (FTW) Kentungan,” kenangnya.

Sejak 1971 hingga 2004, Romo Prier juga mengajar Sejarah Musik di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ia juga mengajar Ilmu Harmoni dan membuka praktik organ di Kursus Musik Gereja PML.

Pada 1973, dalam Kongres Liturgi di Jakarta, Romo Prier diangkat sebagai Ketua Seksi Musik Liturgi Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). “Kami waktu itu sepuluh orang dari PML diundang untuk memeriahkan ibadah dalam kongres. Penampilan kami (Paduan Suara Vocalista, -Red) tampaknya mampu mencuri perhatian peserta kongres. Sehingga diputuskan, kongres dua tahun ke depan dilaksanakan di Yogya,” tuturnya.

Ternyata, dari peristiwa itulah menjadi awal lahirnya buku nyanyian Madah Bakti. Dalam Kongres Musik Liturgi di Yogya pada 1975, PML
dipercaya menyusun buku nyanyian dari doa dengan lagu-lagu Indonesia. “Kami ditugasi membuat banyak nyanyian baru, melalui lagu yang
sudah ada maupun belum tercipta di Madah Bakti,” tutur Romo Prier. Dan selanjutnya, dalam Kongres Liturgi di Jakarta, 1980, diresmikanlah buku nyanyian dan doa Madah Bakti.

Bagi Romo Prier, paling menggembirakan di dunia musik adalah saat mengikuti lokakarya komposisi
bersama para pemusik tradisional di pedalaman. Lokakarya tersebut banyak menghasilkan lagu inkulturasi.

Masuk ke Pedalaman
Demi mendapatkan “harta karun” musik tradisional dari masing-masing daerah, Romo Prier bersama Paul Widyawan dan tim PML banyak melakukan perjalanan ke sejumlah wilayah, antara lain Mentawai, Nias, Papua, dan Maluku. Banyak rintangan yang mereka hadapi kala itu. Salah satunya akses jalan yang sulit.

Mereka harus melintasi sungai dan rawa-rawa. Kadang, mereka harus berjalan dengan tumpuan batang bambu panjang, agar tidak terperosok ke rawa atau tenggelam di sungai. “Itu merupakan perjalanan berat, tapi saya tidak pernah menyesal, justru sebagai pengalaman yang menggembirakan,” kenangnya.

Musik inkulturasi, bagi Romo Prier, menjadi alasan untuk dirinya selalu gembira hingga sekarang. Tatkala sedang jatuh sakit dan susah, Romo Prier merasa selalu ada yang menyemangati, baik itu umat, imam di komunitasnya maupun penghiburan
dari Tuhan sendiri.

Romo Prier ditahbiskan imam oleh Uskup Agung Semarang, Kardinal Justinus Darmojuwono (1914-1994), pada 18 Desember 1969, di Yogyakarta. Saat itu, ia memilih moto tahbisan “Putra Manusia Datang Bukan untuk Dilayani, tetapi untuk Melayani”. Namun kini, Romo Prier mengakui bahwa dirinya lebih kerap dilayani ketimbang melayani.

“Pergi ke pelosok daerah, saya dihormati dan dilayani dengan jamuan makanan yang enak-enak. Di asrama komunitas para romo Jesuit di Bener, saya merasa diperlakukan seperti di rumah sendiri. Di Kantor PML, ketika saya melakukan kesalahan dibiarkan, tapi tetap dimaafkan. Orang Jawa memang mudah memaafkan,” pujinya.

Pada 1981, Romo Prier bersama Paduan Suara Vocalista diundang ke Jerman oleh Misereor Aachen, untuk memperkenalkan musik dan budaya Indonesia. Sejak 1984, ia bersama Paul
mulai sering diundang berlokakarya komposisi lagu inkulturasi di luar Yogyakarta, dalam konteks musik tradisional yang hidup bersama para pemusik setempat. Sampai 2019 disebutkan telah diadakan 57 lokakarya.

Pada 2006, Romo Prier sempat divonis dokter bahwa hidupnya tidak lama lagi, akibat kanker prostrat yang dideritanya. Namun, kanker ganas itu lenyap setelah dirinya berobat dan dirawat di Jerman. “Tahun lalu saya juga menjadi korban terorisme di Gereja St Lidwnina Bedog, namun diselamatkan tangan Tuhan,” kenangnya.

Kegembiraan Salib
Provinsial Serikat Jesus Indonesia, Romo Petrus Sunu Hardiyanta, SJ, mengandaikan kegembiraan adalah gambar Romo Prier. “Saya setiap ketemu Romo Prier, ia selalu tersenyum. Senyumnya otentik. Senyum otentik kegembiraan seperti itu hanya bisa lahir dari salib,” sebut Romo Sunu,
sapaannya.

Karya misionaris satu ini, lanjut Romo Sunu, juga disebutnya menarik karena sejak l968, Romo Prier sudah mulai menggarap kidung, lewat buku karyanya berjudul “Marilah Bernyanyi”, yang mengundang dan mengajak umat Allah bernyanyi. Sehingga Sabda Allah afektif, menjadi katekese afektif yang menyentuh hati.

Romo Sunu juga menilai, Romo Prier merupakan seorang pekerja keras, tekun, dan penuh kegembiraan selama 48 tahun berkarya di PML. “Kerja keras, gembira, dan rendah hati, itulah Romo
Prier,” tunjuk Romo Sunu.

Menurut maestro musik Liturgi Inkulturasi, dirinya justru banyak dididik oleh rekan-rekannya di PML.
Terutama oleh sahabatnya, Paul Widayawan, untuk menjadi pribadi yang sabar dan berpikir sebagai orang Jawa.

H. Bambang S

HIDUP NO.02 2020, 12 Januari 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here