Suster Listiana, CB : Terbiasa Menghadapi Kesedihan

622
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Sedari kecil, ia sebenarnya punya sifat pendiam dan pemalu. Akan tetapi ketika niatnya untuk menjadi suster ditentang oleh orangtuanya, ia nekat kabur dari rumah.

Keinginannya menjadi biarawati baru muncul setelah sekolah di SMA Stella Duce Kotabaru, Yogyakarta. Keuskupan Agung Semarang. “Saya
lihat kehidupan dan layanan para suster di sekolah, sungguh menarik perhatian saya,” kenang Suster Listiana CB, Pemimpin Biara St. Anna itu, saat ditemui di komunitasnya, Jalan Colombo 19A
Yogyakarta.

Suster Lis, sapaan biarawati sepuh itu, masih ingat bagaimana dulu saat mengutarakan niatnya ingin mejadi suster kepada orangtuanya. Ayah dan ibunya menentang. Seketika, gadis belia itu memilih “lari” dari rumah. Lantas, ia bergabung dengan para suster yang berkarya di Sekolah Kependidikan Keterampilan Atas (SKKA) Pius Magelang. “Saya lari dari rumah dan kerja di tempat suster,” kenang dia.

Di sekolah kejuruan itu, Lis yang pintar memasak, turut mengajari para siswi SKKA meramu dan menyajikan aneka makanan. Kelahiran Magelang, 24 Juni 1949 ini menjelaskan ikhwal keberatan
orangtua. Menurutnya, alasan tersebut cukup sederhana. Ia digadang-gadang mewarisi pekerjaan ayah-ibunya di pasar, sebagai pedagang. “Orangtua saya kan jualan di pasar kelontong, dan saya dinilai bisa dagang,” kenang Suster Lis.

RS Mini
Hidup dalam keluarga besar, Lis merupakan anak keempat dari sebelas bersaudara. Semasa kanak-kanak, ia mengaku lebih sering tinggal bersama
nenek ketimbang dengan orangtuanya yang sibuk bakulan di pasar. Lahir dengan nama Listyastuti, dan baru dipermandikan jelang masuk SMP, dengan nama baptis Yohana.

Suster Lis mengemban tugas sebagai Pemimpin Komunitas St. Anna, d kompleks Rumah Sakit Panti Rapih, sejak 2013. Dalam keseharian tugasnya, ia mengurusi para suster adiyuswa atau
lanjut usia tarekatnya, Suster-suster Cinta Kasih St. Carolus Borromeus (CB). Suster Lis, antara lain dibantu oleh Suster Lusiani CB, sebagai wakil sekaligus penanggung jawab kesehatan para suster sepuh.

Selain mereka, masih ada sejumlah biarawati muda dan karyawan yang melayani para suster sepuh penghuni biara ini. Biara St. Anna dihuni lebih dari 60 suster lanjut usia. Rata-rata umur para penghuni di sana adalah 80 tahun. Ada juga yang telah mendekati usia seabad.

Sebelum memimpin Komunitas St. Anna, Sr. Lis pernah memimpin Komunitas St. Yusuf Tanjung Priok. Lalu pindah ke poliklinik milik Keuskupan
Denpasar. Setelah itu, ke Rumah Sakit St. Borromeus Bandung. Selanjutnya, ia diserahi tugas memimpin Karya Sosial Permata Hati Ganjuran, sebelum akhirnya berkarya di Komunitas St. Anna, hingga sekarang.

Memasuki Biara St. Anna di wilayah RT 33 RW 07 Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman, Yogyakarta ini mirip seperti rumah sakit mini.
Karena para penghuninya banyak yang sakit karena usia. Suster Lis mensyukuri keberadaan biara komunitas ini yang dulu pada 19 September 1987 diberkati oleh Pastor I. Haryoto, SJ. “Kami bersyukur karena kongregasi memikirkan adanya
tempat ini,” kata dia.

Kehadiran para suster adiyuswa memang harus diakui sebagai anugerah. Karena bagaimana pun kehadiran para suster lansia ini telah memberikan
sumbangan bagi para koleganya masa kini, dalam menemukan kembali makna utama hidup. Para suster adiyuswa yang sakit itu diakui turut serta mewujudkan perutusan kongregasi melalui doa serta kesaksian hidup mereka.

Kasih persaudaraan sejati, diungkapkan dalam kepekaan serta perhatian terhadap sesama suster yang menderita. “Di biara ini juga ada kegiatan kerasulan doa. Jadi, selain doa pribadi, kami berdoa bersama. Yang sudah eyang-eyang, juga ikut dalam kerasulan doa,” tutur Sr. Lis.

Memberi Perhatian
Komunitas Biara St. Anna memiliki beberapa ruangan. Untuk unit Anna I dan Stella Maris ditinggali para suster adiyuswa berkebutuhan khusus. Artinya, keberadaaannya 100 persen bergantung kepada perawatnya. Sedangkan unit Anna II dan III untuk para suster yang harus
dibantu 50 persen. Untuk unit Anna IV dan V ditempati para suster yang masih bisa hidup mandiri.

Para suster komunitas ini bangun pagi pukul lima, lalu doa bersama. Dilanjutkan persiapan olahraga ringan. Untuk para suster sepuh yang sudah tidak kuat fisiknya, cukup menggerak-gerakkan badan di kursi roda.

Disadari masa adiyuswa merupakan tahapan paling sulit dihadapi, dibanding tahapan perkembangan dan pertumbuhan hidup yang pernah mereka lalui sebelumnya. Maka, seseorang yang berada pada tahapan tersebut harus mempersiapkan diri menghadapi berbagai macam krisis yang terjadi, baik fisik, mental spiritual-psikis, maupun krisis sosial. “Kami para suster yang mengurusi para suster adiyuswa ini sebagian besar adalah mantan perawat. Namun, kami terus belajar bagaimana memenuhi kebutuhan mereka,” ujar Suster Lis.

Meski kondisi fisik para suster adiyuswa rata-rata ringkih, namun keinginan dan semangatnya untuk
mandiri, diakui masih besar. “Kemauan mereka untuk mandiri masih ada, padahal itu berisiko jatuh. Maka, kami selalu mengingatkan, hati-hati, jangan turun dulu,” kata Suster Lusi, wakil Suster Lis.

Komunitas St. Anna, lanjut Suster Lusi, selalu mengupayakan agar para suster yang sakit mendapat perawatan yang baik. Selain kebutuhan rohani mereka terpenuhi, sehingga dapat menanggung penderitaannya dalam persatuan dengan Kristus. Sumbangan para suster adiyuswa,
harus diakui cukup besar bagi tarekat. Terutama sumbangan dalam spiritualitas dan kesaksian mereka yang ditampakkan melalui kesetiaan mereka dalam panggilan.

Sr. Lis menilai perhatian terhadap para suster adiyuswa dan sakit itu sangat penting dalam hidup persaudaraan. Perawatan bagi suster adiyuswa bukan hanya berdasarkan kewajiban untuk mengasihi dan berterima kasih kepada meraka. Akan tetapi juga berdasarkan kesadaran bahwa kesaksian dan misi mereka bagi Gereja dan kongregasi sungguh bernilai.

Maka, dalam refleksi bersama disadari perlunya memberikan perhatian secara holistik kepada para suster adiyuswa, sebagai kekuatan spiritual kongregasi, dengan membentuk tim yang diharapkan mampu memberikan sentuhan dan sapaan personal. Untuk mengenali serta
memperhatikan kebutuhan para suster sepuh tersebut, baik dari aspek jasmani dan rohani.

Suster Lusi menyadari, sebagian suster adiyuswa penghuni biara komunitas ini sudah pikun. Kemampuan untuk pertahanan tubuh rentan jatuh lantaran usia senja. Maka, kemampuan mengatur
saat buang air kecil maupun besar, berisiko bagi mereka jatuh. Diakui pula adanya suster sepuh yang kurang nutrisi lantaran tidak nafsu makan.

Merasa Terhibur
Para suster penghuni komunitas ini merasa terhibur saat didatangi keluarganya atau dikunjungi komunitas lain, baik itu rombongan siswa sekolah atau dari ibu-ibu paroki. Sekali waktu, para suster sepuh yang masih bisa beraktifitas juga diajak ziarah, misalnya ke Candi Hati Kudus Tuhan Yesus di Ganjuran. Atau, ke Gua
Maria Kerep, Ambarawa. Sesekali juga diberi kesempatan refresing, seperti ke kebun binatang atau ke objek wisata yang nyaman udaranya.

Suster Lis menuturkan, pada 2 November lalu, saat komunitasnya mengundang keluarga para suster
untuk mengikuti misa arwah di Makam Novisiat CB di Mrican. Ada sekitar 700 orang datang dari berbagai daerah. “Di Novisiat CB itu ada lebih 150 suster yang dimakamkan di situ,” sebut dia.

Para suster yang mengurusi Komunitas St. Anna sudah terbiasa menghadapi kesedihan karena suster sepuh yang dirawatnya mendadak dipanggil Tuhan. “Dalam seminggu pernah dua-tiga suster
meninggal. Bahkan, satu hari hampir waktu bersamaan, dua suster berpulang secara berurutan,” tutur Suster Lis menahan sedih.

H. Bambang S

HIDUP NO.04 2020, 26 Januari 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here