Paroki St. Paulus Rantetayo, Kevikepan Toraja, Keuskupan Agung Makassar : Pastoral Orang Mati

392
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Adat kematian menjadi kental dalam kehidupan masyarakat Toraja. Kebiasaan ini pun membawa tantangan tersendiri.

Ratusan orang dengan sarung hitam gelap berjalan beriringan menuju kumpulan rumah tongkonan. Terlihat area itu didominasi oleh warna merah dengan benang emas. Para tamu yang terdiri dari sanak saudara, handai taulan, bahkan orang asing pun disambut dengan kehangatan yang sama. Keluarga yang berduka merasa diberkati ketika banyak orang datang mendoakan almarhum yang sudah meninggal.

Tak lama menunggu, para pelayat disuguhkan kudapan ringan sampai berat. Kudapan diantar dengan tarian adat Toraja. Setelah itu, mereka akan berpindah dari satu balai ke balai lain. Selama menyatap kudapan, upacara Penyembelihan Tedong (kerbau) berlangsung. Kerbau yang disembelih adalah Tedong Bonga berwarna dengan kulit albino.

Sebelumnya, kerbau yang disembelih ini bergulat dalam arena pertarungan dengan kerbau lain dalam laga Mapasilaga Tedong. Penyembelihan kerbau cukup unik karena hanya dimatikan dengan
sekali tebasan. Tedong dibiarkan sekarat hingga mati. Belum lama disuguhkan pemandangan mendebarkan puluhan penari pria masuk membentuk lingkaranbesar sambil menyanyi. Lagu yang dinyanyikan amat sederhana dengan terdiri dari huruf vokal ‘e’. Prosesi ini dinamakan Tarian Duka. Selama tarian berlangsung pada tongkonan yang lebih tinggi terdapat peti mati berwarna merah dengan benang emas. Para keluarga meratap dengan pilu.

Upacara Rambu Solok menandakan bahwa sanak keluargannya sudah benar-benar meninggal. Upacara ini diyakini masyarakat Toraja sebagai penyempurna kematian seseorang. Oleh sebab itu,
mereka beranggapan seseorang belum meninggal jika belum melaksanakan upacara Rambu Solok.

Upacara Rambu Solok terdiri dari beberapa rangkaian ritual, diantaranya proses pembungkusan jenazah, pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah, penurunan jenazah pada lumbung persemayaman
serta proses pengusungan jenazah ketempat peristirahatan terakhir.

Inilah nuansa kental sepanjang tahun yang ditemui Kepala Paroki St. Paulus Rantetayo, Kevikepan Toraja, Keuskupan Agung Makassar (KAM), Pastor Martinus Tellu. Dengan gamblang Pastor Martinus
menjabarkan pelayanan pastoralnya berkutat dalam pelayanan orang meninggal. “Adat kematian sangat dekat dengan umat Toraja. Kematian menjadi puncak pemenuhan adat,” ungkapnya.

Lebih lanjut Ia memaparkan bahwa adat masyarakat Toraja menyakini upacara Rambu Solok jika tidak dilaksanakan akan membawa kemalangan pada keluarga yang ditinggalkan. Selain itu, upacara ini merupakan bentuk penghormatan dan penghantaran arwah orang yang meninggal menuju alam roh.

Kentalnya adat ini acap kali menimbulkan tantangan tersendiri. Umat paroki lebih banyak ke pesta adat dibandingkan berkarya di paroki. “Adat
Rambu Solok dapat memakan waktu berhari-hari dan biasanya mereka meninggalkan pekerjaan untuk mengikuti upacara ini,” tuturnya.

Sebagai kepala paroki, Pastor Martinus mengaku harus mencari jalan tengah agar umat tidak serta merta menomorduakan pelayanan di Gereja. Ia kerap memanggil anak-anak dan remaja untuk membantu membersihkan area paroki sembari
memberikan sedikit katakese.

Pastor Martinus juga sering mengadakan kunjungan kepada komunitas Credit Union yang dibina CU Sauan Sibarrung. Salah satunya Komunitas Bambalu. “CU membantu umat untuk belajar menginvestasikan uangnya agar tidak habis begitu saja khususnya dalam pesta. Kehadiran Gereja lewat CU juga membantu karya pastoralnya,” akunya riang.

Felicia Permata Hanggu

HIDUP NO.01 2020, 5 Januari 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here