Uskup Padang, Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX: Saya Sayang Mentawai

228
Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – USAI ditahbiskan menjadi Uskup Padang pada 7 Oktober 2021 menggantikan (Alm) Mgr. Martinus Dogma Situmorang, OFMCap, Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX mengunjungi Mentawai di bulan November 2021. Mengunjungi Tuapeijat, Sipora Utara, Mentawai menjadi kunjungan perdananya ke Mentawai sebagai gembala utama Keuskupan Padang.

Mgr. Vitus Rubianto Solichin SX bersama satu keluarga dan para pastor Paroki Muara Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. (Foto: Ist.)

Mentawai bukan hal baru baginya. 30 tahun lalu Mgr. Rubi, sapaan akrabnya, pernah tinggal di Siberut, Mentawai saat menjalani Tahun Orientasi Misioner (TOM) dan diakonat. Sepanjang semester pertama tahun 2023, Mgr. Rubi sudah melakukan banyak kunjungan pastoral ke Mentawai seperti ke Paroki Betaet dan Temu Kevikepan Mentawai di Siberut Barat pada 11-16 Maret 2023; Paroki Tuapeijat dan Paroki Sioban, Sipora pada 5-12 Juni 2023, dan Paroki St. Maria Assumpta, Sikakap. Ia begitu antusias mengisahkan kunjungan pastoralnya ke Mentawai kepada HIDUP saat dikunjungi di Gedung Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Jl. Cut Meutia pada Sabtu, 11/11/2023. Berikut petikan wawancaranya:

Kapan terakhir kali Monsinyur mengunjungi Mentawai?

Terakhir kali di bulan Juni tahun ini. Saya mengikuti kebiasaan yang sudah-sudah dengan mengonsentrasikan kunjungan di awal tahun (Januari-Juni). Sesudah bulan itu biasanya ombak tinggi (musim surfing) dan tidak terlalu bisa berbuat banyak jika ingin mengunjungi daerah pelosok yang harus dikunjungi dengan boat lewat laut. Meskipun di tahun pertama sebagai Uskup, saya mengunjungi semua area padahal di bulan Agustus dan November dengan kondisi agak badai. Syukur saya bukan tipe yang mabuk laut. Saya ingat di kunjungan pertama bulan November 2021 pergi ke sana untuk silahturahmi dengan kekuatan angin masih terhitung tinggi. Saya pergi dengan Bupati Kepulauan Mentawai dan Ketua Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) Pusat untuk pelantikan ISKA Cabang Mentawai. Saya betul-betul antusias untuk pergi.

Benar ya pernah TOM di Mentawai?

Ya, sesudah menamatkan studi filsafat di STF Driyarkara Jakarta tahun 1993, saya ditugaskan setahun untuk Tahun Orientasi Misioner (TOM). Usai menamatkan studi teologi di Kentungan, Yogyakarta, untuk semester diakonat, saya ditugaskan sebagai diakon di Siberut lagi. Siberut adalah pulau paling besar di Mentawai. Saat TOM saya di Siberut bagian selatan, lalu ketika diakon di Siberut bagian utara. Kala itu hanya dua paroki tapi sekarang sudah ada lima paroki di Siberut. Bulan Maret nanti akan menjadi enam paroki. Satu paroki kira-kira delapan sampai sepuluh stasi. Paroki Muara Siberut sendiri ada 23 stasi.

Lalu apakah ada perubahan terkait sasaran misi di Mentawai?      

Tujuan utama tetap kesejahteraan masyarakat yang tergolong tetap harus dibantu. Ada satu area yang tetap tergolong daerah miskin dan tertinggal terutama dalam hal pendidikan. Jadi miskin di sini terutama miskin mentalitas. Pada umumnya masyarakat Mentawai adalah peramu sehingga mereka biasa dimanjakan alam. Maka untuk berinvestasi atau berwirausaha, untuk memikirkan sesuatu yang menghasilkan dan berdagang bukan kebiasaan masyarakat Mentawai. Terbelakang bukan berarti mereka tidak pandai secara intelektual. Banyak sarjana, tapi sarjana yang memang tidak siap untuk masuk ke suatu tempat di mana mereka bisa bekerja dan memulai inovasi bisnis tertentu. Artinya, ketika mereka pulang ke Mentawai cenderung menjadi pegawai negeri (PNS). PNS kan mendedikasikan diri, menerima gaji, bukan yang mengusahakan pengembangan sesuatu. Tantangan utama saya kira dari dulu tetap itu. Soal pendidikan dengan faktor ekonomi yang juga tidak bisa dipisahkan.

Agar sasaran misi tercapai apa yang Monsinyur usahakan?

Ketika saya datang, saya langsung melihat luasnya Keuskupan Padang. Dari Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) ke Kepulauan Mentawai. Dari Sumbar daratan sampai Riau. Ini tidak mungkin saya atur sendiri meskipun dengan kunjungan yang rutin dan terjadwal. Harus didelegasikan. Maka langsung saya buat statuta dan menjadikan tiga kevikepan. Dua vikep orang Mentawai. Satu lagi orang Jawa.

Sebuah penampilan kesenian Mentawai.

Saya sayang Mentawai. Saya pikir mereka yang bekerja di Mentawai harus menghargai juga usaha para misionaris. Maka yang saya jadikan Vikep Mentawai adalah Romo Agustinus Suwondo, SS.CC. Ia seorang misionaris. Kami berusaha membuat jaringan seluas-luasnya sampai ke Jakarta, Yogyakarta, Bandung. Sehingga pengiriman dan pengawasan anak-anak yang mendapat beasiswa bisa lebih terkontrol.

Dengan bantuan alat komunikasi sekarang, Romo Suwondo menciptakan satu webinar kontinyu setiap minggu. Itu satu pembelajaran gratis untuk semua. Rupanya banyak yang senang. Kami beri judul “Obrolan.” Terutama tentang tema pendidikan dan ekonomi yang memang harus berjalan bersama. Yang bicara dari tokoh-tokoh adat dan pemimpin daerah sampai anak-anak Mentawai. Artinya jaringan kami luas sekali. Malah kemungkinan Profesional dan Usahawan Katolik (PUKAT) di Padang akan segera dibentuk. Lalu kami juga mulai Ayo Sekolah Ayo Kuliah (ASAK). Rupanya dalam dua tahun dengan memercayakan kemampuan dan kreativitas teman-teman pastor ini bergerak lebih cepat dari apa yang saya bayangkan.

Tantangan apa yang tengah dihadapi di Mentawai?

Selama akhir dari kepemimpinan almarhum Bapa Uskup, Mgr. Martinus, sudah nampak banyak gerakan peng-Islam-an (“penghijauan”). Dengan keadaan dan kenyataan bahwa sulitnya mengoordinasi satu kegiatan di Mentawai membuat kami kadang-kadang putus asa.

Satu pepatah Perancis dari pastor misionaris Xaverian asal Afrika, Pastor Maurice, yang bekerja di Siberut Selatan, berbunyi: “Satu pohon besar di hutan yang tumbang suaranya lebih keras daripada seribu pohon yang tumbuh.” Maka saya pikir benar, hal semacam ini diberitakan di mana-mana. Sampai di YouTube bicara soal profil paroki-paroki di Mentawai. Akhirnya kami pesimis karena banyak yang pindah agama. Ganti KTP, ditarik masuk pesantren. Anak-anak yang dididik dengan cara tertentu, orang tua yang dibohongi. Apalagi, masuk pendidikan asrama Katolik harus bayar mahal, masuk pesantren gratis, diberi hadiah macam-macam. Itu terus dibicarakan di media massa. Tapi tidak ada yang bicara tentang usaha yang kami buat untuk perkembangan Mentawai.

Sekarang mulai imbang pembicaraannya. Karena kami buat sesuatu. Kami buat kegiatan. Desember nanti kami akan membuat kegiatan puncak T-Som (Teen School of Mission) di Siberut. Menarik juga ISKA di Keuskupan Padang hanya ada di Mentawai. Seharusnya ini dari provinsi. Jadi ISKA cabang rasa daerah. Mereka sudah memikirkan untuk membuat pelayanan kasih yang menarik umat, membuat satu perayaan yang akhirnya membuat umat berpikir bahwa Gereja itu eksis. Bukan diam saja, bukan tidak ada kegiatan. Maka ketika pastor-pastor paroki kecapaian karena terlalu banyak stasi, lalu kadang-kadang hanya jadi tukang Misa, pergi dari satu tempat ke tempat lain untuk melayani Ekaristi, tapi tidak tinggal bersama membuat satu perayaan. Banyak orang beranggapan banyak umat yang pindah agama, sebetulnya dari laporan paroki, jumlah umat bertambah. Baptisan tetap ada.

Bicara soal “penghijauan,” ternyata banyak Gereja Pentakosta masuk. Kami tetap membangun kerja sama dengan GKPM, Gereja Kristen Mentawai yang tradisional. Dengan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) ada program baca Alkitab yang dilaksanakan. Sudah berjalan delapan bulan, hampir selesai. Yang membantu di paroki-paroki justru pendeta atau sukarelawan non-Katolik. Mereka senang. Kami mendukung program ini. Menjaga supaya Gereja Pentakosta tidak terlalu agresif karena teman-teman Kristen juga yang dirugikan.

Terakhir adalah suatu pendidikan mentalitas yang panjang untuk menjadi Gereja yang mandiri. Mentawai sampai saat ini masih disubsidi Keuskupan. Dari tujuh paroki di Mentawai yang bisa dikatakan mandiri adalah paroki di ibu kota kabupaten.

OMK Mentawai

Memang umat mengharapkan Gereja tetap menyokong mereka, membantu mereka. Tetapi tidak bisa dengan cara seperti misionaris dulu-Sinterklas. Harus diajar supaya mereka juga memikirkan paling tidak pastor yang bekerja di situ. Membuat kolekte itu cukup untuk running paroki. Harapan mereka jelas, kami tetap berdiri di pihak mereka, tidak meninggalkan mereka. Karena mereka juga mau berjuang untuk membangun daerah. Artinya sampai posisi pemerintahan, jadi tidak di bawah pemerintahan orang dari luar.

Harapan ke depan untuk misi di Mentawai?

Bukan hanya Mentawai sebenarnya. Untuk seluruh Keuskupan Padang agar bangga dengan Mentawai. Tidak ada lagi saya mau dengar bahwa Mentawai hanya menjadi duri dalam daging yang menggerogoti, yang menghabiskan dana. Mereka memang harus disubsidi. Harapan saya justru kalau kita percaya – bukan subsidi luar negeri tapi subsidi dalam keuskupan – orang akan lebih punya harga diri dan martabat. Lalu kita merasa inilah keuskupan. Bukannya memecah Keuskupan Padang yang terlalu luas. Itu sebabnya kenapa saya beri kepercayaan orang Mentawai jadi Vikep di Riau dan di Sumbar.

Felicia Permata Hanggu/Katharina Renny Lestari

Majalah HIDUP, Edisi No. 48, Tahun Ke-77, Minggu, 26 November 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here