Takhta Patriarkat Latin Yerusalem Kembali Dipulihkan

112
Kota Yeruselem
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – BAGI umat Kristiani, tidak ada kota yang lebih mashyur, tidak ada wilayah yang lebih penuh makna mulia dan terhormat, seperti Kota Yerusalem dan Wilayah Palestina. Kota ini berisi situs-situs agung yang menjadi saksi perbuatan Tuhan kita, Yesus Kristus, dan dari penampakannya saja memberikan kesaksian tentang contoh kekudusan dan kebajikan melalui Sang Penebus Ilahi.

Patriark Yerusalem saat ini, Kardinal Pierbattista Pizzaballa

Umat manusia telah memuliakan kota ini dan oleh karena itu tidak kehilangan keagungannya. Dengan kata-kata ini, Paus Pius IX memulai sebuah perpetua memoria, surat apostoliknya Nulla Celebrior pada 23 Juli 1847. Melalui surat tersebut, Paus Pius IX memutuskan untuk memulihkan (restituimus) Patriarkat Latin Yerusalem dan Yuridiksi Patriarkat Latin. Selanjutnya, pada 4 Oktober 1847 Paus menujuk seorang Patriark, Uskup Giuseppe Valerga.

Kota Penting

Kota Yerusalem sangat penting melihat fakta bahwa di kota ini terdapat Makam Kudus Sang Juruselamat yang disemayamkan dan bangkit pada hari ketiga. Kristus bangkit dengan penuh kemenangan dari kematian dengan kuasa-Nya sendiri dalam suatu mukjizat yang mengagumkan. Dengan ini, menegaskan asal usul ilahi dari iman Katolik.

Di Kota Yerusalem dan wilayah Palestina, Kristus mewartakan misteri mulia dan memberikan petunjuk kepada umat Kristiani untuk hidup sederhana, adil, dan taat kepada Bapa. Di kota ini, Roh Kudus turun atas para para rasul dan Perawan Maria berdiam lama bersama para rasul. Di kota ini, Konsili Apostolik pertama dirayakan. Di kota ini, Santo Petrus dibebaskan oleh kuasa ilahi ketika ditangkap oleh Herodes. Untuk itu, tidak ada tempat di Kota Yerusalem dan di seluruh negeri ini yang tidak berhubungan dengan sejarah kehidupan, mukjizat, sengsara, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Kristus.

Patriark Giuseppe Valegra

Hal ini pun dikuatkan dengan penuturan Komisaris Comisariat Terrae Sanctae-Indonesia (CTS-I), Pastor Robert Wowor, OFM. Ia berkisah bahwa dalam proses restorasi besar-besaran Gereja Makam Kudus yang disetujui oleh tiga kelompok besar Gereja, yakni: Katolik Latin, Ortodoks Yunani, dan Ortodoks Armenia karena bangunan dari Makam Kudus nyaris roboh ditemukan temuan menarik.

Dengan sangat teliti, secara arkeologis bangunan dan area itu dibongkar perlahan dan tim menemukan sesuai dengan apa yang ada di dalam Kitab Suci, di mana kesatuan antara puncak Kalvari dengan tempat pemakaman abad I ditemukan. “Proses restorasi itu mengungkapkan bahwa area itu adalah satu kesatuan gua utuh yang tadinya dipotong agar bisa menjadi satu gereja,” terangnya. Untuk itu, Tanah Suci telah membuktikan bahwa ada kesesuaian antara arkeologi Kitab Suci dan Kitab suci. Iman Kristiani itu tumbuh dari satu pengalaman konkret dalam sejarah.

Patriarkat Latin Yerusalem

Jika berbicara soal Patriarkat Yerusalem, terang imam yang akrab disapa Pater Robby ini, hal pertama yang perlu diingat bahwa Yesus mengutus rasul-rasulnya pergi untuk mewartakan injil ke seluruh penjuru dunia. Setelah generasi para rasul maka muncul suatu struktur yang sangat sederhana dari kepemimpinan gereja di Yerusalem. Jika menilik dari kisah para rasul di Yerusalem, ada Rasul Yakobus anak Alfeus yang seringkali disebut saudara Yesus, ia memegang gereja di Yerusalem sedangkan nanti Petrus pergi ke Antiokhia lalu Roma.

Patriark Vincenzo Brascco

“Maka pada waktu itu belum ada hierarki seperti sekarang tetapi kehadiran kekristenan di Yerusalem menjadi seperti pusatnya,” ujarnya. Hingga sampai Petrus pergi ke Roma, maka muncullah semacam gereja lokal, satu di Yerusalem dan satu di Antiokhia. Yerusalem khusus untuk orang Kristen dengan latar belakang Yahudi sedangkan Antiokhia yang dipimpin Barnabas untuk orang Kristen dengan latar belakang orang asing. Ia menambahkan, “Dimulai dengan satu struktur sederhana dan ada yang disebut belakangan dengan nama penilik jemaat, penatua, kemudian diakon. Maka kita kenal Santo Stefanus sebagai diakon pertama (martir) yang adanya di Yerusalem.”

Kemudian semuanya itu berkembang sesudah kekristenan diakui oleh Kekaisaran Romawi tahun 313 M dengan dikeluarkannya Dekrit Milan. Ini termasuk Yerusalem yang masih berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi. Dampaknya masyarakat bebas beragama. Dari situ mulai adanya uskup untuk melanjutkan spiritualitas dari kedua belas rasul. “Roma sebagai penerus kepemimpinan Petrus sedangkan Yerusalem lebih kepada rohaninya. Nantinya Roma lebih kepada strukturnya,” sebut Pater Robby.

Waktu bergulir, dalam abad-abad kekristenan, artinya kekristenan sudah bebas sebagai agama, maka muncul lima pusat kota kepemimpinan kekristenan yang menonjol, yakni: Roma, Antiokhia, Alexandria, Konstantinopel, dan Yerusalem. Kemudian juga lahir beberapa Patriark selain yang ada di Yerusalem. Maka ada lima Patriark besar, yaitu Roma, Antikohia, Alexandria, Konstantinopel, dan Yerusalem. Belum lagi di Eropa muncul juga Patriark seperti Lisbon dan Venesia.

Patriark Giacomo Beltritti

“Akan tetapi di dalam sejarah juga, Patriark itu kadang ada, kadang tidak. Hingga sampai pada saat terjadinya perpecahan. Ada skisma antara Gereja Barat dan Timur,” ungkapnya. Skisma adalah penolakan untuk taat kepada otoritas Paus. Tahun 1054 terjadilah Skisma Timur yang mengakibatkan terpisahnya Gereja Timur dari Gereja Barat. Gereja Timur itu diwakili Ortodoks Yunani nantinya, Gereja Barat disebut dengan Gereja Latin.

Akibatnya, di Yerusalem pun ada Patriarkat Latin dan Patriarkat Ortodoks pada tahun itu. “Bersamaan dengan skisma itu Patriarkat Yerusalem secara khusus juga pecah. Ada yang ikut Latin berpusat ke Roma dan Ortodoks berpusat ke Konstatinopel,” imbuhnya. Inilah mengapa kehadiran Gereja Katolik di Yerusalem disebut Patriarkat Latin Yerusalem hingga hari ini.

Awal Mula

Menilik The International Journal of Levant Studies, Vol.3/2021, “175th Anniversary of the Re-establishment of the Latin Patriarchate of Jerusalem” oleh Piotr Żelazko dari Studium Theologicum Salesianum, Yerusalem membagi periode pembentukan Patriarkat Latin Yerusalem menjadi dua: periode awal (1099-1847) dan periode moderen (1847-kini).  Pembentukan Patriarkat Latin Yerusalem periode awal atau pembentukan hierarki episkopal Latin di Tanah Suci terjadi selama perang salib pertama. Hal ini merupakan buah dari gagasan dan ambisi tentara salib dan perpecahan mereka dengan Kekristenan Bizantium.

Ketika Tentara Salib tiba pada tahun 1099, Patriark Yunani, Simon melarikan diri ke Siprus, meninggalkan Takhta Yerusalem kosong. Akibatnya, Tentara Salib mengangkat salah satu dari mereka, Arnulf, sebagai Patriark Latin pertama. Para Patriark Latin menggantikan mereka di Yerusalem dari tahun 1099 hingga 1187, ketika kota tersebut jatuh ke tangan Saladin, Patriark Latin pindah ke Acre, dan Patriark Ortodoks Yunani kembali ke Yerusalem.

Kehadiran Fransiskan

Sejak akhir Perang Salib (1270), Yerusalem relatif terisolasi, berlangsung hingga tahun 1800, meskipun kehadiran umat Kristen tidak terganggu. Pada awal abad ke-19, Yerusalem masih terisolasi, baik karena alasan politik maupun geografis (termasuk ketakutan akan desakan kembalinya “orang Latin” – sebuah nama yang diberikan kepada orang Eropa pada umumnya karena mereka menggunakan bahasa Latin.) dan baru pada pertengahan abad ke-19 dengan ditemukannya kapal uap yang bisa datang lebih cepat dari Eropa dan mendarat di pelabuhan Jaffa, mencapainya menjadi lebih mudah.

Patriark Filippo Camassei

Kehadiran orang-orang Latin di Tanah Suci sejak masa Perang Salib terpelihara berkat para Saudara Dina (Fransiskan). Sebelumnya pada tahun 1218, Fransiskan membuka biara pertamanya di Yohanes dari Acre, sehingga menjadi institusi Katolik Roma tertua di Tanah Suci. Ketika Acre jatuh pada tahun 1291, para Patriark Latin pindah ke Siprus, kemudian, pada tahun 1374, ke Roma di mana diganti sebagai Patriark Titular hingga tahun 1847. Selama ketidakhadiran mereka, kehadiran para Fransiskan yang terus-menerus di Tanah Suci merupakan faktor penentu dalam jatuhnya Acre pada tahun 1847. pelestarian, pembentukan dan pertumbuhan Gereja Katolik lokal.

Para Fransiskan yang kemudian diberi tugas oleh Paus untuk menjadi “penjaga” tempat-tempat Suci, yang darinya diberi gelar “Custodia Terae Sanctae” dan “Kustos” adalah gelar yang diberikan, sampai sekarang, kepada pemimpin wilayah Timur Tengah, yang menjaga Tempat Suci.

Sedikit demi sedikit, Prancis, yang sejak abad ke-12 memperoleh dari Khalifah Bagdad Haroun Al-Rashid, protektorat umat Katolik di Tanah Suci (hilang setelah Revolusi Perancis), mendapatkan kembali hak perlindungan atas Tempat-tempat Suci dan orang-orang Kristen yang tinggal di Kekaisaran Ottoman.

Selain orang Latin, Ortodoks Yunani juga mengintensifkan kehadiran mereka di Tempat Suci, yang dimulai setelah jatuhnya Konstantinopel (1253) dan mengajukan klaim atas tempat tersebut. Ditambah lagi dengan klaim-klaim Kekaisaran Rusia yang baru muncul. Tak lama kemudian, pada abad ke-19, Ortodoks Yunani dan Rusia bergabung untuk meraih supremasi atas Tempat Suci.

Ada tiga peristiwa yang berkontribusi terhadap terbukanya Palestina terhadap Barat pada tahun 1800-an. Yang pertama adalah kampanye Napoleon Bonaparte di Suriah pada tahun 1799 (yang merupakan kelanjutan dari kampanye Mesir), meskipun mengalami kegagalan militer, mempunyai efek membangkitkan kembali Kekuatan Eropa yang rakus terhadap Palestina.

Peristiwa kedua adalah invasi ke Palestina oleh Mohammed Ali, seorang Raja Muda Mesir yang ambisius, yang memungkinkan wilayah tersebut terbuka terhadap pengaruh Barat, pembentukan Masyarakat Misionaris Kristen dan diakhirinya diskriminasi terhadap non-Muslim. Kemudian peristiwa ketiga adalah Perang Krimea (1853-1856) di mana Tempat Suci menjadi dalihnya: perang ini diakhiri dengan Perjanjian Paris (1856) dan menyetujui kekalahan Rusia, sehingga persoalan tentang Tempat Suci tidak terselesaikan.

Dipulihkan

Melansir laman resmi Patriarkat Latin Yerusalem www.lpj.org, Yerusalem adalah Takhta “Episkopal” pertama dalam sejarah dunia Kristen, bersama dengan St. Yakobus Kecil, dan setelah kemartirannya, bersama para penerusnya. Namun takhta episkopal lain yang memiliki keunggulan di dunia kuno (Antiokhia, Aleksandria di Mesir, Roma) dan Yerusalem baru menjadi takhta Patriarkat pada tahun 451, bersama dengan Konstantinopel.

Sejak itu, terdapat banyak Patriark yang berturut-turut di Yerusalem, hingga akhir era Perang Salib (1099-1291), ketika Tentara Salib memilih seorang Patriark Ritus Latin baik untuk orang Yunani maupun Latin, bertentangan dengan keinginan Paus Urbanus II, yang ingin otoritas Patriark Yunani dihormati. Latinisasi Takhta Patriarkat dianggap sah oleh orang Latin, tetapi tidak oleh orang Yunani yang Patriarknya diasingkan.

Patriark Luigi Barlassina

Setelah jatuhnya Yohanes dari Acre (1291) tidak ada lagi Patriark di Yerusalem, dan gelar tersebut diberikan kepada beberapa prelatus Pengadilan Kepausan Roma (disebut in partibus infidelium yang berarti “di negeri orang-orang kafir”, sebuah ungkapan digunakan juga dalam bentuk singkatan in partibus) untuk menunjukkan para uskup, yang sekarang disebut uskup tituler, yang keuskupannya, murni bersifat kehormatan, terdapat di negara-negara yang diduduki oleh Turki.

Impian kuno mengenai restorasi ini akan diusung oleh Kongregasi Penyebaran Iman (Propaganda Fide). Sejak awal berdirinya, pada abad ke-17, Propaganda Fide mencurahkan banyak energinya ke Timur Tengah, namun upayanya terhambat, khususnya oleh Revolusi Prancis (1789) dan konsekuensinya di Italia. Baru pada awal tahun 1800-an Propaganda Fide mencoba menerapkan metode misionaris baru, dengan diperkenalkannya Ordo Keagamaan lain, dengan pembentukan imam lokal, pendirian sekolah, dll. Semua ini menjadi mungkin karena fasilitas yang diberikan langsung kepada umat Kristen, pertama oleh Otoritas Mesir dan kemudian oleh Ottoman.

Propaganda Fide mulai serius mempertimbangkan pemulihan Patriarkat Latin ketika melihat keberhasilan misionaris Ortodoks Rusia dan Protestan di Tanah Suci. Namun, pertentangan antara Fransiskan dan Prancis serta lemahnya masa kepausan Paus Gregorius XVI menjadikan pertanyaan ini hanya sebagai bahan diskusi.

Ketika Paus Pius IX terpilih pada tahun 1847, proyek ini mulai terbentuk. Harmoni dari peristiwa-peristiwa yang menguntungkan memberi kemungkinan bagi paus muda untuk merealisasikan proyek tersebut. Gerbang Sublime (nama organ eksekutif Pemerintahan Ottoman) mengirimkan Duta Besarnya Chebib Effendi, pada bulan Februari 1847, yang mengusulkan kepada Takhta Suci perjanjian langsung untuk perlindungan umat Kristen, untuk mengatasi campur tangan berulang-ulang negara-negara Barat dalam pemerintahan Ottoman.

Proyek ini disambut baik oleh Paus Pius IX, yang telah memikirkan program ambisi bagi umat Kristen dan Gereja-Gereja Oriental, dan yang juga ingin menegaskan otonomi Takhta Suci dalam kaitannya dengan Kekuatan Eropa. Saat-saat di tingkat internasional telah matang, berbagai kendala lokal telah diatasi, sehingga kata-kata Propaganda Fide dilanjutkan dengan penyusunan pertanyaan-pertanyaan praktis, dihubungkan dengan pemulihan Patriarkat Latin dan ditulis oleh Kardinal Charles Acton dari Inggris. Yang terakhir menyebutkan berbagai alasan pendirian keuskupan Latin di Yerusalem dan isu-isu yang melekat dalam restorasi ini (gelar uskup baru, perbatasan keuskupan, sumber daya, dll.).

Propaganda Fide mendefinisikan aspek-aspek ini dan Paus mengumumkan kepada dunia melalui surat apostolik Nulla celebrior tertanggal 23 Juli 1847, keberhasilan restorasi Patriarkat dan, pada tanggal 4 Oktober 1847, nama Patriark baru.

Langkah Pertama

Patriark Latin Yerusalem baru, Uskup Giuseppe Valerga lahir di Loano pada tahun 1813 dari keluarga sederhana. Ia masuk seminari Albenga, kemudian melanjutkan studinya di Roma, di mana ia memperoleh gelar Doktor Hukum dan Teologi serta pengetahuan yang kuat tentang bahasa-bahasa Timur. Dia memasuki Propaganda Fide pada tahun 1836: di sini dia menonjol karena keterampilannya dan, setelah menjadi asisten Vikaris Apostolik Aleppo, dari tahun 1842 hingga 1847 dia berada di Mosul untuk membantu para Bapa Dominikan kembali ke misi mereka.

Karya kerasulannya, ketenangannya dalam menghadapi situasi yang beberapa kali bisa berujung pada kematian syahid (martir), karya akademisnya (seperti penyusunan kamus Kasdim-Italia) menjadikannya seorang misionaris teladan. Pada bulan Mei 1847 ia dipanggil ke Roma dan ditahbiskan sebagai Patriark oleh Pius IX sendiri pada tanggal 10 Oktober 1847. Ia berusia 34 tahun.

Patriark Alberto Gori

Pada bulan Januari 1848 ia tiba di Yerusalem dan diterima dengan antusias. Dia segera mulai melatih imam lokal, mengembangkan jaringan misi di Palestina dan mendapatkan bantuan ekonomi dari Eropa. Dalam menghadapi berbagai kesulitan yang timbul pada otoritas politik dan agama setempat, Patriark Valerga tetap setia pada perannya. Sepuluh tahun kemudian, Takhta Suci memercayakannya dengan tanggung jawab lebih lanjut dengan menunjuknya sebagai Delegasi Apostolik untuk Suriah dan Lebanon.

Pada tanggal 23 Juli 1847, Takhta Patriarkat Yerusalem dipulihkan sebagai takhta tempat tinggal berdasarkan Surat Apostolik Pius IX, Nulla Celebrior. Orang pertama yang menduduki jabatan tersebut, Patriark Giuseppe Valerga, tiba di Yerusalem pada tanggal 17 Januari 1848 dan mengambil alih takhtanya dengan memasuki Makam Suci, katedral para Leluhur Yerusalem.

Patriark Latin sejak restorasi pada tahun 1847, yakni: Patriark Giuseppe Valerga (1847-1872), Patriark Vincenzo Bracco (1873-1889), Patriark Luigi Piavi, OFM (1889-1905), Patriark Filippo Camassei (1907-1919), Patriark Luigi Barlassina (1920-1947), Patriark Alberto Gori, OFM (1949-1970), Patriark Giacomo Beltritti (1970-1987), Patriark Michel Sabbah (1987-2008), Patriark Fouad Twal (2008-2016). Kemudian ditunjuk Administrator Apostolik Sede Vacante Mgr. Pierbattista Pizzaballa, OFM yang lalu diangkat menjadi Patriark pada 24 Oktober 2020 dan diangkat menjadi kardinal pada 30 September 2023.

Felicia Permata Hanggu

Majalah HIDUP, Edisi No. 09, Tahun Ke-78, Minggu, 3 Maret 2024

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here