MENJADI ‘KAUM TERBUANG’ KARENA PANDEMI? TUNGGU DULU! TAK SEDIKIT YANG MAKIN KREATIF DAN MAMPU BERADAPTASI. PENDAPAT CHARLES DARWIN PANTAS DISIMAK

332
Romo Albertus Purnomo, OFM, Alumnus Pontificium Institutum Biblicum, Roma
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – TAHUN 586 SM menjadi awal masa gelap sebagian orang Yehuda, khususnya kelompok elite kerajaan, yang diangkut ke pembuangan di Babel. Tanah terjanji, kerajaan berdaulat, dan Bait Allah sebagai simbol penyertaan dan kasih Allah, diluluhlantakan oleh pasukan Nebukadanezar dari Babel. Identitas dan kebanggaan mereka sebagai bangsa pilihan Allah hancur lebur. Penderitaan dan putus asa adalah sarapan harian kaum terbuang yang menetap di Tel Abib dekat sungai Kebar di Babel. Sebagai orang asing, mereka juga harus menghadapi tekanan sosial, kultur dan politik dari pihak penguasa. Pemazmur melukiskan penderitaan mereka: Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion” (Mzm 137:1). Selama 70 tahun mereka mengalami “masa gelap” sebagai kaum terbuang sampai akhirnya Koresh raja Persia membebaskan mereka tahun 538 SM.

Namun, masa gelap tersebut justru menjadi tantangan bagi kaum terbuang ini untuk mencari cara kreatif sehingga tetap dapat bertahan hidup sekaligus menjaga identitas nasional dan religius mereka. Doa dan membaca kitab suci bersama di sinagoga, hari Sabat dan perayaan keagamaan lainnya, praktek sunat, dan bahkan kitab Taurat dan beberapa kitab lainnya mulai disusun pada masa gelap ini. Menariknya, apa yang mereka perbuat di masa gelap ini tetap bertahan sampai sekarang. Seadainya tidak ada kaum terbuang di Babel ini, mungkin Perjanjian Lama tidak pernah akan ada di tangan kita.

Pembuangan Babel memang merupakan malapetaka bagi sebagian orang Yahudi. Namun, semangat dan kreativitas untuk bertahan hidup, justru menghasilkan karya luar biasa dan sangat berguna bagi generasi selanjutnya.

Seperti pengalaman orang Yahudi di atas, pandemi Covid-19 telah menjadikan kita sebagai ‘kaum terbuang’. Guru dan murid terbuang dari ruang kelasnya, pegawai dari kantornya, pekerja dari pabriknya, penjual jasa dari kliennya, pemeluk agama dari tempat ibadahnya, imam dari umatnya dan sebaliknya. Bukan hanya satu bangsa, tetapi seluruh bangsa di dunia telah menjadi ‘kaum terbuang.’ Ketidakpastian kapan berakhirnya ‘masa gelap’ pandemi Covid-19 ini semakin menambah jumlah ‘kaum terbuang” yang menderita, frustasi, bahkan depresi.

Menariknya, tidak sedikit ‘kaum terbuang’ sekarang ini mencari cara kreatif untuk tetap bertahan hidup dengan beradaptasi secara dinamis dengan pandemi ini. Beralih profesi atau mencari model bekerja lain telah menjadi sebuah keniscayaan. Berkaitan dengan ini, Charles Darwin (1809) dalam teori evolusinya pernah mengatakan “Bukanlah makhluk yang paling kuat atau pintar yang dapat bertahan hidup, tetapi mereka yang paling tanggap terhadap perubahan”.

Masa gelap pandemi ini mungkin akan menciptakan karya dan kebiasaan baru dan positif bagi generasi sesudahnya. Ingat, dalam kisah penciptaan di kitab Kejadian, bukan dari ketiadaan Allah menciptakan alam semesta, tetapi justru dari kegelapan dan kekacauan dunia (Kej.1:1-2:1). Sekalipun kita ditakdirkan sebagai kaum terbuang karena ‘kegelapan’ dan ‘kekacauan’ karena pandemi Covid-19, tetap masih ada harapan, ‘ciptaan-ciptaan’ baru akan lahir dari jerih payah kita ketika bertahan hidup. Semoga.

Romo Albertus Purnomo, OFM, Alumnus Pontificium Institutum Biblicum, Roma

 

 

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here