Pastor Markus Solo Kewuta, SVD Rayakan 25 Tahun Imamat: Semakin Banyak Diambil, Semakin Banyak Menerima

559
Pastor Markus Solo Kewuta SVD dan Paus Fransiskus.
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – KATA pepatah: “Darah lebih kental dari air.” Sejatinya darah yang menghubungkan anggota keluarga akan selalu tetap kuat, di mana pun mereka berada. Batinnya tersentak hebat mendengar kabar kematian kakak sulungnya. “Sampai kapan lagi saya menderita? Mengapa justru orang-orang yang saya cintai yang Engkau ambil?” pekiknya dalam hati. Inilah jerit kesedihan satu-satunya imam Serikat Sabda Allah yang dalam Bahasa Latin “Societas Verbi Divini” (SVD) asal Indonesia yang berkarya di Kuria Roma.

Pastor Markus Solo Kewuta, SVD ditahbiskan oleh Uskup Johann Weber di Biara Sankt Gabriel, Moedling, Austria pada 3 Mei 1997. (Foto: Dok.pribadi)

Khalayak ramai melihat sosok Pastor Markus Solo Kewuta, SVD sebagai pribadi yang murah senyum. Kepada siapapun ia tak segan memberikan senyuman dan sapaan hangatnya. Namun di dalam senyuman itu, ia juga kerap berjuang mengolah duka. Meski kepedihan merasuki batinnya, Pastor Markus terus berusaha bangkit bersama Kristus.

Diambil daripadanya

Sebagai seorang anak bungsu dari lima bersaudara, Markus kecil begitu terikat kasih sayang dan perhatian dari orang tua. Ini terutama pada ibunya. Akan tetapi, kehendak Tuhan berbicara lain. Kala itu, Markus yang berusia 16 tahun harus melihat kepergian sang ibu yang amat disayanginya. Ia masih duduk di Seminari Kecil setara tingkat SMA saat itu.

“Ternyata ibu orang pertama yang meninggal di dalam keluarga kami. Saya merasa begitu kehilangan, karena seperti biasanya, seorang anak bungsu sangat dekat dengan ibunya” ucapnya lirih sembari matanya memandang jauh mengenang sang ibu. Dengan perasaan terluka, Markus berusaha melanjutkan hidupnya.

Nahas, kabar buruk kembali menjambangi telinganya. Hanya selang beberapa bulan, kakaknya yang keempat meninggal muda di usia 20 tahun akibat kecelakaan di tempat kerja. Belum kering air mata, ayahnya pun meninggal. Saat sang ayah berpulang ke Empunya Kehidupan, ia sudah ditahbiskan oleh Uskup Johann Weber menjadi imam pada 3 Mei 1997 di Biara Sankt Gabriel, Moedling, Austria. Selang setengah tahun kemudian, saudari satu-satunya meninggal karena sakit di Surabaya.

Waktu pun bergulir memasuki tahun 2021. Di tahun itu, kabar duka kembali menghampiri. Kakak sulungnya, Pastor Yosef Bukubala Kewuta, SVD meninggal secara tiba-tiba karena serangan jantung. Pastor Markus merasa dunia jadi gelap. Antara percaya atau tidak, ia berusaha mengendapkan perasaannya. Belum lagi ia memikirkan kakak laki-laki satu-satunya yang masih tinggal di kampung namun sering jatuh sakit. Pertanyaan demi pertanyaan kepada Tuhan sontak muncul ibarat Nabi Ayub. Namun ia segera tersadar, ia harus berdoa.

Pastor Markus Solo Kewuta, SVD (paling kanan)  bersama Uskup Johann Weber di Biara Sankt Gabriel, Moedling, Austria pada 3 Mei 1997 bersama rekan imam lainnya. (Foto: Dok.pribadi)

Malam itu juga, setelah kabar nahas tentang kakak sulungnya mendapatkannya di Kantor Vatikan, ia merayakan Misa Kudus ditemani oleh Superior General SVD, Pastor Paulus Budi Kleden, SVD, memohon kekuatan dari Yang Empunya Kehidupan. Ia segera menyadari, seduka apa pun, ia harus bangkit.

“Menjadi imam bukan berarti seorang yang tidak bisa bergelut dengan Tuhan tapi seorang imam bisa dan boleh bergelut dengan Tuhan. Yang penting tahu dalam konteks apa dan sampai di mana batasnya,” terangnya.

Berteduh bersama Yesus

Pastor Markus menyadari Pesta Perak Imamatnya ditandai dengan goncangan emosional yang luar biasa.

Katanya, “Sayang, Pesta Perak Imamat saya jatuh pada sebuah masa di mana saya bersyukur seraya hati saya mengenakan kain perkabungan. Tetapi ini bukan tanpa makna”.

Di tengah situasi demikian, Pastor Markus sadar akan tugas perutusan Tuhan yang ia jalankan dengan setia dan penuh tanggung jawab, bukan hanya bagi Gereja lokal tetapi juga universal.

Pastor Markus Solo Kewuta, SVD bersama para pemuka agama dalam dialog antarumat beragama.
(Foto: Dok.pribadi)

Untuk itu, ia mengiyakan ajakan Yesus dalam Matius 11:28 yang berbunyi, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.” Ini sekaligus menjadi moto 25 tahun imamatnya. Berteduh bersama Yesus ini ia wujudkan dengan membuat perayaan syukur di tanah kelahirannya di Lewouran, Desa Lewotobi, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, Larantuka. Tiga puluh tahun lalu ia meninggalkan Indonesia untuk studi lanjut ke Austria hingga menjadi imam dan belum pernah melayani di tanah air.

Wujud syukur di tanggal 14 September 2022 nanti, akan ada Adorasi Sakramen Mahakudus bersama umat sekampung. Dengan itu ia mau mengatkan bahwa Tuhanlah yang menjadi pusat perhatian pada hari-hari perayaan itu. Kemudian tanggal 15 September Misa puncak.

“Yang datang ke kampung kami adalah Tuhan yang sudah memanggil saya dan Dia menghantar saya untuk masuk kembali ke kampung setelah menjadi imamnya selama 25 tahun ini. Dia yang memanggil Dia juga yang menuntun,” tuturnya.

Bagi Pastor Markus, ucapan syukur itu pertama-tama untuk mengasihi Kristus. Untuk kembali kepada Yesus yang telah memanggil dan menuntunnya.

“Kita baca di dalam Injil bahwa Yesus juga senantiasa pergi ke tempat sunyi untuk berdoa. Ia pun memanggil saya untuk bersimpuh pada-Nya, berdoa dan memulihkan tenaga,” imbuhnya.

Ia kembali untuk berdoa, bersyukur dan menimbah tenaga di sana, tempat di mana benih-benih panggilannya mulai tumbuh dan bersemi hingga menghantarnya ke jenjang imamat.

Cahaya Inspirasi

Tak lupa, Pastor Markus mengenang jasa kakak sulungnya yang telah memberikan seberkas cahaya inspirasi untuk menjadi seorang imam. Kelahiran 4 Agustus 1968 ini mengisahkan betapa ia terpikat dengan pribadi sang kakak. Lahir dalam keluarga Katolik taat, ia melihat kakak sulungnya sedang dalam perjalanan menuju imamat.

Ketika sudah bisa berbicara, Markus kecil menanyakan kepada ayah dan ibu apakah itu seminari yang dimasuki kakaknya. Dengan lembut, mereka menjelaskan bahwa itu adalah jenjang panggilan menjadi seorang imam.

Setiap kali sang kakak pulang berlibur ia senantiasa mengagumi kakaknya itu. “Cara bicara, pakaiannya, dan ceritanya menarik sekali,” ungkapnya.

Ketertarikan itu semakin menguat dalam diri Markus kecil. Ia curi dengar bahwa menjadi seorang imam haruslah baik dan pintar. Ia pun terdorong untuk giat belajar dan meraih prestasi di sekolahnya. Sejak kecil, meskipun di manja oleh kedua orangtua, Markus kecil tak hilang semangat berbagi. Ia tumbuh menjadi anak yang ramah dan dermawan.

Pastor Markus Solo Kewuta, SVD bersama kakak sulungnya (Alm) Pastor Yosef Bukubala Kewuta, SVD. (Foto: Dok.pribadi)

Panggilannya juga semakin dipupuk kuat oleh kehadiran Pastor Paroki asal Belanda yang juga adalah seorang SVD. “Jadi dalam keluarga dibuka dan ditutup dengan SVD. Anak pertama SVD dan saya bungsu SVD,” kelakarnya.

Pastor Markus tak pernah menduga jikalau tahun perayaan perak imamat sang kakak tahun 2011 adalah tahun terakhirnya ia merayakan imamat bersama sang kakak terkasih. Saat itu keduanya saling berjanji akan merayakan lagi hari imamat bersama-sama. Khususnya, merayakan pesta perak imamatnya di tahun 2022. Masih terbayang di benak Pastor Markus, sewaktu mereka mengutarakan janji. Ia terus menatap matanya dalam-dalam. Matanya berkaca-kaca.

Inilah pesta imamat yang harus ia rayakan tanpa keluarga lengkap. Pastor Markus tahu menjadi imam tanpa dukungan keluarga inti tak mudah. Apalagi banyak tantangan yang ia hadapi sebagai imam internasional.

“Selama 30 tahun hidup dan berkarya di Eropa, saya memiliki banyak sahabat dekat, terutama di Austria dan Jerman yang sangat menghasihi saya seperti anggota keluarga mereka sendiri. Saya merasa betah dan diterima di mana-mana, terutama setiap kali saya berlibur ke rumah mereka. Ada kesan “tanah air” hadir di sana. Hemat saya, tanah air adalah situasi, di mana seorang merasa dikasihi, diterima dan dihargai. Itu sering dan selalu saya alami di Eropa. Sekalipun demikian, kehadiran keluarga inti dalam konteks tertentu, minimal kalau masih bisa dijumpai ketika berlibur, selalu memiliki makna khusus”, ungkapnya.

Saat ini, ia melayani sebagai Staf Dikasterium untuk Dialog Antarumat Beragama yang menangani Desk relasi Katolik-Islam di kawasan Asia dan Pasifik, dan Wakil Presiden Yayasan Nostra Aetate di Takhta Suci Vatikan.

Panggilan imamatnya tidak hanya dikuatkan oleh saudara seiman tetapi juga saudara beda iman yang sering ia jumpai dalam tugas pelayananya. Banyak orang muda dari latar belakang iman berbeda yang menempuh pendidikan pada Yayasan Nostrae Aetate pun kerap memanggilnya dengan sebutan “bapak spiritual” untuk mereka sebab bak seperti ayah kandung ia selalu menemani, mendampingi dan menyemangati mereka baik dari sisi akademis maupun spiritual.

Selama 25 tahun menjadi imam, Pastor Markus kian disadarkan bahwa Tuhan telah mempersiapkan dan menempanya menjadi seorang imam. Tantangan selalu ada, tetapi Pastor Markus membiasakannya membawa segala persoalan dalam doa. Sampai hari ini rasa kehilangan orang-orang yang dikasihinya masih bergelayut di batinnya.

Di lain pihak berbagai tantangan hidup dan karya untuk perdamaian dunia, juga krisis-krisis multidimensional di dalam Gereja Katolik di Eropa oleh karena badai sekularisme dan materialisme turut menguras tenaga dan perhatiannya. Ditambah pula berbagai karya kerasulan karitatif pribadi untuk kemajuan pendidikan anak-anak dari keluarga tak mampu di NTT yang banyak menyita perhatannya.

Pastor Markus Solo, SVD (kanan), Kardinal Ayuso Guixot (tengah), dan A.M. Putut Prabantoro (kiri) dalam sebuah kesempatan di Vatikan (Foto: Dok.pribadi)

Di atas semuanya ini, sekuat hati dengan bantuan Kristus yang mengundang jiwanya yang letih lesu dan berbeban berat untuk berteduh, ia akan menata batinnya. Ia juga berkesampatan diberikan berkat khusus oleh Paus Fransiskus untuk 25 tahun imamatnya di bulan Juni lalu.

Pada akhirnya, ia sadar segala sesuatu di dimensi ruang dan waktu hanya sementara dan berlalu. Hanya Tuhanlah satu-satunya sandaran aman, pasti, dan nyaman dalam hidupnya. Itulah kekuatannya untuk merintis hari esok. Rasa syukurnya itu ia tuliskan dalam puisi reflektif berikut:

“Aku telah melihat,
aku telah menyaksikan,
aku telah mengalami bahwa mawar mekar di antara duri.
 
Mulianya Tabor,
sakitnya Getsemani,
Tuhan tahu.
 
Ia telah memanggilku,
Ia juga memutuskan,
di mana aku harus berdiri,
ke mana arah akan melangkah.
 
Terjadilah kehendak-Nya!
Syukur kepada Tuhan, terima kasih untuk semua.
Aku telah mencintai yang asing dengan segala kejujuran,
dan aku dicintai kembali serratus kali lipat.”

 Felicia Permata Hanggu

HIDUP, Edisi No. 38, Tahun ke-76, Minggu, 18 September 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here