Menyongsong 60 Tahun Pembukaan Konsili Vatikan II: Gereja Belaskasih

382
Paus Yohanes XXIII
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – PADA tanggal 11 Oktober 1962 Paus Yohanes XXIII secara resmi membuka berlangsungnya Konsili Vatikan II. Gagasan untuk mengadakan konsili itu sendiri diungkapkan secara mengejutkan oleh Paus Yohanes XXIII, pada 25 Januari 1959.

Dikatakan mengejutkan karena memang banyak orang tidak menduga bahwa 3 bulan setelah terpilih Paus merancang diadakannya suatu konsili, bahkan dapat dikatakan di kalangan Vatikan sendiri tidak menduga adanya gagasan tersebut.

Memang Yohanes XXIII adalah Paus yang mengejutkan. Paus Fransiskus dalam homili kanonisasi Yohanes XXIII menyebut bahwa dia adalah Paus yang terbuka akan Roh Kudus. Itulah sumber kejutan Yohanes XXIII ketika mengumumkan akan diadakannya Konsili Vatikan II. Dia sendiri mengatakan jujur bahwa gagasan itu sendiri baginya tak terduga dan seakan tiba-tiba.

Situasi dunia pasca Perang Dunia II dan perubahan pesat setelah itu, demikian juga kemerdekaan banyak negara-negara baru, yang sebelumnya berada dalam penjajahan, ikut menjadi pertimbangan. Gereja dirasakan semakin menjadi Gereja dunia, bukan lagi Gereja barat, apalagi Gereja Eropa. Gereja di kawasan misi berkembang.

Perubahan sosial tersebut bersangkutan pula dengan perubahan situasi yang menyertai Gereja, terlebih kenyataan Gereja yang berada di kawasan yang secara kepercayaan dan kultural bukan Kristiani. Terutama luka yang dihasilkan dari perpecahan dan kekerasan Perang Dunia II sangat melatarbelakangi alasan perlunya suatu konsili. Yohanes XXIII adalah orang yang tidak takut menyentuh luka Yesus dalam luka-luka banyak orang dewasa itu. Demikian dikatakan Fransiskus.

Balsam Belaskasihan

Dalam pembukaan Konsili Vatikan II Paus Yohanes XXIII, 11 Oktober 1962, mengatakan, “Kini Mempelai Kristus ingin lebih menggunakan balsam belaskasih daripada mengenakan senjata kekakuan.  Gereja Katolik, sebagaimana dia mengangkat tinggi-tinggi obor kebenaran Katolik pada Konsili Ekumenis ini, ingin menunjukkan pada dirinya sendiri suatu kasih ibu kepada semua; sabar, murah hati, digerakkan oleh belaskasih dan kebaikan kepada anak-anaknya yang terpisah darinya”. Konsili Vatikan II tidak hendak terutama berbicara tentang doktrin, namun lebih merupakan suatu konsili pastoral.

Suasana Konsili Vatikan II

Paus Yohanes XXIII, yang sering disebut sebagai pastor bonus (gembala baik), dikenal sangat sering berbicara tentang kemurahan hati Allah, kenyataan Allah yang berbelaskasih.     Kalau Allah adalah Allah yang berbelaskasih, Allah yang menyatakan kemurahan hati yang berangkat dari kerahiman Ilahi-Nya, maka umat beriman, secara personal namun pula komunal, diajak untuk menapaki jalan hidup belaskasih Allah tersebut.

Demikian pula Gereja, Gereja dikehendaki-Nya untuk selalu menjadi Gereja yang murah hati, Gereja yang berbelaskasih, agar Gereja dengan demikian semakin menjadi sakramen, tanda dan sarana, belaskasihan Allah. Gereja yang bermurah hati, yang berbelaskasih, dengan demikian berakar serta berdasar pada identitas dan hakikat dirinya sebagai tubuh Kristus, umat Allah. Maka dalam semangat tersebut, Gereja perlu senantiasa bertanya secara kritis pada dirinya sendiri sejauhmana sungguh menghidupi kemurahan hati, sehingga semakin layak menjadi sakramen belaskasih Allah.

Maka baginya Konsili Vatikan II dimaksudkan untuk memperlihatkan semangat dasar Gereja dan menekankan perutusan rohaninya. Maksud dari semua itu, menurut Yohanes XXIII adalah mengupayakan agar pesan Injil sungguh dihidupi dan menjadi tuntunan dasar cara bertindak umat manusia.

Paus Yohanes XXIII membuka Konsili Vatikan II.

Konsili, oleh karena itu, tidak ingin terutama berbicara mengenai doktrin, namun lebih ke arah pastoral, bagaimana doktrin tersebut mewujud nyata, sebab jika kebenaran iman merajai, maka kasih lalu menjadi hukum dasarnya, sehingga segalanya terarah pada keabadian.

Bukan sikap kaku yang hendak ditawarkan Gereja di tengah arus perubahan yang ada, melainkan kemurahan hati sebagai obat penyembuh atas ketidaktepatan hidup yang berlangsung. Gereja bagi Yohanes XXIII, diajak untuk menawarkan terutama kepenuhan cinta kasih Kristiani sebagai hartanya.

Hal senada diungkapkan oleh Paus Paulus VI saat menutup Konsili Vatikan II, 8 Desember 1965. Konsili, menurutnya,   mencoba untuk secara lebih mendalam mendalami misteri terdalam hidup Gereja dan rencana keselamatan Allah dalam dirinya.

Tidak mengherankanlah kalau konsili, demikian kata Paus, mendasarkan pada kasih sebagai ciri rohani dari proses yang menyertainya. Kasih adalah penanda dasar identitas diri para murid Kristus (lih Yoh 13:35), sebagaimana pula dinyatakan oleh rasul Yakobus, “Ibadat yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga diri supaya dirinya sendiri tidak dicemari oleh dunia” (Yak. 1:27).

Dari sini kemudian Paulus VI mengangkat kisah orang Samaria yang murah hati (Lih. Luk. 10:25-37) sebagai model dan ciri dari spiritualitas konsili. Konsili tidak berangkat untuk mengadili, namun untuk menghargai dan juga memurnikan apa yang ada. Semua itu dilakukan Gereja dalam semangat kasih.

Konsili Vatikan II merefleksikan sungguh apa artinya menjadi bagian dari kebenaran iman, yakni menjadikan Gereja senantiasa berada dalam pengabdian kepada Allah, dalam wujudnya lewat pelayanan kepada dunia dalam kasih dan kebenaran.    Hanya dalam perjumpaan personal dengan Allah, sesama tidak hanya akan dipandang sekedar sebagai ciptaan, namun menemukan pula dalam dirinya gambaran yang ilahi, sehingga dari sini tumbuhkan kasih dan perhatian peduli kepada sesama, sehingga wajah dunia pun dibangun bersama bagi tumbuhnya kemanusiaan baru, kemanusiaan sejati, sebagaimana dikehendaki Allah.  Gereja tubuh Kristus dan sekaligus adalah umat Allah adalah pewujudan dari itu.

Jalan Tidak Mudah

Suatu gagasan indah dan inspiratif tidak selalu mudah dalam mewujudkannya. Demikian pula Vatikan II. Sejak awal digagas, Konsili Vatikan II sudah dihadapi dengan sikap skeptis, bahkan penolakan dari berbagai kalangan. Tidak semua pihak di Vatikan pun menyambut dengan gembira.

Apakah perlunya dan kemendesakannya diadakannya suatu konsili, itu salah satu pertanyaan keberatan. Tidak ada suatu persoalan doktriner penting yang mendesak diadakannya suatu konsili, sebagaimana dalam konsili-konsili sebelumnya. Yohanes XXIII sendiri tidak melihat adanya persoalan doktrin, namun lebih mengajak Gereja merefleksikan diri dalam menghidupi dan mewartakan imannya, baik ke dalam maupun keluar.

Paus menggambarkannya sebagai Gereja yang membuka jendela, agar kesegaran hidup beriman dihidupkan kembali di tengah situasi dan tantangan baru yang dihadapi.

Tentu ada pihak yang cenderung tidak siap menyesuaikan diri dengan tanda-tanda zaman, sebaliknya lebih mau mempertahankan status-quo, tidak ingin melihat adanya suatu perubahan dan bahkan cenderung menyalahkan perubahan.

Hal tersebut terasa tidak saja saat sebelum, namun juga saat hingga setelah selesainya konsili, bahkan hingga kini. Perdebatan yang cenderung panas, terlebih terkait konstitusi pastoral Gaudium et Spes, deklarasi kebebasan beragama, Dignitatis Humanae, maupun deklarasi tentang dialog agama Nostra Aetate, menyertai perjalanan Konsili.

Gereja menempuh jalan yang tidak mudah dalam merefleksikan hidup dan perutusannya di dunia dewasa ini. Memang menemukan cara bertindak yang tepat tidak senantiasa mudah.

Paus Benediktus XVI

Paus Benediktus XVI menyebutkan adanya kecenderungan menafsirkan hasil Vatikan II dalam prinsip hermeneutika diskontinuitas, sehingga konsili dilihat ada dalam keterpisahan dengan konsili-konsili sebelumnya, seakan Gereja yang dibangun dengan Gereja yang ada sebelumnya.

Benediktus XVI memberi ajakan untuk melihat perjalanan Vatikan II sebagai hermeneutika pembaharuan (hermeneutic of reform), sebagaimana menurutnya telah ditunjukkan oleh Yohanes XXIII. Kita tidak bisa menarik ke belakang. Gereja Vatikan II adalah nyata Gereja rasuli namun pula kenyataan menggereja dewasa ini. Itulah tantangan bagi kita dewasa ini.

Paus Fransiskus

Vatikan II mengobarkan semangat pembaharuan. Akan tetapi memperbaharui diri itu tidak mudah. Namun inilah pula jalan yang ditempuh Gereja. Paus Fransiskus memberi gambaran memperbaharui Gereja itu bagai membersihkan patung Sphinx, patung raksasa berkepala singa dalam tradisi Yunani kuno, dengan sikap gigi. Semuanya butuh waktu dan proses, perlu kesabaran serta ketekunan. Kita memerlukan, apa yang dikatakan Paus Fransiskus tentang Santo Yosef dalam Patris Corde: keberanian kreatif!

Gereja Vatikan II adalah nyata Gereja rasuli namun pula kenyataan menggereja dewasa ini. Itulah tantangan bagi kita dewasa ini.

Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ, Teolog, tinggal di Girisonta. 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here