Sekolah Orang Tua Cinta Anak

1466
Komunitas SOCA
5/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – SUDAH jam 11 siang. Mestinya kami sudah berada di tempat kopi darat. Tetapi sekarang saya masih mencari kaos seragam. Bongkar-bongkar tumpukan baju. Akhirnya ketemu. Belum disetrika. Mentang-mentang lokasi kopi daratnya dekat dengan rumah, malah terlambat. Di waktu kopi darat sebelumnya kami bisa datang tepat waktu walaupun harus melalui perjalanan 1 jam lebih.

Jam 11:45 kami sampai di lokasi acara. Lokasi kopi darat kali ini di Tangerang Selatan, tepatnya di sebuah rumah makan yang cukup luas. Kami mendapat tempat terpisah dari gedung induk, di sebuah bangunan tanpa dinding dua tingkat. Di tengahnya ada meja panjang yang bisa menampung 16 orang. Kami menggunakan area bagian bawah.

Sudah hampir lengkap yang hadir. Tinggal menunggu dua orang saja. Makanan-makanan ringan yang kami bawa mulai dicomot-comot sebelum memesan makanan utama.

Stefanus Rizal Rejadi, akrab kami panggil Rizal, ‘fasilitator’ kami, membuka percakapannya dengan ceritanya bahwa ia baru saja terlibat dalam pengusiran roh yang dilakukan oleh seorang romo. Cerita ini menarik karena topik dunia roh masih sangat jarang dikenal oleh awam.

Rizal dengan gayanya yang selalu menarik, membuat suasana semakin cair.

Hari ini bukanlah hari pelajaran kami. Kami sudah lulus dua minggu yang lalu dari Sekolah Orang Tua Cinta Anak (SOCA) yang diajar oleh Rizal. Hari ini hanya pertemuan kopi darat sebagai sesama orang tua yang cinta anak. Sekarang saya dan istri sudah menjadi bagian dari komunitas ini. Sebelumnya kami harus mengikuti 25 kali pertemuan secara online bersama para orang tua dari berbagai daerah. Seingat saya ada yang dari Jambi, Semarang, Surabaya, Bandung, dan daerah-daerah lain.

Awalnya saya dan istri terpaksa mengikuti sekolah ini. Anak saya yang besar yang mendaftarkan kami. Mungkin karena dia melihat bahwa tidak adil kalau anak harus selalu menerima menjadi korban ketidakmengertian orang tua dalam mendidiknya. Saya dan istri sempat juga mengundurkan diri dari sekolah ini. Tetapi karena hal itu membuat anak saya sangat kecewa, maka kami melanjutkannya sampai selesai. Sekarang anak saya puas. Setidaknya ada perubahan pada orang tuanya. Relasi kami dengannya menjadi lebih baik.

Mengapa anak lelaki saya berkeras supaya saya dan istri mengikuti sekolah ini? Sebelumnya dia sudah menjadi bagian dari generasi ketiga dari anak muda katolik yang dibimbing Rizal. Ia sering membawakan pelatihan, retret, dan coaching untuk umum, perusahaan, dan anak-anak muda. Seingat saya, anak saya lebih banyak berada di rumahnya bersama teman-temannya, dibandingkan berada di rumah. Di rumah hanya untuk tidur dan makan.

Menjadi orang tua memang tidak ada sekolahnya. Tetapi sebenarnya sejak anak saya bayi, saya sudah cepat-cepat mencari buku tentang pendidikan anak. Salah satu pelajaran yang saya ingat adalah bahwa seorang polisi tidak akan dipatuhi jika hanya memiliki peluit. Polisi harus bisa memberi hukuman, supaya para pelanggar lalu lintas bisa tertib. Demikian juga sebagai orang tua, tidak cukup bermodalkan kata-kata atau teriakan, tapi perlu juga memberi hukuman. Dengan catatan: hukumannya tidak boleh sampai melukai si anak. Sesuai nasehat penulis buku tersebut, saya tidak melakukan kekerasan fisik yang berlebihan kepada anak-anak, karena hanya boleh memukul punggung tangan dan bokong. Untungnya, anak-anak saya bukanlah anak-anak yang nakal, sehingga saya tidak sering menghukum secara fisik. Itu pun semasa mereka masih kecil, ketika masih sulit diajak bicara baik-baik.

Sekarang kedua anak saya sudah berumur 20-an. Bukan anak-anak lagi. Saya dan istri awalnya berpikir benar-benar tidak perlu mengikuti SOCA ini. Tetapi untungnya kami dimasukkan ke kelompok yang fasilitatornya memiliki anak yang lebih besar daripada anak-anak saya. Sehingga kami tidak merasa terlalu asing di antara para orang tua yang anak-anaknya kebanyakan berkisar antara SD dan SMA.

Materi yang diajarkan ternyata lebih banyak ke arah perbaikan diri kita sendiri sebagai pribadi. Dimulai dengan pembahasan tentang awareness yang biasanya saya temui dalam topik Emotional Intelligence. Kemudian kami dibawa untuk mengenal luka batin di dalam diri kami dan bagaimana mengatasinya. Bukan mayoritas membicarakan tentang anak, melainkan bagaimana kami melihat diri kami dulunya sebagai anak. Pengalaman-pengalaman pribadi kita dengan orang tua kita yang tidak baik yang kita alami semasa anak-anak, harusnya tidak diulang kepada anak-anak kita.

Sebagian dari kami yang mengikuti pelajaran dengan sungguh-sungguh, melihat dampak yang baik dalam relasi kami dengan anak-anak. Bahkan sebelum sekolah ini selesai. Walaupun relasi kami dengan anak-anak belum sempurna, setidaknya kami tahu harus ada usaha untuk menjadi orang tua yang benar.

Di akhir-akhir pelajaran, kami belajar tentang mengatasi masalah dan melakukan konseling. Agak susah. Untuk itu kami diberi tugas-tugas berkelompok, sehingga kami merasa punya teman yang sama-sama belum bisa.

Masa-masa belajar di SOCA bagi saya dan istri lumayan mengganggu family-time karena diadakan setiap sabtu malam. Biasanya hari Sabtu dan Minggu adalah waktu kebersamaan kami. Tetapi setelah menyelesaikannya, kami tidak merasa rugi. Kami dibekali mindset baru, relasi kami dengan anak-anak menjadi harmonis, dan kami memiliki teman-teman baru.

Perjalanan mendidik anak belum selesai. Anak saya pun disarankan Rizal untuk mengikuti Choice untuk pengembangan pribadinya. Kami bersyukur keluarga kami Tuhan pimpin. Dari keegoisan menuju ke keharmonisan. Saya harap Anda juga.

(Catatan: Whatsapp Sekretariat SOCA: 0812-1376-1599)

Julius SaviordiAlumni KPKS Santo Paulus Tangerang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here