web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Yayasan Tarakanita Wilayah Bengkulu Selenggarakan Sosialisasi PPADR: Wujud Kepedulian dan Tanggung Jawab Bersama

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – PERLINDUNGAN terhadap anak dan dewasa rentan merupakan salah satu wujud nyata dari panggilan kemanusiaan dan pelayanan kasih. Setiap pribadi, terutama yang terlibat dalam dunia pendidikan, memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman, ramah, dan mendukung perkembangan setiap individu secara utuh.

Dengan semangat itulah, Yayasan Tarakanita Wilayah Bengkulu menyelenggarakan Sosialisasi Protokol Perlindungan Anak dan Dewasa Rentan (PPADR) pada Sabtu, 11 Oktober 2025 bertempat di Aula SD Sint Carolus Tarakanita Bengkulu.

Kegiatan ini diikuti oleh seluruh karyawan Tarakanita Wilayah Bengkulu. Dimulai pukul 07.30 WIB dan berlangsung hingga 14.30 WIB, acara ini menghadirkan dua narasumber dari Tim PPADR Kongregasi CB, yaitu Sr. Hedwig Wigiastuti, CB dan Sr. Assumpta, CB.

PADR merupakan pedoman moral dan praktis yang disusun oleh Kongregasi CB untuk memastikan bahwa setiap lembaga di bawah naungannya menjadi ruang aman bagi semua orang. Protokol ini menekankan pentingnya pencegahan terhadap segala bentuk kekerasan, pelecehan, diskriminasi, dan penelantaran baik terhadap anak-anak maupun orang dewasa yang berada dalam situasi rentan. PPADR disusun sebagai aturan moral, spiritual, dan praktis yang mengikat semua anggota kongregasi, yayasan, lembaga pendidikan, serta seluruh karyawan yang berkarya di bawah naungan Kongregasi CB.
Tujuan utamanya adalah menciptakan lingkungan yang aman, penuh kasih, dan menghormati martabat manusia, di mana tidak ada tempat bagi kekerasan dalam bentuk apa pun.

Siapa yang termasuk “Anak dan Dewasa Rentan”? Anak adalah setiap individu berusia di bawah 18 tahun yang masih dalam proses tumbuh kembang, dan memerlukan perlindungan dari orang dewasa di sekitarnya sedangkan Dewasa Rentan adalah individu yang karena faktor usia, disabilitas, penyakit, ketergantungan, atau situasi sosial tertentu tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari ancaman atau perlakuan salah. Keduanya memiliki hak yang sama untuk dilindungi, dihormati, dan didampingi.

Baca Juga:  Penyuluh Katolik Berkolaborasi dengan Komunitas Doa Santa Faustina Melaksankan Pembinaan Iman di Rutan Wirogunan

PADR mencakup unsur-unsur penting, antara lain: (1) pencegahan kekerasan, (2) deteksi dini terhadap situasi berisiko, (3) pendampingan bagi korban, (4) penanganan yang berkeadilan bagi pihak teradu, (5) edukasi berkelanjutan bagi seluruh karyawan, dan (6) pengawasan serta evaluasi implementasi kebijakan perlindungan di setiap unit kerja. Melalui unsur-unsur ini, diharapkan seluruh karyawan Tarakanita memiliki pemahaman yang sama dan sikap yang tegas dalam melindungi setiap pribadi yang dipercayakan dalam pelayanan mereka.

 

Sosialisasi diawali dengan sambutan dari Sr. Margriet, CB selaku Kepala Kantor Yayasan Tarakanita Wilayah Bengkulu. Dalam pengantarnya, ia menegaskan bahwa PADR bukan sekadar program administratif atau aturan baru, tetapi merupakan Gerakan Kongregasi yang lahir dari semangat kasih dan keprihatinan terhadap situasi dunia saat ini.

“PADR merupakan gerakan kongregasi. Kita semua adalah perpanjangan tangan Kongregasi CB. Dunia sedang mengalami berbagai keprihatinan, terutama menyangkut anak-anak dan kelompok yang rentan. Kongregasi memandang perlindungan ini sebagai wujud nyata panggilan untuk menolong mereka yang membutuhkan. Salah satu langkah konkret yang kita lakukan adalah menyusun buku panduan PPADR, selain panduan Sekolah Ramah Anak (SRA). Semua karyawan memiliki kewajiban yang sama untuk mendampingi peserta didik, tentu dengan porsi yang berbeda-beda. Melalui sosialisasi ini, kita diharapkan memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai PPADR di unit masing-masing,” ujarnya.

Tergolong Tinggi

Memasuki sesi pertama, Sr. Hedwig membuka paparannya dengan menayangkan data statistik mengenai kasus kekerasan terhadap anak dan perundungan (bullying) di Indonesia, termasuk di Provinsi Bengkulu dan kota Bengkulu, dalam lima tahun terakhir.

Sr. Hedwig Wigiastuti, CB

Data tersebut menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap anak masih tergolong tinggi, baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan seksual. Data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan masih sangat tinggi di Indonesia. Banyak kasus terjadi di rumah, lingkungan sosial, bahkan di sekolah. Melalui pemaparan data tersebut, peserta diajak untuk merenungkan penyebab utama mengapa kekerasan masih terjadi di lingkungan pendidikan. Beberapa faktor di antaranya adalah kurangnya kesadaran terhadap hak-hak anak, pola komunikasi yang tidak sehat, penyalahgunaan kekuasaan, serta lemahnya sistem pengawasan dan pelaporan di lembaga pendidikan.

Baca Juga:  Kongregasi FCh Rayakan 34 Tahun Kemandirian dan Hidup Membiara di Palembang

Ia menegaskan bahwa perlindungan terhadap anak merupakan  tanggung jawab seluruh komunitas sekolah.

Sejalan dengan Regulasi Nasional

Sr. Assumpta melanjutkan sesi kedua dengan menjelaskan secara rinci latar belakang lahirnya PPADR serta dasar hukum yang melandasinya. Ia menekankan bahwa protokol ini sejalan dengan berbagai regulasi nasional, termasuk Permendikbud tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Sr. Assumpta, CB.

Dalam penjelasannya, Sr. Assumta memaparkan tujuh standar utama dalam PPADR, yaitu:

  1. Menciptakan dan Mempertahankan Lingkungan yang Aman.
  2. Prosedur Menanggapi Kecurigaan, Kepedulian, atau Tuduhan.
  3. Pendampingan dan Dukungan untuk Pengadu.
  4. Pendampingan dan Pengaturan bagi Pihak Teradu.
  5. Pelatihan dan Dukungan bagi Staf.
  6. Mengkomunikasikan PPADR
  7. Penjaminan Kualitas dan Evaluasi

Selain itu, narasumber juga menjelaskan enam jenis kekerasan di sekolah menurut Permendikbud, yaitu: kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan (bullying), kekerasan seksual, diskriminasi, serta kebijakan yang mengandung kekerasan. Dalam sesi ini, peserta diajak untuk mengenali bentuk-bentuk kekerasan yang seringkali terjadi tanpa disadari, serta pentingnya deteksi dini agar kasus tidak berkembang menjadi lebih serius.

Berpikir Kritis

Pada sesi terakhir, peserta dibagi menjadi beberapa kelompok kecil untuk mendiskusikan faktor risiko dan faktor pelindung dalam tiga lingkungan utama: lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, dan lingkungan adat istiadat.

Baca Juga:  Pesan Paus di Rumah Sakit di Lebanon: Kita Tidak Boleh Melupakan Mereka yang Paling Rapuh

Diskusi ini mendorong peserta untuk berpikir kritis dan reflektif terhadap konteks sosial di sekitar mereka. Sesi dilanjutkan dengan presentasi hasil diskusi dari masing-masing kelompok.

Beberapa kelompok menyoroti bahwa faktor risiko kekerasan di sekolah sering kali muncul karena rendahnya kontrol sosial, komunikasi yang tertutup antara guru dan siswa, serta kurangnya sosialisasi tentang perlindungan anak. Sementara faktor pelindung di antaranya adalah keterlibatan orang tua, budaya dialog yang terbuka, serta kehadiran figur teladan di sekolah yang mampu memberikan contoh positif.

Mebangkitkan Kesadaran

Sosialisasi ini tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga membangkitkan kesadaran dan tanggung jawab bersama untuk terus menjaga martabat setiap pribadi, terutama mereka yang paling rentan. Melalui PPADR, seluruh karyawan Tarakanita Wilayah Bengkulu diharapkan mampu menjadi ”agen pelindung” di lingkungan kerja masing-masing, menumbuhkan budaya peduli, dan menolak segala bentuk kekerasan.

PPADR menyediakan standar dan mekanisme yang sistematis, mulai dari pencegahan, penanganan, pendampingan korban, hingga pelatihan bagi karyawan. Dengan adanya protokol ini, lembaga memiliki acuan jelas tentang bagaimana bertindak ketika menghadapi kasus kekerasan atau situasi berisiko.

Peserta dan narasumber berfoto bersama.

Kegiatan diakhiri dengan doa dan foto bersama seluruh peserta. Semangat kebersamaan yang terjalin hari itu menjadi tanda bahwa gerakan PADR bukan sekadar program, tetapi merupakan panggilan iman dan tanggung jawab kemanusiaan untuk menghidupi kasih Kristus dalam pelayanan sehari-hari.

Dengan semangat ini, Tarakanita Bengkulu menegaskan komitmennya untuk terus menjadi lembaga pendidikan yang tidak hanya unggul dalam prestasi akademik, tetapi juga dalam membangun budaya perlindungan, empati, dan penghargaan terhadap martabat setiap insan.

Laporan Petrus Mundanan (Humas Tarakanita Bengkulu)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles