web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Teriakan Bumi, Teriakan Orang Miskin

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – PERUBAHAN iklim kini bukan lagi sekadar wacana di ruang akademik atau jargon politik global. Ia telah menjelma menjadi realitas sehari-hari yang dirasakan manusia di berbagai belahan dunia: banjir besar yang melanda Pakistan, gelombang panas ekstrem di Eropa, kekeringan panjang di Afrika, hingga lenyapnya keanekaragaman hayati. Semua tanda zaman ini memperlihatkan bahwa bumi tengah menjerit. Dan seperti ditegaskan Paus Fransiskus, jeritan itu bersatu dengan jeritan kaum miskin—mereka yang paling sedikit berkontribusi terhadap krisis iklim, tetapi justru paling pertama dan paling parah menanggung akibatnya.

Dalam situasi inilah suara Gereja Katolik menemukan relevansinya. Paus Fransiskus, melalui Ensiklik Laudato Si’ (2015) dan Laudate Deum (2023), menyerukan kepada dunia bahwa krisis iklim bukan sekadar soal teknis, melainkan soal moral, spiritual, bahkan eksistensial. Dokumen-dokumen ini bukan hanya ditujukan kepada 1,3 miliar umat Katolik, tetapi kepada “semua orang yang berkehendak baik.” Pesannya jelas: bumi adalah rumah bersama (common home), dan merusaknya sama artinya dengan melukai martabat manusia.

Baca Juga:  Dalam Misa di Beirut, Paus Leo: Bebaskan Hati Kita untuk Membawa Perdamaian dan Keadilan ke Lebanon

Fondasi intelektual bagi seruan ini banyak dipengaruhi oleh Ottmar Edenhofer, seorang filsuf dan ekonom iklim yang pernah menjadi anggota Serikat Yesus. Ia menekankan bahwa atmosfer bumi adalah global commons — harta bersama umat manusia — yang tidak boleh diperlakukan sebagai “tanah tak bertuan” untuk menumpuk limbah karbon. Konsep seperti Sky Trust yang ia gagas, yakni sistem lelang emisi global, menggambarkan bagaimana keadilan sosial dapat diintegrasikan ke dalam kebijakan iklim: yang mencemari membayar, dan hasilnya digunakan untuk melindungi yang rentan (Die Sorge um die globalen Gemeinschaftsgüter, StZ 2015).

Sains sendiri menguatkan seruan moral ini. Data Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mencatat konsentrasi karbon dioksida telah mencapai lebih dari 420 ppm pada 2023, angka tertinggi dalam 2 juta tahun terakhir. Suhu global meningkat hampir 1,2°C dibandingkan era praindustri. Bank Dunia memperkirakan, tanpa tindakan serius, 200 juta orang berisiko menjadi pengungsi iklim pada tahun 2050 (World Bank Group, 2021). Di balik statistik itu, ada wajah-wajah manusia yang terusir dari tanahnya, ada generasi yang belum lahir namun sudah diwarisi bumi yang rusak.

Baca Juga:  Maria Bunda Penasihat Baik Resmi Jadi Pelindung

Di sinilah peran Gereja menjadi unik. Politik sering terjebak pada kalkulasi kekuasaan jangka pendek, sementara sains, meski teliti, kerap gagal menyentuh hati nurani. Gereja hadir sebagai suara hati yang menegaskan: setiap ton karbon yang dilepaskan ke atmosfer adalah beban moral, terutama bila dampaknya ditanggung oleh mereka yang miskin. “Teriakan bumi dan teriakan orang miskin adalah satu teriakan yang sama,” tulis Paus Fransiskus, mengingatkan bahwa krisis ekologis tak bisa dipisahkan dari krisis sosial.

Namun, tantangan ke depan akan semakin kompleks. Paus baru, kelak, akan berhadapan dengan pertanyaan yang kian sulit: bagaimana menautkan isu iklim dengan migrasi, peran gender, atau dialog antaragama? Apakah Gereja berani menyebut ketidakadilan iklim sebagai dosa struktural yang menuntut pertobatan kolektif? Pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan apakah suara Gereja tetap relevan di tengah dunia yang semakin terpolarisasi.

Edenhofer sendiri mengingatkan, transisi energi bersih bukan semata soal teknologi, melainkan soal keadilan: siapa yang membayar, siapa yang menikmati, siapa yang ditinggalkan. Dengan kerangka ajaran sosial Katolik, isu iklim dapat dipahami bukan hanya sebagai krisis ekologis, melainkan ujian solidaritas global. Mampukah umat manusia, lintas bangsa dan generasi, bekerja sama menjaga rumah bersama ini?

Baca Juga:  Pesan Paus di Rumah Sakit di Lebanon: Kita Tidak Boleh Melupakan Mereka yang Paling Rapuh

Pada akhirnya, perubahan iklim adalah ujian iman. Ia menyingkap apakah manusia, yang dipercayakan sebagai penatalayan bumi, mampu mengelola anugerah ini dengan kasih, atau justru tergoda mengeksploitasinya hingga hancur. Gereja Katolik, melalui ensiklik, pemikiran Edenhofer, dan suara para Paus, menawarkan jalan pertobatan ekologis: iman dan sains berjalan bersama, menyatukan hati nurani dan akal budi. Di tengah krisis global, suara moral ini menjadi harapan terakhir agar kita tidak hanya mewariskan bumi yang rusak, tetapi juga iman akan kemungkinan dunia yang lebih adil, lebih hijau, dan lebih manusiawi.

 Polykarp Ulin Agan, Doktor dan Dosen Teologi Fundamental pada Sekolah Tinggi Teologi KHKT (Kölner Hochschule für Katholische Theologie), Keuskupan Agung Köln, Jerman

 Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No.41 Tahun Ke-79, Minggu, 12 Oktober 2025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles