Blusukan Mengabarkan Injil

1996
Gembira: Mgr Hilarius Moa Nurak SVD berjoget “Natal” pada tahun 2013 bersama umat Paroki Ujungbeting, Lingga, Kepulauan Riau.
[NN/Dok.HIDUP]
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Kabar Gembira harus diwartakan dengan sukacita! Mgr Hilarius Moa Nurak SVD dan Mgr Pius Riana Prapdi berbagi kegembiraan melakukan pastoral blusukan menemui umat. Biarpun alam ganas menantang, mereka tidak bermuram durja.

Sidang tahunan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di gedung KWI, Senin-Kamis, 3-13/11, telah usai. Topik utama yang dibahas dalam sidang tersebut adalah seruan Apostolik Paus Fransiskus, Evangelii Gaudium(EG). Seruan Bapa Suci ini mengajak umat Katolik sejagat untuk mewartakan Injil dengan sukacita kepada orang-orang kecil, sederhana dan terpinggirkan.

Seruan Apostolik yang diterbitkan pada 26 November 2013 itu bahasanya sederhana dan mudah dipahami, sehingga membuat banyak orang terinspirasi. Bagi pelayan pastoral, anjuran tersebut dapat menjadi acuan dalam pendampingan umat. Itulah kesan para uskup dalam sidang tahunan kali ini seperti disampaikan Mgr Hilarius Moa Nurak SVD kepada HIDUP, Rabu, 12/11.

Sumber Kegembiraan
Di sela-sela pertemuan itu, Mgr Hilarius mengisahkan pengalaman pastoralnya di keuskupan Pangkal Pinang yang ia gembalakan sejak 27 tahun silam dikaitkan dengan anjuran apostolik EG. Uskup kelahiran Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur 21 Februari 1943 ini mengaku senang setiap kali berjumpa dengan umat yang ia layani. Karena itu, ia sering mengunjungi umatnya tidak hanya di tingkat paroki tetapi juga sampai tingkat basis. “Saat berjumpa dengan umat, saya selalu mengajak mereka untuk membaca Kitab Suci sebagai kabar gembira. Kegembiraan itulah yang harus kita wartakan kepada orang lain. Kita tidak boleh muram,” tegasnya.

Uskup yang mendapat julukan Bishop of the Sea ini ternyata pernah mendapat pesan yang selalu menguatkannya. Pesanitu datang dari almarhum Uskup Agung Ende, Mgr Donatus Djagom SVD yang wafat pada 29 November 2011. “Monsinyur, kalau merasa bosan tinggal di keuskupan atau di kantor, pergilah kepada umat yang kecil dan sederhana! Di sana Monsinyur akan menemukan kegembiraan. Mereka polos, berbicara dengan jujur, menerima dengan gembira, dan apapun yang Monsinyur katakan akan selalu didengar dengan penuh perhatian,” demikian kata Mgr Hilarius mengulangi ucapan Mgr Djagom. Rupanya pesan tersebut, melekat dalam ingatannya sampai sekarang. Berkat pesan itu pula, Mgr Hilarius telah menemukan sumber kegembiraan tersendiri berada di tengah-tengah dombanya lewat berbagai kunjungan yang ia lakukan.

Dalam pertemuan dengan umat di Komunitas Basis Gerejawi (KBG), Mgr Hilarius biasanya duduk bersila bersama umat di atas tikar dan mendengarkan sharing mereka. Saat mendengar sharingitu, ia mengaku mengalami pertemuan dengan Kristus. “Sungguh suatu hal yang memperkaya dan menggembirakan,” tandasnya. Ia juga menceritakan antusiasme umat saat dikunjungi. Menurut pengalamannya, umat merasa senang dan dihargai ketika gembalanya hadir di tengah-tengah mereka.

Medan kerasulan Mgr Hilarius tentu saja tidak mudah. Untuk sampai ke stasi-stasi yang jauh di pulau terpencil, ia harus naik kapal dari Pangkal Pinang ke Tanjung Pinang selama hampir 12 jam. Namun, ketika ada gelombang besar dan badai, perjalanan itu bisa ditempuh selama puluhan jam. Untuk umat di Batam dan Natuna, ia kunjungi dengan menumpang pesawat. Di keuskupan yang memiliki 14 paroki yang tersebar di puluhan pulau ini, Mgr Hilarius tidak pernah gentar menghadapi ancaman alam. “Kondisi alam menakutkan, namun saya selalu tergerak untuk mengunjungi umat,” tegasnya. Kini, Mgr Hilarius masih tetap ingin mengunjungi umat sesuai anjuran apostolik EG. Namun berhubung usianya sudah menginjak 71 tahun, kunjungan tidak bisa ia lakukan serutin seperti puluhan atau belasan tahun silam.

Perjumpaan Pribadi
Medan pastoral yang sulit dan menantang juga dialami Uskup Ketapang, Kalimantan Barat, Mgr Pius Riana Prapdi. Uskup yang memilih motto Serviens in Caritate (Pelayanan dalam Kasih) ini sejak awal memang membangun komitmen untuk berjumpa secara langsung dengan umat yang dilayani. Melalui perjumpaan pribadi dengan umat, ia dapat memahami situasi dan kebutuhan umat. “Melihat, mendengar dan merasakan adalah hal pertama yang saya bangun saat mengawali tugas penggembalaan saya di Keuskupan Ketapang,” demikian kata Mgr Riana dalam wawancara dengan HIDUP, Rabu, 12/11.

Uskup kelahiran Paniai, Papua, 5 Mei 1967 ini mempunyai pengalaman yang unik saat mengunjungi umat di tempat-tempat yang sulit dijangkau. Untuk sampai ke paroki atau stasi, Mgr Riana menempuhnya dengan menggunakan mobil, sepeda motor, speed boat bahkan berjalan kaki, tergantung tempat yang dikunjungi. Dalam perjalanan itu, ia harus menyeberangi sungai dan juga melewati jalan berlumpur dengan meniti sebilah papan. Tentu saja hal itu tidak mudah, namun itulah saat menantang sekaligus menggembirakan baginya.

Dalam kunjungan ke paroki atau stasi, jatuh dari sepeda motor dan terperosok ke dalam lumpur sudah menjadi hal biasa bagi Mgr Riana. Semua itu tidak pernah menjadi hambatan baginya untuk mengunjungi umat yang jauh, yang merindukan kehadiran seorang gembala. Ia ingin berbagi kegembiraan dan mendengarkan pengalaman umat yang dilayani. “Saya tetap semangat, untuk mengalami apa yang dirasakan umat,” katanya.

Dekat Umat
Keuskupan Ketapang mempunyai 320 stasi yang tersebar di 20 paroki. Separuh dari stasi tersebut sudah dikunjungi Mgr Riana. Bahkan stasi terjauh, yaitu stasi Tanjung Bunut yang terletak di wilayah utara sudah pernah disambangi pula. “Saya mengupayakan untuk mengunjungi semua stasi yang ada, agar mengalami perjumpaan pribadi dengan seluruh umat,” tandasnya. Waktu yang ditempuh dalam kunjungan umat ini biasanya maksimal dua minggu dan minimal lima hari. Lewat kunjungan itu ia dapat memahami kebutuhan umat sehingga bisa mengambil langkah konkret untuk menjawab kebutuhan umatnya.

Melalui kunjungan, alumnus Accademia Alfonsiana, Roma ini juga merasakan kedekatan dengan umat. Ia bisa makan bersama dengan umat, mendengarkan sharing dan hadir dalam pertemuan umat di rumah adat. “Perjumpaan itu menjadi sesuatu yang membahagiakan,” ungkapnya. Hal unik lainnya, adalah pengalaman Mgr Riana tidur di tempat yang sederhana bersama umat dalam setiap kunjungan yang ia lakukan. “Tidak ada tempat khusus untuk uskup atau imam. Semuanya sama dalam satu ruangan,” katanya. Pengalaman itu membuat Mgr Riana semakin merasakan situasi nyata kehidupan umat.

Uskup yang ditahbiskan menjadi imam pada 8 Juli 1995 ini berharap agar para petugas pastoral, baik imam maupun awam agar memahami dan merasakan apa yang dirasakan serta dihidupi umat. Tujuannya agar muncul inspirasi baru dalam menentukan strategi pastoral yang kontekstual yang tidak hanya menggembirakan umat tetapi juga pelayan pastoral itu sendiri. “Karena kalau pelayan tidak gembira, kabar gembira yang diwartakan tidak akan menyentuh,” tegasnya.

Celtus Jabun

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here