Ikatan Dosen Katolik Indonesia (IKDKI): Mengepakkan Sayap Menuju Cita-cita

38
1. Agustinus Purna Irawan (HIDUP/Katharina Reny Lestari)
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – SAAT usianya masih seumur jagung, Ikatan Dosen Katolik Indonesia (IKDKI) harus menghadapi tantangan berat. Sekitar empat bulan setelah berdiri, pandemi Covid-19 melanda negeri ini. Semua lini kehidupan tergangggu. Dampaknya terasa sangat signifikan. Tak ayal, berbagai kegiatan yang telah dirancang tak dapat berjalan lancar. “Kami tiarap semua. Kami tidak bisa melakukan kegiatan secara offline,” ujar Ketua Umum IKDKI, Prof. Agustinus Purna Irawan.

Seiring berjalannya waktu, IKDKI mulai bangkit perlahan-lahan. Kegiatan luring menjadi satu-satunya pilihan saat itu. Dengan memaksimalkan tugas pokok dan fungsi koordinator wilayah yang ada dalam struktur kepengurusan – selain dewan penasihat, pengurus inti, dan penanggung jawab bidang, kegiatan luring seperti rapat, diskusi, dan seminar dapat berjalan baik meski cakupannya masih sangat terbatas. “Dinamika kami menyesuaikan kondisi,” imbuhnya.

Awal Mula

        IKDKI lahir dari seminar tahunan Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Jakarta (Komdik KAJ) yang digelar pada tanggal 23 November 2019. Sekitar 200 dosen Katolik yang berkarya di wilayah KAJ menghadiri program bertema “Profesionalitas Dosen Katolik di Era 4.0” ini. Beberapa orang hadir sebagai pembicara, salah satunya Agustinus, yang telah menjabat sebagai rektor Universitas Tarumanagara, Jakarta Barat, sejak tahun 2016. Ia berbicara tentang kedosenan.

Dari program yang juga dihadiri Moderator Pastoral Mahasiswa KAJ Unit Selatan, Pastor Ignatius Swasono, SJ tersebut muncul sebuah keprihatinan. Ternyata hanya ada segelintir dosen Katolik yang menyandang gelar Doktor dan Profesor. Sebagian besar masih lulusan S2. “Kalau situasinya seperti ini, kasihan lembaga dan dosennya, karena kualifikasi dosen sekarang tinggi untuk memenuhi permintaan pemerintah,” kata Agustinus, yang akrab disapa Prof. API.

Tak lama kemudian, para dosen Katolik tersebut mengadakan pertemuan lanjutan. Bahkan lebih dari satu kali. Sampai pada satu keputusan, mereka sepakat membentuk sebuah paguyuban dosen Katolik. Prof. Api pun terpilih sebagai ketua, yang kemudian menetapkan IKDKI sebagai nama paguyuban.

Di bawah kepemimpinannya, IKDKI membentuk struktur kepengurusan dan merumuskan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) serta menetapkan visi-misi, logo, dan tagline. Dalam struktur kepengurusan, dewan penasihat beranggotakan empat orang, yakni Bruder Heribertus Sumarjo, FIC; Pastor Gandhi Hartono, SJ; Pastor Swasono; dan Adrianus Meliala, yang juga menyandang gelar Profesor. Sementara pengurus inti, selain Prof. API, adalah Silverius Y. Soeharso (Wakil Ketua); Ferry Doringin (Sekretaris Jenderal); Mari Irawati (Bendahara Umum); dan M.F. Christiningrum (Wakil Bendahara Umum). Sekretaris Jenderal sendiri memiliki empat anggota: Simon Wenehen, Dominikus Agus Goenawan, Gaudensia Diana, dan Yasinta Indrianti.

Terkait akronim nama paguyuban, tiga huruf merujuk pada nama ibu kota negara. “Karena kami mulai di Jakarta, (Provinsi) DKI. Saya bilang (kepada teman-teman), kita start di DKI dengan difasilitasi oleh Komdik KAJ,” kata Prof. API. “Yang menemukan tagline ‘Mumpuni dan Melayani’ juga saya. Dalam rapat saya katakan, pertama, kita harus mumpuni sebagai dosen. Tapi karena ini bagian dari Gereja, maka pelayanan.”

Setelah terbentuk, para pengurus melaporkan eksistensi IKDKI kepada Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo, pada tanggal 20 Januari 2020. Saat itu Kardinal Suharyo menyarankan agar paguyuban ini terus mengadakan kegiatan.

Logo dan Visi-Misi

        Seperti komunitas pada umumnya, IKDKI memiliki sebuah logo. Logo ini menggambarkan profil dosen yang 100% Katolik, 100% Indonesia. Ada tiga siluet manusia (satu berwarna merah, dua berwarna biru), termasuk satu siluet manusia bertoga, dan buku terbuka dengan lima halaman (berwarna merah). Di bawah logo terdapat tulisan “Ikatan Dosen Katolik Indonesia” (berwarna hitam) dan “Mumpuni dan Melayani” (berwarna merah).

Menurut Prof. API, angka tiga melambangkan Tritunggal Mahakudus, dan toga melambangkan ilmu. “Untuk kata ‘Mumpuni dan Melayani,’ kami harus menjadi orang yang mumpuni supaya bisa melayani dengan baik. Dosen, kata Romo Swasono, adalah formator akhir sebelum sarjana masuk ke dunia profesi. Jadi bagaimana membentuk mereka menjadi orang yang mumpuni. Dosen juga harus mumpuni kalau mau membuat mereka mumpuni,” ungkapnya.

Selain itu, angka tiga juga melambangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sementara buku terbuka dan lima halaman masing-masing melambangkan semangat untuk terus belajar dan dasar negara, Pancasila.

Mgr. Antonius Subianto Bunjamin OSC (tengah/mengenakan solideo) berfoto bersama para pengurus dan anggota IKDKI. (Dok IKDKI)

 

Sesuai tagline, IKDKI menetapkan “menjadi dosen Katolik Indonesia yang mumpuni dan melayani” sebagai visinya. Sedangkan misinya mencakup tiga poin, yakni meningkatkan kualitas dosen Katolik sebagai pendidik profesional dan ilmuwan; menyelenggarakan kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam semangat Injili; dan meningkatkan kesejahteraan dosen Katolik dalam semangat berbagi.

Legalitas

Awal tahun ini, menapaki usia lima tahun, IKDKI memperoleh status badan hukum setelah melalui proses panjang sejak tahun lalu. Pengurusan status badan hukum ini berdasarkan pada rekomendasi dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama Republik Indonesia (Ditjen Bimas Katolik Kemenag). “SK-nya kalau tidak salah tanggal 22 Januari 2024. Ada lembaran negara keluar tanggal 13 Maret 2024,” ujar Prof. API.

Sebelumnya, pada September tahun lalu, para pengurus IKDKI bertemu Ketua KWI, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC. Pada pertemuan ini, Prof. Agus menceritakan tentang kondisi para dosen Katolik di Indonesia. Misalnya, gaji mereka masih rendah dan mereka tidak memiliki pembina. Menanggapi hal ini, prelatus – yang juga Uskup Bandung – itu memberikan dukungan. “Maka ketika kami minta rekomendasi, langsung diberi,” kenangnya.

Status badan hukum menjadi hal penting bagi IKDKI. Menurut Prof. Agus, banyak dosen Katolik cenderung menanyakan hal ini ketika mereka diminta terlibat dalam suatu kegiatan tertentu. Selain itu, sebelum sah menjadi sebuah organisasi, semua dana sumbangan masuk ke rekening pribadi pengurus. Satu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan. “Sekarang kami jadi leluasa,” imbuhnya.

Berbekal status badan hukum ini, IKDKI ingin menjaring lebih banyak dosen Katolik dari seluruh penjuru negeri mengingat saat ini jumlah dosen yang menyandang gelar Profesor dari hampir 1.000 anggota masih sangat rendah, sekitar lima persen. Selain itu, organisasi ini ingin memperkuat eksistensinya dengan melakukan branding secara meluas. Harapannya, IKDKI dapat menjadi partner berbagai komunitas dan lembaga donor. “Jadi kami punya kontribusi yang lebih luas,” ujarnya.

Dan satu cita-cita besar ingin digapai. “Menjadi kelompok dosen atau perkumpulan dosen yang bisa menjadi think tank Gereja. Karena kami ada di perguruan tinggi dengan segala macam bidang keilmuan. Saya pikir kata ‘mumpuni’ yang harus ditunjukkan, dan bagaimana kami bijak memberikan pemikiran kami kepada Gereja,” pungkas Prof. API.

Katharina Reny Lestari

 Majalah HIDUP, Edisi No. 15, Tahun Ke-78, Minggu, 14 April 2024

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here