Mempelai dari Karnaval

30
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Dadaku seakan bergemuruh tatkala aku meninggalkan ruang pemimpin biara. Lekas kututup daun pintu di ruangan itu tanpa menakar suara yang ditimbulkannya. Mendadak aku tidak peduli. Kekesalan terlanjur mewarnai bilik hatiku. Padahal selama setahun mendekam di biara kontemplatif ini, aku selalu berhati-hati setiap kali menutup pintu. Jangan sampai daun pintu terbanting hingga mengusik keheningan biara. Tidak demikian kali ini. Bunyi pintu yang keras laksana lahar katarsisku.

Baru saja pemimpin biara mengungkapkan bahwa aku tidak bisa lanjut di tempat ini. “Stefa, kehidupan biara tidak cocok bagimu,” beber Suster Anselma terus terang.

“Kau lebih cocok menjadi wanita karier daripada menjadi biarawati kontemplatif. Kau akan menderita jika terlalu lama berada di tempat ini,” lanjut Suster Anselma, seakan tidak mengindahkan perasaanku. Kalimat-kalimat berikutnya masih berloncatan dari mulut biarawati separuh baya itu. Namun, aku tidak membiarkan ucapan itu menghantam perasaanku.

Ketika ia mempersilakan aku beranjak dari ruangannya, serta-merta aku pergi tanpa mengeluarkan sepenggal pun basa-basi. Bagaimanapun, penolakan mengguratkan luka di hati. Ada jejak perih menyertai.

Langkahku gontai menelusuri selasar biara. Sementara mentari baru saja tergelincir dari punggung langit. Kutatap cahayanya yang jingga, seakan menyulut semangat baru di simpang panggilan hidupku. Dengan selarik semangat yang tersisa, kulintasi pekarangan berpagar pohon melati yang menghampar luas di area biara.

Meski dianggap tidak cocok dengan corak hidup membiara, sesungguhnya aku mulai melebur dengan suasana setempat. Aku kerap termenung di pekarangan asri ini, sembari melontarkan tanya kepada Sang Gusti, “Apakah tempat ini cocok bagiku?”

Setahun ini aku hidup dalam keberserahan. “Tuhan saja yang memimpin hidupku!” tekadku. Di biara kontemplatif ini pula kuredam emosiku hingga lurus dan teratur, nyaris tiada gelombang dan gejolak lagi. Kusampirkan pula ambisiku yang nyaris padam. Tiada lagi keinginan apa pun di hati. Bukankah keinginan justru kerap menjadi pangkal penderitaan?

Namun, aku tidak bisa menilai sosokku sendirian. Kacamata orang lain tentu akan melihat lebih tajam. Bisa jadi, Sang Pencipta memakai mulut pemimpin biara itu untuk menyadarkan, bahwa aku tidak cocok menghuni biara. Kendati tetap ada sesal menggunduk di dadaku.

***

Delapan belas purnama sebelumnya…

Aku tiba di sebuah pertapaan di Jawa Tengah. Malam belum larut benar. Jarum jam tengah berjingkat-jingkat menuju angka delapan. Kapel temaram. Hanya seberkas cahaya lampu di luar ruangan merayap-rayap masuk. Dalam keremangan, kulihat arca Bunda Maria mendekap bayinya. Di seputar altar, sekelompok insan mengidungkan syair “Salam Ya Ratu” diiringi alunan gending.

Kidung dipungkasi syahdu. Seketika kesenyapan menebar. Suasana membeku sesaat sekelompok rubiah beringsut ke klausura masing-masing. Mereka hendak melepas penat dalam lelap. Keyakinanku mencuat bahwa kedamaian berdaulat di dalam jiwa pertapa-pertapa perempuan itu. Mereka sengaja beranjak dari kegaduhan dunia, menjauhi gemerlap kepalsuan yang justru diburu oleh banyak manusia modern. Sebuah panggilan Tuhan yang semula terasa samar.

Selain para rubiah, ada belasan tamu yang keluar dari kapel setelah sejenak mereka meneruskan doa. Sementara aku memilih bertahan. Kucoba mengosongkan benak sesaat. Bertahun-tahun cakram otakku tiada henti berpikir; selalu ada pikiran yang sanggup menyelinap bahkan tatkala aku terbenam dalam kantuk. Pikiran-pikiran itu kerap masih hadir di dalam mimpi-mimpiku, menunjukkan kebenaran kodrati yang tak mungkin direka-reka.

Di lereng gunung yang tenang ini, aku sanggup menepis pikiran-pikiranku yang liar. Sementara tatapanku menembus belantara kegelapan. Sejurus berselang, tiada jeda kudaraskan nama Sang Khalik. Lambat-laun aura kedamaian membasuh jiwaku yang sekian lama penat.

Hening berlanjut. Aku melumat sebuah pengalaman unik saat melebur dalam lingkungan pertapaan. Aku menghayati kondisi meditatif ini dengan kesadaran nyaris purna. Corak hidup kontemplatif ini laksana mengisap jiwaku. Tubuhku homeostatis, produksi hormon melatonin dan endorfin yang menentramkan melesat tajam.

Aku ingin menapaki gerbang kehidupan yang berbeda. Sebelum tersungkur di peraduan, kusambangi beranda pertapaan. Bola keemasan tampak bertengger di ubun-ubun langit. Lesat cahayanya bagai terentang di cakrawala, sementara hawa dingin pegunungan menusuk-nusuk iga dan belikatku. Bibirku terasa kering tersapu desir angin malam. Aku sungguh ingin menyerap kedamaian di tempat ini, yang selama ini tidak berhasil kujumpai dalam keseharian yang sibuk. Sebuah rahmat mengepungku…

***

Kini, aku telah beranjak dari biara. Kubiarkan keyakinanku merimbun; sejatinya menjadi biarawati bukanlah panggilan hidupku. Biarlah kini perasaanku mengalir, menguntit waktu yang tiada lelah bergulir…

Sepekan ini, kubiarkan benakku lengang. Suasana meditatif masih kuusung dari biara. Kutelusuri lorong-lorong sepi di dalam hidupku, tanpa bisa kuterka apa yang bakal kujumpai di ujung sana. Sebelum kutetapkan langkah selanjutnya, kuingin melebur dalam suasana ini. Kubiarkan perjalanan hening ini sebagai perjalananku menjadi diri sendiri.

Senja kembali menorehkan jejaknya tatkala aku tengah tepekur di teras rumah orang tuaku. Kulumat kesenyapan ini dengan damai. Tiba-tiba, ponselku bergetar. Ada direct message Instagram  masuk. Entah mengapa, ekor mataku tergoda meliriknya.

“Halo Stefa. Do you remember me?”

Kucermati Profile Picture pengirim teks itu. Oh, teman semasa Taman Kanak-kanak. “Wah, sekarang dia tampan,” batinku.

Lekas kubalas teks itu. “Halo, Aldo.”

“Masih ingatkah kamu, kita pernah menjadi pengantin dalam sebuah karnaval di TK?” tanyanya.

“Ingatlah,” sahutku sembari tersenyum.

“Guru-guru tertawa ketika kubilang, ‘Nanti aku dan Stefa akan jadi pengantin’,” lanjutnya.

Kubalas teks itu dengan sederet emoticon tawa.

Kebekuan meleleh setelah aku dan Aldo saling bertukar nomor ponsel. Terlebih, setelah tahu, aku dan dia sama-sama masih lajang. Sekian waktu kami tak terhubung. Entah, kekuatan apa yang mendorongnya untuk menghubungi aku? Bukankah pertemanan semasa kanak-kanak kerap tersepak oleh waktu? Pertemanan di kala bocah sering menjadi kisah usang, yang hanya tersimpan di album foto yang lapuk termakan waktu.

Pada akhirnya jalan hidup kembali mempertemukan aku dan dia dalam realitas.  “Jangan-jangan, kamu memang mempelaiku seperti kubilang waktu TK,” ujar Aldo sembari mengumbar tawa dalam kencan pertama.

“Mengapa baru sekarang kamu mencari aku?” tanyaku tersipu.

“Ini misteri. Tiba-tiba, ada dorongan yang kuat di hatiku untuk mencari mempelaiku semasa TK,” bebernya dengan mimik serius. Sementara aku tak kuasa menyimpan pendar sukacita  yang memantul dari ruang hatiku yang tak lagi senyap.

Pada perjumpaan itu, kau menatap dalam mataku, seakan hendak menyelami dasar hatiku. Setelah masing-masing berkelana dalam labirin ketidakpastian hidup, akhirnya relasi aku dan dia terpilin.

Sementara itu, burung-burung mulai kembali ke sarangnya. Bayangan pohon-pohon kelapa gading yang semula rebah di ruas jalan di depan kediaman orang tuaku, perlahan sirna terhapus oleh petang yang keburu datang. Pada saat itulah, aku dan kau sepakat untuk menjadi sepasang mempelai. Bukan di karnaval tetapi di pentas kehidupan.

Oleh Maria Etty

Majalah HIDUP, Edisi No. 15, Tahun Ke-78, Minggu, 14 April 2024

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here