Keprihatinan Uskup Semoga Menjadi Keprihatinan Kita Bersama

570
Kondisi gedung SMP St. Mikhael (Foto: Fidensius Gunawan)
5/5 - (6 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – KITA sering dengar bagaimana sekolah-sekolah berusaha agar anak didik dapat lancar berbahasa Inggris. Ada yang menentukan, pada hari tertentu siswa harus berbincang dengan siapapun, entah dengan guru atau sesama teman menggunakan Bahasa Inggris. Ada pula yang mewajibkan selama di sekolah harus bercakap dalam bahasa internasional ini. Hal yang mirip  saya dengar terjadi di pedalaman Kalimantan. Bedanya bukan Bahasa Inggris melainkan Bahasa Indonesia. Jujur saya terhenyak mendengar kenyataan ini.

Kunjungan tiga hari ke Kalimantan Barat, tepatnya Paroki Simpang Dua Keuskupan Ketapang, membuka mata saya akan bagaimana kurangnya pendidikan di sana. Awalnya kami memperoleh cerita dari para Suster PIJ dan kepala SMP St. Mikael, Simpang Dua. Mereka yang berkarya di dunia pendidikan di pedalaman ini akan sangat bersyukur bila berhasil mengantar anak-anak lulus SMP. Ada banyak peristiwa, anak tidak melanjutkan sekolah dengan berbagai alasan. Yang utama adalah kurangnya motivasi anak-anak untuk memperoleh pendidikan yang baik dan berkelanjutan. Yang berikutnya, kurangnya dorongan dari orang tua siswa.

Pagi itu, sehari sebelum Minggu Palma, kami bertamu di Pastoran Simpang Dua, hendak bertemu dengan Romo Budi, selaku kepala paroki. Ternyata sedang ada tamu, yakni Romo Julius Blasius Fitri Gutanto. Ia ketua Yayasan Usaha Baik (Usaba), yayasan pendidikan di bawah Keuskupan Ketapang. Usaba mengelola 13 unit sekolah mulai dari PAUD-TK, SD, dan SMP. Sekolah-sekolah ini tersebar di beberapa paroki. Jadilah kami bincang-bincang bersama khususnya terkait dunia pendidikan di Keuskupan Ketapang ini. Romo Fitri memperkuat kisah di atas. Tidak hanya mentalitas anak-anak yang kurang, guru-guru juga banyak yang tidak disiplin. Bahkan ada terjadi guru hanya muncul pertama kali di awal semester untuk perkenalan, lalu muncul kedua kali menjelang akhir semester untuk memberi ujian. Miris. Untungnya ini bukan kasus di sekolah naungan Yayasan Usaba yang dipimpinnya.

Toilet terlantar (Foto: Fidensius Gunawan)

Masalah lain adalah kurangnya dana. Uang sekolah yang terkumpul dari orang tua anak didik bahkan tidak cukup untuk membiayai 50% biaya operasional sekolah-sekolah. Hanya karena kebesaran dan kuasa kasih Tuhan saja, Yayasan Usaba masih terus dapat berkarya sejak berdiri tahun 1952. Maka tak heran, yayasan hampir tidak mampu menyediakan dana untuk merawat atau memperbaiki segala kerusakan gedung sekolah. Mereka menunggu turunnya bantuan pemerintah daerah, yang tentunya tidak terlalu mudah. Perlu waktu bertahun-tahun sebelum akhirnya disetujui dan dana turun.

Pertemuan dengan pihak-pihak yang prihatin akan pendidikan anak-anak pedalaman ternyata berlanjut. Siang menjelang sore hari itu, Tuhan mengizinkan kami bertemu dengan Mgr. Pius Riana Prapdi, Uskup Ketapang.

Pertemuan tanpa rencana di meja makan dalam Pastoran Balai Semandang ini, diiringi perbincangan Bapak Uskup dengan beberapa tamu selain dengan Romo Fitri dan Romo Benyamin selaku tuan rumah. Sungguh menunjukkan keseriusan Bapak Uskup yang menginginkan kemajuan pendidikan anak-anak. Ia sedang mengajak dua orang dosen Universitas Sanata  Dharma, Yogyakarta keliling beberapa paroki. Paroki Balai Semandang menjadi paroki terakhir, setelah berkeliling selama beberapa hari. Ia sangat antusias menyambut rencana USD mengirim mahasiswa untuk kuliah kerja nyata (KKN) di Keuskupan Ketapang. Ia berkisah saat ini baru Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang telah rutin mengirim para mahasiswa untuk KKN. Ia meyakini kehadiran mahasiswa dari Jawa ini akan membantu membuka wawasan anak-anak akan pentingnya pendidikan.

Bicara tentang pendidikan yang baik, tentu tak lepas dari ketersediaan prasarana, terutama gedung sekolah. Salah satu SMP dalam naungan Yayasan Usaba, yakni SMP St. Mikhael di paroki Simpang Dua, kondisinya sungguh memprihatinkan. Ada bagian di mana penutup plafon sudah membusuk dan siap ambruk. Ada tangga-tangga kayu yang sudah lapuk dan tidak lagi dapat diinjak karena sudah hilang pijakan anak tangganya. Ada  jendela  yang bolong karena kacanya pecah. Ada toilet yang dibiarkan membusuk, karena sudah lama tak lagi dapat digunakan. Dinding-dinding dari papan kayu yang sudah renggang. Tiang-tiang pondasi kayu yang sudah lapuk dan membahayakan (semua bangunan di sana berdiri di atas tiang kayu dan memiliki kolong).  Sungguh kondisi gedung yang tidak kondusif untuk mendukung proses belajar mengajar yang ideal.

Anak-anak masa depan Gereja. (Foto: Fidensius Gunawan)

Di SMP St. Mikhael inilah anak saya sekarang sedang berada. Ia bertekad menularkan dan berbagi semangat belajar kepada anak-anak masa depan Gereja selama tiga bulan ke depan. Tekad yang awalnya sulit bagi kami selaku orang tua untuk menerimanya. Ia melepas pekerjaannya di Jerman dan pulang ke negeri tercinta demi pergi masuk pedalaman Kalimantan Barat. Butuh enam jam perjalanan darat dari Pontianak. Harus menggunakan travel mobil MPV kecil yang sulit berharap memperoleh kenyamanan.

Mgr. Pius Riana Prapdi

Namun setelah ikut melihat sendiri kondisi sekolah dan mendengar dari banyak orang, khususnya dari Bapak Uskup, saya kini sepenuhnya mendukung niat baik anak saya ini. Tuhan memberkatinya. Semoga banyak anak-anak yang termotivasi untuk tekun belajar. Tidak hanya lulus SMP, namun terus melanjutkan hingga tingkat sarjana. Tuhan juga yang akan menggerakkan banyak orang untuk mengirim dana guna perbaikan gedung sekolah. Semoga perlahan tapi pasti gedung sekolah dapat diperbaiki untuk menunjang proses belajar yang baik. Berharaplah dan andalkanlah Tuhan Yesus dalam setiap langkah.

Fidensius Gunawan dari Ketapang, Kalbar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here