Christianto Harsadi : Potret Hidup Fotografer Disabilitas

310
Christianto Harsadi.
[NN/Dok.Pribadi]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Kerap dikecilkan karena keterbatasan fisiknya. Christianto Harsadi membuktikan bahwa fotografi adalah cara tepat mengabadikan kehidupan riil.

Banyak orang bisa menulis, tapi sedikit yang bisa mengarang. Banyak orang yang bisa motret, tapi jarang yang bisa membuat foto yang bercerita. Fotografi adalah salah satu media untuk bercerita yang sangat baik. “Seringkali, fotografi yang baik dapat menggugah perasaan dibandingkan dengan tulisan semata”, demikian komentar Justin Mott, seorang fotografer professional yang telah malang melintang di dunia fotografi saat menjawab pertanyaan wartawan ketika diwawancarai soal makna fotografi bagi dirinya.

Terinspirasi dari Justin, Christianto Harsadi ingin menjadi fotografer terkenal. Awal ketertarikannya ketika mengikuti study tour bersama siswa-siswi IX SMP Fransiskus Semarang tahun 2008. Dalam perkumpulan tersebut, seorang teman berhasil mengabadikan momen Christianto bersama teman-temannya. Sebelumnya, Christianto juga memotret di tempat yang sama. Namun, temannya berkomentar bahwa fotonya kurang bagus.

“Giliran teman yang memotret menggunakan kamera poket saya, hasil fotonya lebih bagus dari saya. Saat itu saya bertekad untuk membuat momen indah menjadi lebih bagus melalui foto agar semua orang tersenyum bahagia. Saya menyadari bahwa foto hasil jepretan teman itu mengubah hidup saya karena momen indah tidak pernah terlupakan dalam hidup saya,” ungkapnya.

Foto Kehidupan
Bukan saja Justin yang menjadi inspirasinya. Anto, demikian sapaan akrabnya mengatakan ia juga tertarik dengan karya-karya Ebbie Vebri Adrian, Tate Tullier, dan Darwis Triadi. Cita-cita menjadi fotografer ini baru terwujud tahun 2013 ketika mengambil kuliah fotografi dan jurusan Desain Visual di Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Kala itu ia memiliki kamera DSLR baru, Canon EOS 1100D. Anto merasa bila fotografi hanya sekadar mengisi waktu luang, maka percuma saja. Hasil karya estetik itu harus diapresiasi, dinilai oleh orang lain. Tidak ada hasil karya yang mendunia karena dikagumi diri sendiri. Karena itu, Anto pun memberanikan diri mengikuti kompetisi foto. Misal, terlibat dalam Canon Photomarathon dimana ia belajar fotografer professional.

Perjuangan ini, bukan dengan mudah didapatkan oleh Anto. Sebagai anak yang lahir dengan keterbatasan mendengar (tuna rungu), Anto kerap disisihkan dalam pergaulan. Anto bercerita, ketika pindah ke sekolah umum dari SMP Sekolah Luar Biasa (SLB) Semarang, kehadiran Anto kerap tidak dianggap. Di SMP Fransiskus sekalipun, ia kerap mengalami hambatan karena agak susah beradaptasi dengan lingkungan sekolah barunya. Ia susah berkomunikasi, mencatat pelajaran di buku, dan tidak bisa bermain musik. Anto pernah dibully teman-teman kelas yang lain. “Saya hampir mau kembali ke SLB lagi karena tidak tahan diperlakukan secara tidak manusiawi oleh teman-teman saya,” ungkapnya.

Untung bagi Anto karena masih mendapatkan dukungan dari orang tuanya. Lewat dukungan dan kerja keras, perhatian dan dedikasi orang tuanya, Anto bisa keluar dari masa sulit dan membuktikan diri sebagai orang yang tidak terbelenggu dengan keterbatasan fisiknya. Anto menjadi pribadi yang tidak mudah cengeng dan tidak ingin dikasihani. Ia membuktikan diri bahwa keterbatasan fisik tidak menjadi alasan meraih cita-cita sebagai fotografer.

Dalam dunia fotografi, Anto mengabadikan obyek berupa foto prewedding, portrait, dokumentasi, dan produk. Namun, karena ia merupakan instruktur atau mentor, maka ia memacu diri untuk bisa menguasai semua genre fotografi. Tahun 2016, Anto pernah terlibat sebagai kontestan fotografi disabilitas pertama dalam sejarah Photo Face Off (PFO). “Saya menjadi salah satu peserta dari lima negara yang mengikuti kompetisi fotografi terakbar se-Asia melalui reality show bertajuk Photo Face-Off, History Channel,” ungkapnya.

Pria kelahiran Pontianak, 2 Desember 1991 ini menambahkan, PFO menguji kemampuan teknis dan pengetahuan fotografi antara fotografer profesional dengan fotografer amatir melalui kompetisi fotografi itu. Seorang fotografer profesional top dunia, Justin Mott, harus menghadapi tiga peserta terpilih yang mewakili negara Asia masing-masing seperti Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Indonesia. Setiap peserta diharuskan mendapat foto terbaik dalam batas waktu yang diberikan dan akan dinilai oleh beberapa juri untuk membuktikan apakah foto dari fotografer amatir lebih baik dari Justin Mott. “Kemudian satu peserta yang lolos akan mengikuti babak final untuk bersaing dengan fotografer amatir lain dari negara Asia pada babak final dan akan dinilai oleh Justin Mott bersama juri lain,” cerita Anto.

Menemukan Passion
Awal ketertarikan mengikuti PFO ketika menonton season pertama acara tersebut di televisi. Anto baru bisa mengikuti sesi PFO kedua tetapi sayangnya ia tak lolos. Tetapi Anto tak pernah patah semangat. Tahun berikutnya, ia kembali mengikuti audisi PFO season tiga. Mimpinya pun menjadi kenyataan. Anto diberi kesempatan sebagai fotografer disabilitas mewakili Indonesia bersama dua kontestan non-disabilitas lain.

“Yang paling menyemangati saya adalah saya bisa meraih mimpi setelah gagal audisi dan merasakan keseruan tantangan dalam PFO. Meski waktu itu saya dieliminasi pada babak tantangan pertama, saya tetap bangga telah mencatatkan sejarah PFO sebagai kontestan fotografer tuli pertama,” ungkapnya.

Sebagai kontestan tuli, ia tidak merasa minder. Anto lebih senang dipanggil orang yang tuli ketimbang tuna rungu. Ketika bertemu sesama professional fotografi lainnya, Anto selalu mengatakan dirinya orang tuli. “Di situ saya menyadari, bahwa di balik pengalaman hidup itu, saya harus mendedikasikan karya bagi orang lain sama seperti Yesus Kristus mendedikasikan diri bagi umat-Nya melalui karya mukjizat dan ajaran-Nya,” tutur Anto.

Ia pun memutuskan untuk menjadi fotografer profesional dan mengajar fotografi untuk teman-teman tuli dan disabilitas lain di Indonesia dalam rangka bersaing dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Menurut Anto, Indonesia cukup tertinggal dari negara lain dalam hal persaingan ekonomi kreatif. Ia merefleksikan, “Mencari jati diri sebagai fotografer itu perjalanan cukup panjang dan berliku-liku, tetapi Yesus telah mengajarkan banyak hal tentang jati diri. Mencari jati diri itu dimulai dari kepercayaan dan ketekunan dalam berkarya.”

Pengembangan dirinya dalam dunia fotografi tidak ia lakoni sendiri. Ia juga banyak belajar dan bekerjasama dengan Clara Vania Puspita dan Tim Cinnamon Equal Photography. Darwis Triadi adalah gurunya karena ia memperoleh beasiswa Darwis Triadi School of Photography, hadiah kompetisi foto yang ia ikuti.

Perjuangan yang Anto jalani tidaklah mudah. Ia mencoba dengan jernih menangkap tantangan sebagai peluang. Ia belajar dan berjuang dengan mengadvokasi isu disabilitas melalui fotografi karena hak-hak disabilitas belum terpenuhi. Misal, ketika Jakarta Barrier Free Tourist membutuhkannya sebagai fotografer untuk mendokumentasikan kegiatan sosialisasi penggunaan fasilitas publik dan transportasi bagi disabilitas kepada masyarakat umum. Hasil fotonya dijadikan sebagai bahan presentasi di hadapan pejabat pemerintah dan beberapa pihak yang terlibat. “Kebetulan saya fotografer tuli dan sudah lama mengenal dunia disabilitas jadi lebih paham membuat foto seperti apa. Kalau fotografer umum tidak akan bisa membuat foto seperti itu, bahkan bisa salah menafsirkan makna foto,” imbuhnya.

Selain itu, kendala terbesar baginya adalah profesionalisme. Baginya, pekerjaan seorang fotografer itu memang tidak mudah tetapi akan terasa ringan bila tekun dan banyak belajar. Ia terus belajar bagaimana melayani klien dan mengatur tim kerja agar pekerjaan dapat dituntaskan secara profesional. Pengalamannya saat mengikuti PFO menjadi cambuk baginya. Ia menuturkan, “Justin Mott pernah bilang bahwa saya dieliminasi karena melakukan kesalahan fatal dalam teknis fotografi dan waktu. Justin Mott bisa mengajarkan saya teknis foto dan pengetahuan fotografi tetapi dia tidak bisa mengajarkan saya passion pada fotografi yang sangat besar.”

Dalam setiap karya yang ia jalani, ia senantiasa menjadikan dirinya sebagai hamba yang mengikuti kehendak Tuhan dan menimba semangat dari Kitab Suci, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Lukas 1:38).

Christianto Harsadi

Lahir : Pontianak, 2 Desember 1991

Pendidikan:
. SLB Widya Bhakti (1997-2006)
. SMP Fransiskus (2006-2009)
. SMK Antonius (2009-2012)
. Universitas Dian Nuswantoro (2012-2017)

Organisasi dan Prestasi:
. Pelayanan Kerasulan Keluarga Mahasiswa Katolik (PKKMK) Udinus
. Gerakan Kesejahteraan untuk Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) Kota Semarang
. Kontestan fotografer difabel pertama dalam sejarah Photo Face-Off
. Juri Lomba Foto khusus Difabel pertama di Indonesia, (Bandung, 2017)
. Juara I Lomba Foto “Tepang Inklusi” (Bandung, 2017)
. Juara III Lomba Foto Model “Be Creathographer with Anji” (Bandung, 2018)

Fr. Nicolaus Heru Andrianto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here