Bagaimana Jika Pengantar Misa Terlalu Panjang?

806
Ilustrasi Pengantar Misa
[Dok. HIDUP]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Ada umat membisiki rekannya: ”Ini baru homili jilid satu, bagaimana nanti jilid duanya?!” Ia tergelitik mengomentari imam yang sedang bersemangat menjelaskan ”tema” Misa saat itu: bla bla bla… Reaksi yang wajar, ketika suatu pengantar sudah dirasa menjemukan. Semoga bukanlah awal yang buruk, dan tidak menjanjikan akhir perayaan yang mengecewakan.

Isi dan durasi

Alinea kedua dari PUMR 50 menyebutkan: ”Setelah imam menyampaikan salam kepada umat, imam, atau diakon, atau pelayan awam, dapat memberikan pengantar sangat singkat kepada umat tentang Misa yang dirayakan.” Dalam Missale Romanum, bagian ini tak diberi nama. Rubriknya dicantumkan sebelum bagian ”pernyataan tobat”. Namun, dalam PUMR terbaru dijelaskan dalam bagian ”salam kepada altar dan umat” (49-50).

Bagian yang biasa disebut pengantar (kata pengantar, kata pembuka) ini adalah salah satu unsur baru dalam sejarah perkembangan Tata Perayaan Ekaristi (Ordo Missae). Kata dapat [memberikan] dalam penjelasan itu menunjukkan bahwa pengantar bukanlah keharusan. Sebelum Misa sebaiknya pemimpin sudah memutuskan perlu atau tidak unsur itu diadakan.

Apa yang disampaikan? Pada dasarnya tentang Misa yang sedang dirayakan. Bisa diisi beberapa kemungkinan: tentang misteri perayaan, hari raya/pesta/peringatan khusus, inti bacaan Kitab Suci, atau ujud/intensi Misa. Bahkan antifon pembuka yang tersedia dalam buku Missale Romanum untuk Misa saat itu boleh digubah menjadi pengantar (48).

Durasinya pun sudah dibatasi: sangat singkat! Namun, tentu tidak dirinci dalam hitungan waktu detik atau menit. Pembatasan ini dimaksudkan untuk mengatur laju dinamika perayaan. Jangan sampai energi sudah terkuras dan konsentrasi perayaan menjadi kurang terfokus lantaran terjebak dalam proses ritual awal yang kurang proporsional. Sebuah pengantar tentu tidak boleh mengalahkan bagian yang lebih penting, yakni yang diberi pengantar.

Peluang serupa sebenarnya juga tersedia pada bagian lain dalam Misa, tak hanya pada Ritus Pembuka ini. Imam pun ”dapat memberikan pengantar sangat singkat … pada Liturgi Sabda sebelum bacaan-bacaan; pada Liturgi Ekaristi sebelum prefasi, tetapi tidak pernah dalam Doa Syukur Agung sendiri; dan pada Ritus Penutup sebelum pengutusan” (31). Semuanya diharapkan tidak berupa pengantar yang berkepanjangan, sehingga menjadi homili berjilid-jilid.

Pelaku dan tempatnya

Siapa yang boleh melakukan? Sudah jelas juga: ”… imam, atau diakon, atau pelayan awam, dapat memberikan pengantar sangat singkat.” Tentu, pemimpin perayaan atau imamlah pelayan utamanya. Ia berwenang dan bertanggung jawab, namun dapat menugaskan diakon atau awam untuk menggantikannya.

PUMR edisi 1975 pernah menyebut pelayan lain yang layak (alius minister idoneus). Edisi terbaru (2002) menegaskan keterlibatan pelayan awam (minister laicus). Inilah upaya untuk menunjukkan lagi pola pembedaan yang tegas antara kaum tertahbis dengan kaum awam.

Keduanya bisa bertugas tentang atau pada bagian yang sama, tanpa mengaburkan status dan peran masing-masing. Maka, pelaku melaksanakan tugas itu di tempat yang sesuai dengan statusnya, tempat yang berbeda. Imam atau diakon dapat melakukannya di depan kursi masing-masing. Sementara seorang pelayan awam yang ditugasi mengambil tempat lain yang bisa dilihat umat, asalkan bukan di mimbar Sabda.

Kadang kala untuk suatu Misa istimewa atau kelompok khusus terbukalah peluang kreatif. Pelakunya tidak hanya satu orang, bahkan bentuk dan tempatnya pun bisa bervariasi. Konsekuensinya, mungkin dibutuhkan waktu yang tidak sangat singkat lagi, namun tetap harus diusahakan proporsional.

Christophorus H. Suryanugraha OSC

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here