TIGA PENCERAHAN BARU DALAM TPE 2020

1818
TPE 2020 (kiri) dan TPE 2005. Foto diperagaka model (HIDUP/Yusti H. Wuarmanuk)
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – KEHADIRAN buku Tata Perayaan Ekaristi (TPE) 2020 tentu saja merupakan kabar sukacita bagi kita dan menjadi sejarah dalam liturgi Gereja Indonesia. TPE sebelumnya yakni TPE 1979 sudah lama tidak dipakai, dan TPE 2005 tidak akan dipakai lagi secara nasional di seluruh Indonesia pada tanggal 1 November 2021. TPE 2020 akan menjadi satu-satunya TPE yang digunakan dalam Misa Hari Raya Semua Orang Kudus tahun ini dan hari-hari selanjutnya di Indonesia.

Bagi mereka yang sudah mempelajari secara cukup dan siap untuk menggunakan buku TPE 2020 ini boleh saja menggunakannya sebelum tanggal 1 November 2021, sebagaimana disampaikan oleh Kardinal Ignatius Suharyo pada saat buku diperkenalkan. Buku ini telah di-launching dan diperkenalkan pada 7 Mei 2021 bersama Kardinal Suharyo (Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia/KWI), Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC (Sekjen KWI/Ketua Perkumpulan Rohani OBOR), dan Mgr. Petrus Boddeng Timang (Ketua Komisi Liturgi KWI). Pada kesempatan itu, Romo Yohanes Rusae, selaku Sekretaris Komisi Liturgi KWI menjelaskan secara ringkas gambaran umum TPE 2020 dan perbandingannya dengan TPE 2005.

Prinsip Mendekati Keaslian

Buku TPE edisi baru ini hadir di tengah-tengah umat setelah sekian lama melewati proses yang cukup panjang. Tim penerjemah yang dibentuk oleh Komisi Liturgi (Komlit) KWI telah bekerja seoptimal mungkin dengan proses yang tidak begitu singkat dan KWI telah mengesahkannya. Tentang kewenangan ini telah diatur oleh KHK khususnya Kan. 838 §3 yang menyatakan bahwa Konferensi Para Uskup dalam hal ini KWI bertugas mempersiapkan dan memberikan aprobasi terjemahan-terjemahan buku-buku liturgi ke dalam bahasa setempat, yang dengan setia dan secara wajar telah disesuaikan dengan batas-batas yang ditentukan, dan juga menerbitkan buku-buku liturgi untuk daerahnya setelah mendapatkan konfirmasi Tahta Apostolik.

Pada dasarnya tim penerjemah menggunakan prinsip ad litteram (secara harfiah) untuk menerjemahkan Missale Romanum (MR) 2008 versi bahasa Latin ke dalam bahasa Indonesia. Prinsip ad litteram adalah prinsip penerjemahan secara harfiah, kata per kata, kalimat per kalimat sesuai dengan teks asli. Prinsip ad litteram yang digunakan ini berdasarkan dokumen Liturgiam Authenticam (2021) terutama no 20-21 yang menuntut agar terjemahan lebih bersifat harfiah dan sedapat mungkin mempertahankan struktur dan tanda baca teks Latin, gaya dengan ungkapan simbolis asli teks Latin, istilah Latin, Yunani, atau Ibrani yang dipakai dalam Misa.

Apabila terjemahan ad litteram dirasa terlalu kaku, tidak lancar dan bahkan tidak dapat dimengerti, maka dipakai prinsip ad sensum (berdasarkan makna) yakni prinsip penerjemahan berdasarkan maksud dan makna teks asli sehingga kata-kata dalam teks asli diubah menjadi beberapa kata agar mudah dipahami dan dicerna sesuai dengan bahasa yang dipakai. Prinsip ad sensum, meskipun bukan dalam arti sepenuhnya, dapat digunakan berdasarkan dokumen Comme le prévoit (1969) yang menuntut terjemahan idiomatis dengan padanan dinamis atau terjemahan tidak harafiah dari naskah asli agar lebih mudah dipahami isi dan maknanya.

Ada istilah Italia yang mengatakan tradurre è tradire atau “menerjemahkan itu mengkhianati”, artinya dalam proses menerjemahkan teks, kita sering mengalami keterbatasan pada bahasa kita karena tidak menemukan kata yang sepadan dengan teks asli. Keterbatasan kosa kata, konteks, kultur, sejarah bahasa, makna kata, pemakaian kata dan lain-lain mau tidak mau menghasilkan terjemahan yang tidak sempurna. Oleh karena itu, prinsip ad appropinquantem (untuk mendekati) dapat digunakan yakni menerjemahkan teks Misa ke dalam bahasa yang dipakai dengan berusaha sedapat mungkin mendekati teks asli. Terjemahan Misa dari beberapa bahasa seperti Inggris, Italia, Prancis, dan lain-lain dijadikan pertimbangan dalam proses penerjemahan versi bahasa Indonesia.

Kesatuan dalam Gereja

Terlepas dari semua keterbatasan yang ada dalam TPE 2020, kita patut bersyukur karena melalui proses yang panjang: diskusi, perdebatan, perbedaan pendapat dari beberapa ahli, dan berbagai kekurangan lainnya, ada tiga pencerahan yang dapat kita cermati bersama-sama.

Pertama, TPE 2020 menampilkan kesatuan liturgi yang satu. Ada kesadaran untuk merayakan liturgi yang sama di seluruh Indonesia. Kita diajak untuk mewujudkan sacramentum unitatis (kesatuan sakramen) dalam liturgi yang sudah ditetapkan KWI. Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) no. 91 menegaskan bahwa Perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus dan Gereja sebagai “sakramen kesatuan,” yakni umat kudus yang berhimpun dan diatur di bawah para uskup. Oleh karena itu, perayaan Ekaristi berkaitan dengan seluruh Tubuh Gereja, mengungkapkan dan mempengaruhinya. Setiap orang yang turut merayakan Ekaristi mempunyai hak dan kewajiban untuk berpartisipasi secara aktif, masing-masing menurut cara yang sesuai dengan kedudukan dan tugasnya”.

Kedua, kalau dilihat secara utuh, TPE 2020 sudah sangat mendekati MR 2008 dan sangat Romawi, artinya sedapat mungkin TPE 2020 tidak menambahkan hal-hal yang yang tidak ada dalam MR 2008 dan tidak mengurangi hal-hal yang seharusnya ada. Tantangannya untuk kita para imam adalah agar merayakan Misa sesuai dengan TPE 2020 dan tidak mudah tergoda untuk membuat rumusan doa sendiri dan menghilangkan ritus-ritus yang ada di dalamnya. Kalau melihat perubahan dari TPE 2005 menjadi TPE 2020, maka kita akan menemukan banyaknya perubahan justru pada bagian imam selebran utamanya. Pada bagian umat sangat sedikit sehingga penyesuaian seharusnya dapat dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Ketiga, dengan munculnya TPE 2020 maka para imam diminta untuk mempelajari dengan sungguh baik secara pribadi maupun secara bersama-sama. Mudah-mudahan di setiap keuskupan ada sosialisasi yang digerakkan oleh Komisi Liturgi masing-masing keuskupan untuk mengingatkan kembali kita semua akan makna dan nilai dari setiap ritus yang kita rayakan. Tentu saja rubrik bukanlah hal yang paling utama tapi dengan mengikuti rubrik yang disediakan dalam TPE 2020, kita justru sangat terbantu untuk menghayati perayaan yang kita pimpin. Kesadaran untuk mendalami kembali makna ritus per ritus dalam TPE 2020 memungkinkan kita untuk membiasakan yang benar dan bukan membenarkan yang biasa.

Di akhir, sambil mempersiapkan diri untuk membaca, mendalami, dan mempelajari TPE 2020, mari kita merenungkan kata-kata Kardinal Ignatius Suharyo pada saat peluncuran buku TPE 2020 yang lalu: “Terjemahan, dibuat, dipersiapkan dalam waktu lama, supaya sungguh-sungguh dapat dirasa-rasakan, bukan sekadar dibacakan. Betul dalam bahasa Indonesia; tata bahasanya begini, tetapi juga dapat dirasakan. Dengan pengorbanan, pasti yang tidak sedikit, karena rasa bahasa kita, di Indonesia yang luas ini, kadang-kadang berbeda. Tetapi itulah pengorbanan, untuk mengungkapkan kesatuan kita di dalam Gereja, Gereja sedunia, Gereja Katolik Indonesia”.

Semoga dengan TPE 2020 ini, tujuan liturgi yang sesuai dengan Sacrosanctum Concilium no. 10 yakni glorificatio Dei (pemuliaan Allah) dan santificatio humanum (pengudusan manusia) sungguh dapat terjadi. Dengan demikian, per liturgiam ad Christum (melalui liturgi menuju Kristus) bukanlah sekadar seruan belaka karena liturgi sebagai sarana utama dapat menjadi perjumpaan yang nyata antara kita dengan Allah.

Pastor Riston Situmorang, OSC, Anggota Pengurus Komisi Liturgi KWI

HIDUP, Edisi No. 23, Tahun ke-75, Minggu, 6 Juni 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here