Sambut Tata Perayaan Ekaristi 2020 dengan Beberapa Catatan

1498
Ketua KWI, Ignatius Kardinal Suharyo (ketiga dari kanan) saat peluncuran TPE 2020 di Toko Rohani OBOR, Jakarta, pada Jumat, 7/5/2021. (Foto: Ist.)
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Buku Tata Perayaan Ekaristi (TPE 2020 merupakan buku liturgis produk terbaru dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Kehadirannya telah melewati proses penerjemahan yang cukup lama di bawah koordinasi Komisi Liturgi. Sejak dirilis 7 Mei 2021 setiap keuskupan mulai mempersiapkan sosialisasinya untuk para imam dan umat di keuskupan masing-masing. Mungkin tulisan ini dapat menambah informasi bagi yang ingin mengoptimalkan fungsi TPE di lingkungannya.

Metode Ganda 

TPE 2020 telah berusaha “setia” pada “Ordo Missae” (OM). OM sendiri merupakan bagian dari buku besar Missale Romanum (MR), edisi acuan berbahasa Latin (editio typica tertia, reimpressio emendata, 2008). Untuk menerjemahkannya KWI menerapkan dua metode: kesetaraan dinamis atau maknawi (Comme le Prévoit, 1969) dan kesetaraan formal atau harfiah (Liturgiam Authenticam, 2001).

Beberapa terjemahan harfiah yang sudah diperkenalkan dalam TPE 2005 tetap dipertahankan, misalnya jawaban umat: “Dan bersama rohmu” (Et cum spiritu tuo). Ungkapan serupa, “Dan dengan rohmu”, sebenarnya sudah ada dalam buku terjemahan tahun 1964 (Ordo Missae Lingua Indonesiensi, ad usum Archidioecesis de Semarang). Salam pembuka oleh uskup pun sudah harfiah: “Damai bagimu” (Pax vobis), menggantikan “Damai bersamamu” dalam TPE 2005. Ada juga unsur terjemahan harfiah baru yang terlupakan dalam TPE 2005, seperti dialog sebelum berkat oleh uskup dalam Misa Pontifikal (h. 247). Harap dimaklumi jika hasil terjemahan harfiah itu tidak bisa selalu selaras dengan pemahaman dan selera atau cita rasa bahasa setiap imam dan umat dari seluruh Nusantara. Harus ada yang rela berkurban demi kebersamaan dan kesatuan Gereja universal. Sikap ini diperlukan juga untuk menerima hasil terjemahan dengan metode maknawi.

Selain setia, ada pula unsur “tidak setia”-nya. Tentu, pilihan ini tidak bermaksud negatif, meski hasilnya bisa juga mengundang pendapat yang pro atau kontra. Contoh pertama adalah judul buku, Tata Perayaan Ekaristi, yang bukan terjemahan harfiah dari “Ordo Missae. Dalam beberapa bagian TPE 2020 sendiri, kata missa tidak selalu diterjemahkan menjadi “perayaan Ekaristi”, tapi “misa” saja. Contoh lain yang penting adalah ditambahkannya beberapa nama ritus dengan nomor (1. Perarakan masuk, 2. Tanda Salib, 3. Salam, dst) dan rubrik yang tak ada dalam OM 2008. Ini meneruskan gaya TPE 1979 dan 2005. Penomoran yang menunjukkan urutan ritual berdasarkan nama ritus itu dibuat sendiri oleh KWI. Ini berbeda dengan penomoran OM yang menunjukkan urutan rubrik secara berkelanjutan. Jumlah nomor dalam TPE 2020 pun hanya 32, jauh lebih sedikit daripada OM 2008 yang memiliki 146 nomor. Untuk keperluan studi, perbedaan nomor itu dapat membingungkan ketika harus menyebut ritus atau rubrik yang sama dengan nomor yang berbeda dari dua buku yang salah satunya merupakan buku rujukan bagi buku lainnya.

Pertanyaan juga muncul tentang dua metode penerjemahan yang sekaligus digunakan untuk satu teks doa. Misalnya, rumus konsekrasi atas piala dalam Doa Syukur Agung/DSA: “Terimalah dan minumlah, kamu semua” (harfiah dari Accipite et bibite ex eo omnes) tapi masih “bagi semua” (maknawi dari “bagi banyak”: pro multis). Hal yang sama juga untuk terjemahan teks “Doa Tuhan” (Bapa kami), yang melanggengkan terjemahan lama, meskipun ada tiga kata terjemahan yang dirasa masih kurang tepat: “dimuliakanlah nama-Mu” (untuk santificetur nomen tuum), “rejeki pada hari ini” (untuk panem nostrum cotidianum), “jangan masukkan kami ke dalam pencobaan” (untuk et ne non inducas in tentationem). Demikian juga dengan teks “Syahadat” (Credo) yang tidak direvisi. KWI rupanya tak mau mengusik kebiasaan yang sudah sangat mengakar dalam penghayatan iman dan kesalehan umat.

Tampil Sempurna     

Sebagai buku liturgis, sudah selayaknya TPE disiapkan dengan teliti dan diterbitkan dalam bentuk yang pantas, baik dari segi penerjemahan maupun penyajian. Perlu diupayakan tampil sempurna juga karena akan jadi pegangan bersama dalam perayaan suci. Semestinya, secara tekstual tidak boleh ada kata terjemahan yang tidak selaras dengan makna kata aslinya. Secara teknis pun buku perlu dicetak dengan kualitas terbaik dan tanpa kesalahan yang dapat berpotensi menimbulkan gangguan ketika digunakan.

TPE 2020 memang bukanlah sebuah karya sempurna. Terbukti ditemukan beberapa kekurangan yang masih bisa diperbaiki sebelum dicetak ulang. Ada contoh yang bisa didiskusikan: terjemahan untuk inclinant  menjadi “menundukkan kepala” pada Syahadat saat umat mengucapkan “Ia dikandung dari Roh Kudus….” Kata yang lebih tepat untuk itu adalah “membungkuk”, seperti yang dilakukan imam ketika mengucapkan kata-kata Yesus dalam kisah institusi (inclinat). Gestur penghormatan terhadap altar juga menggunakan kata inclinatione, didahului dengan kata profunda, sehingga berarti “membungkuk dalam” (OM, n. 1 dan 145). Teks Latin sendiri menggunakan akar kata yang sama untuk menuntun tata gerak yang dilakukan secara gradatif: membungkuk sedikit (saat DSA), membungkuk (saat Syahadat), dan membungkuk dalam (saat menghormati altar). Mengapa TPE membedakannya? Bagi sementara orang mungkin tak ada bedanya “membungkuk” atau “menundukkan kepala”, meskipun berbeda jika diperagakan. Namun, satu kata Latin yang berakar sama itu seharusnya diterjemahkan secara benar dan konsisten demi pemahaman dan praktik yang lebih tepat.

Gangguan tak hanya bisa muncul dari teks yang keliru, tapi juga dari tata letak dan ilustrasi yang kurang pas. Pada TPE 2020 (h. 28) terdapat vignette “aneh”. Tampak sosok Yesus memegang gelas untuk minum wine sementara para pemain orkestra tampil di atas perahu kertas. Itu mungkin lebih cocok untuk ilustrasi sebuah majalah. Bukan untuk buku liturgis, yang lebih pantas dihiasi unsur seni yang sakral dan lazim. Ada juga satu vignette yang ditampilkan berulang kali pada empat halaman berbeda (untuk DSA, h. 126, 154, 201, 208). Ternyata ini  mengulang cara TPE 2005. Terkesan hanya untuk mengisi halaman kosong. Sebenarnya tidak perlu, karena halaman kosong itu ibarat danau yang menyejukkan, di tengah belantara tulisan yang melelahkan mata.

 Bukan Hanya TPE

Untuk mempersiapkan dan merayakan Ekaristi yang hidup, tidaklah cukup hanya mengandalkan TPE. Buku-buku lain perlu dimanfaatkan. Selain OM, buku MR juga memuat unsur-unsur lain: Pedoman Umum Misale Romawi/PUMR, Pedoman Penanggalan Liturgi, Doa-doa Misa, dsb. MR 1970 telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Buku Misa (Ende: Arnoldus, 1972), namun tidak memuat seluruh unsur yang ada dalam MR 1970. Sebelumnya “Pedoman Umum Buku Misa” (sekarang PUMR) sudah diterbitkan secara terpisah. Dalam Buku Misa itu, “Ordo Missae” diterjemahkan dengan “Aturan Upatjara Misa”. Namanya berubah menjadi TPE pada 1979. Tapi “bukan hanya namanya yang digantikan. Isinya pun baru dan lebih segar.” Sejak itu TPE tidak disatukan dengan unsur-unsur lain dari MR.

Sekarang pun TPE 2020 masih terpisah, namun tidak hadir sendirian untuk melayani perayaan Ekaristi. Unsur-unsur lain itu banyak yang masih belum direvisi. PUMR yang pernah direvisi pada tahun 2002 pun masih perlu diperbarui lagi berdasarkan MR 2008 dan TPE 2020. Setidaknya untuk menyelaraskan teks, istilah, atau nama ritusnya. Buku lain yang terdampak adalah Buku Bacaan Misa. Buku ini adalah terjemahan dari Lectionarium (1970) yang sejak awal bukan bagian dari buku MR. Sudah beberapa kali dicetak ulang, tapi sayangnya tidak disertai revisi yang berarti. Saatnya, selain kesalahan ketik, beberapa terjemahan perlu disesuaikan dengan TPE 2020, misalnya: “Inilah Injil Yesus Kristus menurut… ” menjadi “Inilah Injil suci menurut…”, “Demikianlah Injil Tuhan” menjadi “Demikianlah Sabda Tuhan”, seperti ungkapan terakhir lektor sebagai penutup bacaan pertama dan kedua.

Keterkaitan antara PUMR dengan TPE sangatlah erat. Tidak semua aturan dan penjelasan dalam PUMR dituliskan kembali sebagai rubrik dalam TPE, seperti dalam OM. Misalnya, membuat tanda salib kecil pada dahi, bibir, dan dada sebelum bacaan Injil  yang dalam sosialisasi sempat disebut “tidak dilakukan lagi”, karena tidak disebut dalam rubrik TPE, padahal petunjuknya ada dalam PUMR n. 134. Maka, unsur lama yang tidak tersurat dalam TPE 2020 perlu dilihat lagi secara kritis, sembari mencermati PUMR.

Dengan pertimbangan pastoral, penambahan rubrik juga dilakukan untuk memperjelas ritus. Dalam TPE 2020 ditambahkan beberapa rubrik  yang tak ada dalam OM 2008 atau seperti yang telah dibuat dalam TPE 2005. Misalnya, tentang persiapan sebelum Misa dimulai, urutan pelayan dalam perarakan masuk, penjelasan tentang penempatan buku Evangeliarium sesudah dibacakan, dsb. Tambahan rubrik-rubrik itu ada yang berdasarkan PUMR, ada yang dari kebiasaan baik semata.

Kebijakan tentang penambahan ini sayangnya tidak diterapkan pada unsur-unsur lain yang juga penting, khususnya demi meningkatkan partisipasi aktif umat dan menyemarakkan Misa. Patut disebut ”aklamasi Amin” (acclamatione Amen) sebagai penutup doksologi DSA (PUMR n. 79.h). TPE 2020 tak lagi memuat cara pengulangan “Amin” tiga kali dan hanya mencantumkan notasi untuk satu kali “Amin”. Seruan “Amin” umat berulang kali itu mengekspresikan penegasan umat yang agung, meriah (Great Amen) atas doa imam. Itu sudah ada dalam TPE 1979 dan 2005. Tradisi lama yang dilakukan oleh umat ini patut dilestarikan karena memiliki hakikat musikal sebagai aklamasi, seperti halnya “Alleluia” dan “Kudus” (bdk. PUMR n. 62, 79.b). DSA sebagai doa terpenting dalam Misa perlu diperlakukan berbeda dari doa-doa lainnya yang diakhiri dengan satu kali penegasan “Amin”.

Meskipun dalam TPE 2020 tidak dimuat secara eksplisit, bukan berarti unsur-unsur bagus dari TPE 2005 lantas tidak boleh dipraktekkan lagi, jika ternyata unsur-unsur itu mempunyai dasar dalam PUMR atau dokumen liturgis lainnya. Dapat saja diterbitkan buku khusus untuk pegangan umat (sesuai dengan kebutuhan setiap keuskupan) yang mencantumkan lagi beberapa teks dan rubrik yang bersifat animatif itu.

Bagian penting lainnya dari MR adalah Doa-doa Misa (Sacramentarium). Terjemahan barunya sedang dikerjakan oleh Komlit KWI. Ini proyek lama yang tak kunjung tuntas. Bertahun-tahun buku Doa-doa Misa terbitan keuskupan atau percetakan tertentu masih menjadi pegangan di banyak keuskupan/komunitas.  Terima kasih kepada para penerbit yang telah memenuhi kebutuhan akan buku itu. Semoga tidak lama lagi Gereja di Indonesia akan menggunakan buku Doa-doa Misa yang sama, mendampingi TPE terbaru.

Pasor C.H. Suryanugraha, OSC             
Pengajar Liturgi di UNPAR dan ILSKI, Bandung

HIDUP, Edisi No. 36, Tahun ke-75, Minggu, 5 September 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here