HIDUPKATOLIK.com – Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) Surakarta tak bisa lepas dari sosok Romo Casutt SJ 1926-2012). Di tangan Romo Casutt, ATMI memiliki daya tarik, kokoh membentuk karakter, dan alumninya kontributif bagi kemajuan bangsa.
Romo Johann Balthasar Casutt SJ (1926-2012) adalah misionaris dari Swiss yang hatinya untuk Indonesia. Selama 29 tahun (1971-2000) ia merintis dan menjadi direktur ATMI. Pada masa tuanya, ia masih sempat mengembangkan ATMI Cikarang dan menjadi direkturnya selama satu tahun (2003-2004).
Romo Casutt adalah pendidik karakter ulung. Ia persiapkan mahasiswa memasuki dunia kerja dengan bekal nilai-nilai dan kualitas kompetensi, sehingga terbentuk keseimbangan antara otak, hati, dan tangan. Hal ini kiranya menjadi chord utama yang dapat ditemukan dalam buku Dalam Senyap Bangun Pendidikan Vokasi Indonesia. Buku ini, sepenuhnya membahas mengenai Romo Casutt.
Ada masa di mana seorang mahasiswa tidak mampu menemukan jalan keluar ketika diminta Romo Casutt mencari solusi atas persoalan penduduk di daerah Wonosari. Kepadanya Romo Casutt berujar, “Ya, saya tahu otak kamu belum cukup. Tetapi kalau ditambah dengan hatimu yang baik pasti menjadi cukup.”
Bagi Romo Casutt, otak yang cerdas memang penting dan diperlukan. Namun, otak yang cerdas tidak cukup bila tidak memiliki kepekaan terhadap keadaan sekitar. Hati yang baik dan peka itu memang indah. Tetapi juga tidak cukup jika tidak disertai otak yang sehat dan cerdas.
Dengan konsep pendidikan karakter seperti inilah Romo Casutt mulai mempraktikkan pedagogi yang ia sebut dengan 4 M, yaitu melihat, mendengar, merasakan, dan memikirkan. Sikap ini adalah awal terbentuknya pemikiran yang kreatif. Pedagoginya
berangkat dari pengalaman ke pemikiran. Bagi mahasiswa ATMI, memahami persoalan
masyarakat adalah kunci untuk terlibat secara efektif memecahkan persoalan bangsa.
Hal fundamental lain adalah proses pembentukan karakter lulusan ATMI melalui pelatihan dan internalisasi nilai. Nilai pertama adalah kedisiplinan. Bagi Romo Casutt, kedisiplinan adalah kunci. Melalui sikap disiplin, mengalirlah nilai-nilai lain, seperti tanggung jawab, kerja keras dan inovasi.
Disiplin merupakan kunci keberhasilan. Tanggung jawab adalah konsekuensi dari praksis kedisiplinan. ATMI sebagai teaching factory yang mengandalkan pendidikan dan pelatihan berbasis produksi, disiplin, tanggung jawab dan kerja keras adalah harga mati. Kerja keras ini tampil dalam kebijakan pembuatan produk dengan titik toleransi “nol”. Pelanggaran atas setiap perilaku indisipliner adalah kompensasi (jam kerja tambahan).
Sebagai sebuah lembaga yang melayani masyarakat, inovasi adalah sebuah keharusan. Inovasi adalah nilai keempat yang dibentuk di ATMI. Inovasi berarti mahasiswa diminta selalu menemukan hal-hal baru yang dibutuhkan di dunia industri.
Nilai terakhir yang dilatihkan adalah kejujuran. Ketidakjujuran adalah cela. Konsekuensi dari sikap tidak jujur adalah dikeluarkan dari kampus. Romo Casutt pernah mengeluarkan seorang mahasiswa, meskipun ia pintar dan bukan anak yang nakal. Kejujuran, sama seperti bentuk kerja keras dengan toleransi “nol”, merupakan inti pendidikan karakter di ATMI.
Pendidikan vokasi harusnya berakar pada pembentukan karakter, bukan sekadar pada persiapan keterampilan teknis individu, agar siap kerja. Metode pendidikan karakter di ATMI sudah teruji. Ini terlihat dari kualitas para alumninya. Mereka tersebar di seluruh nusantara menggerakkan roda industri Indonesia. Ini semua adalah karya Romo Casutt bagi bangsa Indonesia. Tak berlebihan bila kita menyebut Romo Casutt SJ sebagai pelopor pendidikan vokasi Indonesia.
Doni Koesoema A.