Pastor Elis Handoko SCJ : Bersukacita dalam Keberagaman

555
Elis Handoko SCJ
[NN/Dok.Pribadi]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Maka apapun yang dilakukan anak-anak selama Jamnas menjadi suatu persembahan. Mereka harus rela mandi dengan air terbatas dan tidur tidak beralaskan bantal.

Jambore Nasional Serikat Kepausan Anak dan Remaja Misioner (Jamnas Sekami) 2018 sudah di depan mata. Banyak gerakan yang dibuat untuk mempersiapkan anak misioner Nusantara menuju Pontianak, Kalimantan Barat. Di sana mereka akan menghayati kebhinnekaan dan sukacita Injil. Mengapa Jamnas Sekami ini penting? Berikut kutipan wawancara HIDUP dengan Ketua Steering Committee, Pastor Elis Handoko SCJ.

Mengapa anak-anak dan remaja misioner perlu memahami kebhinnekaan dalam membagikan sukacita Injil dan bagaimana ini dikaitkan dengan Jamnas Sekami tahun ini?

Dengan membagikan sukacita Injil dalam kebhinnekaan, kita mau mengajak anak-anak untuk belajar menyadari, menerima dan menghargai. Menerima bahwa kita memang lahir berbeda, lalu karena kita berbeda, kita mau menghargai diri kita dan orang lain yang berbeda. Kita diajak untuk mencintai dan membagikan sukacita. Kita pun diajak untuk bahagia dengan perbedaan itu dan itulah yang dibagikan.

Diperlukuan kesadaran bahwa kita berbeda dan kita tidak bisa memilih lahir sebagai perempuan atau laki-laki. Itu adalah anugerah yang mau kita sadari dan kita bawakan untuk anak-anak.

Berbagi menjadi semangat Sekami. Hal ini jelas dalam moto “Children Helping Children”. Dalam Jamnas semua berkumpul dari berbagai latar belakang. Di sana mereka merayakan perbedaan.

Bagaimana menerjemahkan semangat Doa, Derma, Kurban, Kesaksian (2D2K) Sekami dalam konteks kebhinekaan?

Kita mengajar anak-anak untuk dapat berdoa untuk orang lain. Kita ingin menanamkan kesadaran, bahwa orang lain itu tidak selalu sama dengan diri kita. Sebagai bagian dari Karya Kepausan Indonesia yang adalah lembaga internasional. Maka, ji wa misioner dan internasionalitas, maka Sekami juga tinggi.

Selaras dengan semangat awal, Sekami diarahkan untuk keluar, bukan untuk diri sendiri. Kita mendorong anak-anak untuk bermisi. Kita ajarkan untuk berbagi dan tentu juga dengan mendoakan sesama.

Apa yang kita berikan, persembahkan, bukan untuk diri sendiri tetapi untuk yang lain. Ketika itu untuk yang lain, yang berbeda dengan kita, entah karena beda tempat tinggal, budaya, agama, dan lainnya, persembahan itu akan dihayati sebagai sebuah langkah pengorbanan diri dan demi cinta pada Kristus.

Maka apapun yang dilakukan anak-anak dalam konteks Jamnas menjadi suatu persembahan. Mereka harus rela mandi dengan air terbatas, tidur tidak beralaskan bantal. Mereka juga harus menerima teman yang berbeda.

Kalau itu hanya dihayati secara manusiawi karena terpaksa, saya kira tidak akan ada hasilnya. Tetapi semua itu adalah kurban kecintaan mereka pada Yesus Kristus. Semua kebersamaan Sekami akan menjadi kesaksian. Keseharian mereka selama Jamnas akan menjadi kesaksian untuk saling menerima, menghargai, dan mencintai keberagaman. Hal ini selanjutnya akan dibagikan dengan sukacita. Kalau kita bisa menghayati itu, itulah kesaksian hidup.

Apa nilai yang ingin dipetik selama penyelenggaraan Jamnas Sekami ini?

Akan ada banyak nilai yang kami lihat dengan menyelenggarakan Jamnas dengan model perkampungan. Pertama, live in bersama biarawan dan biarawati akan menjadi aksi panggilan. Peserta akan meng alami secara langsung kehidupan bersama kaum religius itu.

Selain itu, ada beberapa uskup yang akan datang untuk sekadar menjadi teman ngobrol. Kami sebut ini sebagai dialog sukacita. Anak-anak ngobrol dengan uskup di beberapa tempat tidak biasa. Jadi domba-domba kecil ini didekatkan dengan gembalanya.

Dalam hal kesadaran iman, acara makan akan dimaknai dengan kesadaran ekologis. Peserta akan membawa peralatan makan sendiri sehingga mengurangi sampah karena tidak pakai nasi bungkus. Sebelum menyantap makanan akan ada renungan singkat tentang bagaimana makanan itu bisa terselenggara.

Makanan dapat tersedia tentu atas kerja sama semesta, termasuk alam, petani, cacing dan lainnya. Prosesnya tidak sedemikian gampang. Lalu setelah makan, mereka mencuci perlengkapan makan sendiri.

Aneka aspek kita balut di situ sehingga ini menjadi ruang formasio bagi anak-anak walaupun berkegiatan. Karena coraknya jambore, pertemuan masal di ruang terbuka dan serba terbatas, jadi fasilitas-fasilitas di sana seadanya.

Misi kami adalah bagaimana anak-anak dari aneka penjuru Nusantara berkumpul dengan ruang terbatas ditantang untuk tetap menemukan sukacita dan menikmati nya. Kalau ini bisa, berarti itulah misionaris cilik. Menerima keterbatasan, tetap enjoy dan bersukacita.

Apakah Jamnas juga memberi porsi khusus bagi para pendamping?

Pendamping atau animator juga akan mendapatkan pembekalan pada hari kedua. Animator dipisahkan dari anak-anaknya. Anak-anak membahas tema “Berbagi Sukacita Injil dalam Kebhinekaan” sementara para pendamping akan mengikuti School of Missionary Animator (SOMA). Ini adalah bentuk pelatihan bagi para pendamping remaja.

Bina Iman Remaja (BIR) adalah kelompok yang rumit. Dari sisi usia mereka belum dapat digolongkan dalam orang muda Katolik (OMK) namun juga tidak termasuk usia anak-anak. Ruang ini menjadi celah, tapi memang teman-teman pendamping pada tingkat basis itu mengatakan sulit untuk mengumpulkan mereka karena berbagai kesibukan.

Apa yang harus dilakukan pendamping Sekami untuk beradaptasi dengan dunia remaja saat ini?

Anak-anak sekarang kultur refleksi atau pendalaman hidupnya mulai luntur akibat zaman yang cepat dan serba mudah. Maka, pendamping juga harus memiliki kemampuan refleksi menemukan pesan Kristiani dalam sesuatu yang modern dan serba digital. Lalu menemani mereka supaya punya kebiasaan yang mampu menemukan kesan sukacita, gambar Allah dalam media-media yang biasa mereka mainkan.

Pendamping harus punya kemampuan menemukan yang rohani, imani, Injili dalam seuatu yang sekuler dan menjadi keseharian anak. Karena anak-anak kalau tidak kita damping dalam level itu akan terjebak, addicted, dan akhirnya asyik dengan diri sendiri. Membantu mereka agar social skill-nya tidak luntur bahkan hilang.

Refleksi untuk masuk dalam kedalaman hidup menjadi tidak menarik. Bagaimana menjadi teman bagi mereka untuk menemukan sesuatu hal yang rohani, dari apa yang biasa mereka gunakan sehari-hari di situlah tantangannya.

Dunia online dan media sosial jangan dilihat sebagai alat. Kalau alat kita pasti akan diperalat. Itu adalah dunia, habitat, lingkungan hidup, medan di mana kita diutus untuk berbagi sukacita. Di situlah, anak-anak diajak memiliki kesadaran dan kedewasan ketika bersinggungan dengannya.

Media sosial dan gadget, itu bukan lagi sebagai alat tapi memang itu bagian dari dunia. Kalau itu disadari sebagai sebuah ruang hidup, maka undangan kita adalah masuk dan hadir di dalamnya, walaupun di situ ada hal negatf tapi kita tetap masuk. Itu tidak terhindarkan, jadi bagaimnana kita hadir di situ secara baik, sebagai orang Katolik yang membagikan sukacita Injil.

Hermina Wulohering

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here