Pastor Thomas harus rela tinggal di sakristi paroki pusat karena tidak memiliki pastoral. Di tengah keterbatasan logistik, demi memenuhi kebutuhan rohani umat di stasi pelosok antarpulau, ia mengarungi ganasnya ombak.

Pastor Thomas mengakui, pelayanan pastoral yang canggih masih susah terealisasi karena pengetahuan umat terbatas. Umat berasal dari beragam wilayah mulai dari Pulau Kei, sehingga pelayanan pun tidak maksimal. Alhasil kebiasaan Katolik umat memudar dan menyebabkan beberapa umat berpindah Gereja.
Pastor Thomas terinspirasi kegigihan misionaris asal Eropa yang menancapkan iman Katolik di bumi pertiwi. Ia mengakui, menjadi pastor bukan berarti menjadi malaikat. Namun, ia selalu berusaha melakukan yang terbaik. “Kadang kita (merasa) capek, kurang perencanaan. Sebagai manusia pun kadang mengeluh. Kemana lagi kita mencari perlindungan kalau bukan ke Tuhan, karena Tuhan yang mengurapi saya.”
Felicia Permata Hanggu






