Pastor Ewaldus A.L. : Spirit Beraksi dan Berbagi

373
Pengenalan pemberdayaan ekonomi ekologi bagi orang muda Katolik.
[Keuskupan Bogor]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Gereja akan terus bersama mereka yang miskin, termasuk yang miskin secara ekonomi. Kesejahteraan mereka juga menjadi tanggung jawab Gereja.

Lembaga-lembaga Gereja Katolik kini sudah mulai mandiri secara sosial ekonomi. Bagaimana pentingnya membangun mentalitas serta semangat kerja yang mampu menumbuhkan dan menggerakan orang untuk mandiri dan berinovasi dalam mencapai tujuan kesejahteraan bersama? Berikut hasil wawancara dengan Sekretaris PSE Konferensi Waligereja Indonesia, Pastor Ewaldus.

Melihat perkembangan ekonomi umat Katolik sekarang ini, apakah menurut Pastor masih relevan Gereja membantu memberdayakan ekonomi umat seperti yang selama ini sudah dilakukan PSE melalui hibah dana APP dan HPS?

Menurut saya tetap relevan karena salah satu kelompok sasaran pelayaan PSE adalah mereka yang miskin secara ekonomi. Apalagi menurut data BPS per-Maret 2018, masih ada 25 juta lebih warga yang dikategorikan miskin, pastilah di dalam jumlah angka tersebut masih ada umat Katolik. Kita tidak punya data berapa banyak orang Katolik yang masih miskin secara ekonomi.

Gereja, termasuk Komisi PSE tentu tidak hanya memperhatikan umat Katolik sendiri tetapi masyarakat pada umumnya juga. Syukurlah kalau umat Katolik sudah mandiri, berkecukupan dan sudah dapat berbagi dengan saudaranya yang belum beruntung seperti dirinya. Meskipun tanggung jawab utama untuk mensejahterakan rakyatnya memang tugas negara tetapi kita juga dipanggil untuk terlibat dan terutama menolong saudara yang belum sejahtera. Bukankah Yesus sendiri mengatakan ‘orang miskin selalu ada padamu’ dan kita juga diingatnya, ‘kamu harus memberi mereka makan’, artinya membantu memenuhi kebutuhan hidup mereka yang paling dasar.

Apakah Gereja memang mendorong kemandirian sosial ekonomi umatnya?

Gereja sangat mendorong dan mendukung upaya umat supaya dapat mengelola aset atau sumber daya ekonominya secara mandiri, bermartabat dan berkelanjutan untuk kesejahteraan dirinya, keluarga dan sesamanya. Dua belas tahun yang lalu, KWI mengeluarkan Nota Pastoral tentang ‘Habitus Baru: Ekonomi yang Berkeadilan’ (2006). Isi Nota Pastoral ini menurut saya masih relevan, antara lain Gereja dari dalam dirinya sendiri mau memperbaharui diri dalam pelayanan pastoral di bidang sosial ekonomi dan menawarkan langkah-langkah strategis.

Beberapa pokok berkaitan dengan kemandirian: Pertama, memperbaharui tekad untuk bersama saudara yang miskin dan lemah terus menumbuhkan sikap berani memulai usaha ekonomi dengan kekuatan dan potensi yang ada, tanpa harus menggantungkan diri kepada pihak lain. Kedua, gerakan pemberdayaan berbasis sumberdaya ekonomi yang mereka miliki. Ketiga, gerakan berbagi (solidaritas) dari saudara yang ekonominya lebih baik untuk rela berbagi baik modal, akses pasar, peningkatkan pengetahuan dan keterampilan kepada sesamanya yang membutuhkan.

Gereja sudah berbuat banyak dalam hal ini, antara lain selama ini yang terus dilakukan oleh Komisi PSE adalah memberi dana stimulan (hibah) dan ada juga dana bergulir kepada umat yang membutuhkan di tingkat komunitas supaya mereka dapat meningkatkan penghasilan ekonomi rumah tangganya. Begitu juga melalui Credit Union (CU) yang awalnya diinisiasi oleh Gereja kemudian berkembang dengan pesat dan banyak sekali umat yang kehidupan ekonomi keluarganya meningkat dan semakin baik. Menurut saya CU dapat menjadi lokomotif pemberdayaan ekonomi umat secara mandiri.

Apakah ada dasar Biblisnya terkait kemandirian ekonomi umat?

Ada beberapa teks yang dapat memberi inspirasi ke arah kemandirian ekonomi. Misalnya, dalam Kitab Kejadian, Allah mengaruniakan bumi dengan segala isinya kepada manusia, supaya manusia dengan jerih payahnya mengolahnya dan menikmati buah hasilnya (bdk.Kej 1:28-29). Dalam Perjanjian Lama kekayaan mendapat pujian, kemakmuran dan kesejahteraan dipandang sebagai ukuran keberhasilan dalam hidup seseorang dan kekayaan dipandang sebagai benteng yang melindungi (Ams.10:15; 18:11; 13:8).

Demikian pula, Yesus tidak menolak kekayaan dan usaha untuk meningkatkan kekayaan. Ia memuji hamba yang menggandakan talentanya (sumberdaya ekonomi) yang dimilikinya dan mengecam hambanya yang malas atau tidak mau berusaha (bdk. Mts 25 : 14-30). Penting untuk kemandirian ekonomi adalah kerja keras, jangan malas. Tuhan mengecam orang yang malas. Biasanya orang malas cari alasan supaya tidak bekerja (Ams.22:13; 26:14). Namun ada hal yang sangat penting dalam upaya untuk mencapai kesejahteraan bersama, kita harus menerapkan prinsip solidaritas, subsidiaritas dan berpihak kepada yang lemah dan miskin.

Apa saja yang dibutuhkan oleh umat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka secara mandiri?

Di masa lampau, dalam masyarakat tradisional atau lokal faktor utama pendapatannya adalah dari hasil mengolah tanah (lahan pertanian, kebun, dst), namun sekarang itu saja tidak cukup harus didukung dengan modal (upaya dan sarana produksi), sumber daya manusia (menguasai literasi finansial dan iptek ), termasuk di dalamnya yang amat penting adalah IT, pemasaran, mitra bisnis, dan regulasi pemerintah yang melindungi dan mendukung tata kelola ekonomi rakyat. Kita cukup bersyukur karena sekarang pembangunan nasional memberi porsi dan perhatian serius pada masyakat lokal (desa) melalui dana desa.

Soal bantuan sosial yang bentuknya macam-macam itu perlu diperlakukan hati-hati dan sementara sifatnya supaya jangan sampai membuat masyarakat menjadi tergantung bantuan dari pemerintah. Satu hal baik yang dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah tujuan pembangunan yang mengintegrasikan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup (kita menyebutnya keutuhan ciptaan) atau Paus Fransiskus menyebutnya dengan ekologi yang integral.

Adakah contoh kongkrit jenis usaha kreatif yang baik dilakukan di tengah situasi sekarang?

Ada cukup banyak yang sudah dilakukan oleh Gereja dan umat. Itu tersebar di keuskupan-keuskupan. Salah satu contoh apa yang dilakukan oleh OMK di desa pedalaman Kalimantan Barat, yang membentuk kelompok tani kebun cabai. Cabai tidak hanya dijual mentah saja ketika panen, tetapi diolah menjadi saus cabai kemasan dalam botol dan saset, kemudian mereka mendirikan koperasi untuk pemasaran dan mengurus ijin di POM dan Perindag Kabupaten.

Hasil produksi mereka memiliki nilai tambah. Meski pun di desa untuk pemasarannya mereka juga sudah menggunakan on line. Hasilnya tidak mereka nikmati sendiri tetapi bersama anggota komunitas lainnya. Saya kira ini contoh kemandirian ekonomi rakyat yang tentu saja masih perlu dikembangkan.

Apakah usaha kreatif yang kini sudah ada seperti kebun, kolam, biogas, dan lainnya menurut Pastor sudah baik dan cukup mumpuni untuk menunjang kesejahteraan secara mandiri?

Saya kira itu aset atau sumber daya ekonomi yang sudah baik, tinggal ditingkatkan dengan kreativitas dan inovasi berbasis apa yang mereka miliki. Misalnya mengembangkan usaha terpadu: di dalam kolam ada ikan, di atasnya ada ternak unggas, ada tanaman sayur hidroponik atau kolam kombinasi dengan tempat rekreasi lalu ada kulinernya sekalian. Hati-hati juga dengan istilah ekonomi atau industri kreatif, jangan sampai orientasinya laba dan dikendalikan oleh mekanisme pasar. Ekonomi kreatif yang sudah baik menurut saya seperti dicontohkan kelompok OMK di atas berbasis lokal. Lakukan saja inovasi-inovasi dari apa yang sudah dilakukan sekarang oleh mereka.

Bagaimana harapan Pastor untuk meningkatkan kemandirian ekonomi umat ke depan?

Saya ingat tulisan Mgr Suharyo mengatakan kalau ditanya resep bisnis Katolik, jawabannya tidak ada. Yang ada ialah ekonomi atau bisnis yang dijalankan berlandaskan moral Katolik. Ajaran Sosial Gereja kita memberi dasar itu. Mulai tahun ini, Komisi PSE memiliki ardas untuk 5 tahun ke depan, yaitu: Melindungi dan Mengelola Sumber daya ekonomi masyarakat lokal. Mimpi yang mau dicapai dengan adanya Ardas ini adalah masyarakat lokal mampu melindungi dan mengelola sumber daya ekonominya dengan mandiri, bermartabat dan berkelanjutan demi kesejahteraan bersama.

Kemandirian yang hendak kita bangun harus berpegang teguh pada prinsip subsidiaritas. Kita harus menghargai potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh warga dan memberi bantuan secukupnya sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Salah satu langkah strategisnya melakukan gerakan pemberdayaan kelompok-kelompok khusus kaum miskin melalui CU yang selama ini sudah ada dan berkembang di tengah umat dan masyarakat kita.

Marchella A. Vieba

HIDUP NO.43 2018, 28 Oktober 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here