Ini Empat Masalah Penting bagi Orang Amazon, Kata Misionaris SVD Asal Indonesia

687
Pastor Ramlan Sihombing, SVD (kiri) sedang memimpin Perayaan Ekaristi di sebuah stasi.
[Ist.]
3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Sejumlah media internasional dan nasional, termasuk beberapa media Katolik, memberitakan, bahwa seolah-olah Paus Fransiskus tengah mempertimbangkan tentang kemungkinan pastor boleh menikah. Hal itu terkait dengan usulan yang muncul pada Sinode Amazon di Vatikan Oktober 2019 lalu. Dalam Sinode ini, memang muncul usulan agar pria yang sudah berkeluarga yang dipandang layak (cakap) secara rohani dan intelektual dapat ditahbiskan menjadi pastor (imam). Usulan itu pun terbatas di daerah Amazon, Amerika Selatan saja. Dengan kata lain, Sinode tidak mengusulkan atau berbicara tentang pastor boleh menikah! Dengan demikian, Paus Fransiskus dan Paus Emeritus Benediktus XVI tidak berseberangan pandangan tentang (tahbisan) imam (imamat/selibat) sebagaimana terjadi saat ini.

Terkait dengan konteks munculnya usul dalam Sinode Amazon, hidupkatolik.com, ‘berbincang-bincang’ dengan Pastor Ramlan Sihombing, SVD (39 tahun), yang tengah berkarya di Keuskupan Humaita, Amazon Bagian Selatan atau sekitar 600 km dari Manaus, Ibu Kota Provinsi, Brazil. Saat ini, Pastor Ramlan tinggal bersama dengan satu orang Indian, dan seorang misionaris asal Jerman dalam satu komunitas. “Tahun ini, tahun ke-3 saya sebagai imam misionaris pertama SVD dari Indonesia di Amazon,” tulisnya di melalui WhatsApp, Senin, 13 Januari 2020. Berikut ini petikannya:

Apa pendapat Pastor tentang beredarnya isu berkaitan dengan salah satu usulan dalam Sinode Amazon 2019 mengenai usulan penahbisan seorang awam yang sudah berkeluarga menjadi imam?

Isu ini memang sampat ramai di media. Namun di Amazon sendiri di mana saya
berada, ide untuk menahbiskan awam yang sudah berkeluarga menjadi iman belum menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan terbukti baik sebelum dan sesudah Sinode Amazon umat tidak banyak berbicara tentang itu bahkan boleh dikatakan sepi. Hal ini terjadi karena umat masih belum bisa menerima hal itu sepenuhnya. Hal ini boleh kita lihat dengan adanya tahbisan diakon permanen (awam bereluarga ditahbiskan mejadi diakon) yang belum sepenuhnya juga bisa diterima oleh umat. Alasannya, karena mereka memiliki keluarga dan pekerjaan. Kalau mereka harus berhenti bekerja, keuskupan harus menanggung seluruh biaya hidup mereka. Hal itu tidak mungkin terjadi karena keuskupan dari segi keuangan selalu minus. Dan jika mereka tidak berhenti bekerja, timbul masalah baru lagi, mereka hanya bekerja sebagai imam hari Sabtu dan hari Minggu. Gereja di Amazon ini tidak membutuhkan model imam seperti itu. Umat membutuhkan sosok imam yang duduk, mendengarkan, dan berada bersama mereka.

Jadi, dengan alasan-alasan ini, sampai dengan saat ini, belum ada yang berani
berbicara secara terbuka kepada umat tentang isu ini, walau umat sudah ada yang tau
melalui berita. Uskup atau Gereja setempat belum pernah membicarakan hal itu secara
terbuka. Bahkan setelah Sinode Amazon, isu itu malah meredup, sebaliknya di luar Amazon isu ini ramai di bicarakan. Sekali lagi, diakon permanen selama ini sudah ada. Itu pun tugas mereka hanya sebatas Ibadat Sabda. Mereka belum bisa berbuat banyak dalam pastoral.

Sudah berapa banyak diakon permanen di keuskupan di mana Pastor saat ini melayani?

Di keuskupan kami hanya ada 11 pastor dan 8 diakon permanen. Kedelapan diakon
permanen ini melayani Ibadat Sabda pada hari Sabtu dan Minggu. Selebihnya mereka hidup dan tinggal bersama keluarga mereka. Di luar Sabtu dan Minggu, mereka bekerja seperti biasa untuk menghidupi keluarganya. Tahbisan diakon yang melekat dalam diri mereka tidak sepenuhnya bisa dirasakan oleh umat, karena dalam berpastoral, mereka tidak bisa berbuat banyak.

Pastor Ramlan Sihombing, SVD bersama orang-orang Indian.

[Ist.]

Dengan kata lain, umat pun belum merasa sreg dengan mereka, bahkan mereka
memandang lebih cocok dengan imam seperti sekarang ini, imam selibater?

Betul. Dan, saya sendiri merasa akan sangat sulit untuk merealisasikan tahbisan imam bagi pria yang berkeluarga tersebut untuk saat ini. Hal lain, mereka juga tidak mungkin tinggal di paroki atau pindah-pindah paroki karena alasan keluarga dan pekerjaan. Kalau mereka hanya bekerja di paroki asal mereka itu juga tidak mungkin, karena umat yang paling membutuhkan perhatian adalah mereka yang hidup di tepian sungai di mana bisa 10-15 hari hidup di perahu ( makan dan tidur di perahu), dan juga umat di pedalam Hutan Amazon. Itu susahnya. Jadi, dengan kata lain, masih banyak hal yang perlu dipertimbangkan.

Menurut Pastor, Paus Fransiskus pun tidak akan segera atau langsung membuat
kebijakan baru sehubungan dengan pria yang sudah menikah akan ditahbiskan menjadi imam, walaupun hanya dalam konteks di Amazon yang muncul dalam Sinode lalu?

Ya. Benar sekali. Dari penjelasan uskup saya yang ikut sinode itu, usulan tersebut
belum bersifat final. Kalau seandainya seorang uskup di Amazon ini harus menahbiskan
seorang awam berkeluarga menjadi imam, uskup tersebut harus terlebih dahulu
melaporkannya kepada Paus dan meminta izin dengan berbagai kriteria dan alasan.

Sekali lagi, apakah berita ini mencuri perhatian atau menarik bagi umat di Amazon?

Kebetulan saya ikut dalam persiapan sionde ini dan membahas situasi di Amazon Bagian Selatan di mana ada enam keuskupan. Dari enam keuskupan ini, selama persiapan dilakukan, tidak ada yang membahas tentang awam yang sudah menikah boleh ditahbiskan. Karena memang Hal itu belum mungkin untuk dilakukan di sini.

Kalau begitu, hal apa yang lebih menarik perhatian di tengah umat saat ini?

Saya melihat, yang paling menarik dibicarakan umat di sini, pertama, pendampingan
orang-orang yang semakin tertindas dalam kaitannya dengan masalah tanah dan hak-hak mereka yang banyak dirampas oleh penguasa dan banyak yang dibunuh kususnya orang-orang Indian. Kedua adalah masalah lingkungan hidup di mana Amazon sebagai paru-paru dunia semakin habis dieksploitasi. Ketiga, nasib keluarga-keluarga di tepian sungai yang
rumah mereka tiap tahun habis ditelan air dan mereka harus hidup nomaden. Mereka tidak tahu harus pergi ke mana. Keempat, soal liturgi yang belum menyentuh umat setempat, masih kebarat-baratan sehingga jiwa umat belum tersentuh sama sekali.

Sebagai misionaris yang masih tergolong baru di sini, apa yang Pastor dan teman-teman lakukan?

Ya, kami banyak tinggal bersama orang Indian dan umat di tepian sungai. Kami berusaha membantu mereka untuk mendapat pengakuan atas tanah mereka juga pelayanan kesehatan dan pendidikan. Bagi umat di tepian sungai, kami berusaha membantu mereka untuk medapatkan lahan untuk tempat tinggal. Hanya melakukan ini semua tidaklah mudah karena masalah politik, Gereja selalu berseberangan dengan pemerintah. Jadi, kami berusaha mengadvokasi umat untuk mendaptkan Hak mereka.

Menurut Pastor, faktor apa saja yang membuat orang-orang Indian tersingkir di tanah atau negeri sendiri?

Tempat tinggal (tanah) mereka adalah emas, pohon-pohon yang berkualitas, lahan
yang subur. Jadi, orang-orang datang dari daerah lain untuk membeli tanah mereka melalui pemerintah setempat. Orang-orang Indian ini kan tidak pernah memikirkan dokumen atau surat-surat tanah. Dengan alasan ini, mereka disingkirkan dengan cara paksa. Banyak juga yang dibunuh.

Apakah mereka belum mendapat pendidikan yang semestinya, terutama tentang
pertanahan tadi?

Belum! Karena mereka tidak boleh bercampur dengan suku lain dalam hal pendidikan dan pelayanan kesehatan, rumah sakit. Sekarang ini memang sudah ada sekolah-sekolah didirikan di kampung mereka yang sudah mendapat pengakuan. Namun belum maksimal karena kekurangan guru sebulan sekolah, tiga bulan lainya libur.

Pastor Ramlan Sihombing, SVD bersama beberapa anak Indian.

[Ist.]

Masih jauh tertinggal atau disengaja tertinggal oleh pemerintah?

Boleh dikatakan disengaja. Apalagi Presiden Basil sekarang menganggap mereka manusia kelas dua yang harus tinggal dihutan. Juga dianggap sebagai pemalas dan perusak hutan. Kejam dan ngeri, untuk mengambil tanah mereka sering dengan kekerasan dengan menembak mati di depan anak-anak mereka.

Gereja berbuat apa?

Gereja hadir sebagai tempat mereka berlindung atau berteduh. Tetapi kadang Gereja juga sulit hadir karena ada ancaman. Mereka tidak segan berlaku kasar terhdap pastor atau suster walaupun mereka (aparat, Red.) semua beragama Katolik. Tapi, itu kan memang urusan politik yang terpisah dengan urusan Gereja.

Hasiholan Siagian

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here