SUMPAH PEMUDA MENEGUHKAN INKLUSIVITAS

222
P. M. Susbandono, Kontributor, Penulis buku inspiratif
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – “Mumpung masih banyak yang bisa dihubungi, ayo kita reuni via zoom”.

Pesan dari seorang teman SMP, yang saya terima melalui WA, tadi pagi.  Persis peringatan Sumpah Pemuda, yang ke-92.    Tiba-tiba imajinasi muncul.   Kumpul teman-teman lama selaras dengan semangat Sumpah Pemuda.  Sekaligus mengingatkan suasana masa lalu di Semarang, 60-40 tahun lampau.

Asep, Amsal, dan Made adalah teman  SMP.  Terasa mereka sama dengan kebanyakan dari kami.  Baru kemudian tersadar bahwa Asep orang Sunda, Amsal dari Minang dan Made, tentunya, asli Bali.   Dulu kami belajar dan bermain tanpa ingat asal-usul mereka.  Asep dan Amsal jelas Muslim, tapi Made  Hindu.

“So, what gitu lo”?.

Didik, Sigit dan Onky kawan SD.   Dua pertama asli Jawa, pintar main bola dan beragama Islam.   Onky berayah Sunda dan beribu Jawa,  selalu ramah dan mudah berteman.  Tak saya ketahui apa agamanya.  Ada juga Hinza Simanjuntak yang Batak, Protestan dan Gwan Kiem yang keturunan Cina, Katolik.   Bing Sien beragama Budha dan pintar main bulutangkis. Ayahnya pedagang kaya-raya,  dan sering nraktir teman-teman pribumi yang sangunya pas-pasan.  Semuanya mengalir begitu saja, tanpa paksaan, tak ada tekanan.

Kadang-kadang kami berkelahi karena salah satu curang saat main kasti atau sepakbola.  Biasanya, Sioe Bing, yang bapaknya pengusaha krupuk, menjadi penengah.  Perselisihan segera usai dan kami berangkulan lagi.  Sekali lagi,  perbedaan primodial tak pernah melahirkan masalah.

Tahun 1990-an, saat tingggal di camp, daerah operasi perminyakan di Lirik-Riau, hari-hari raya keagamaan selalu dinanti kedatangannya.  Hari raya apa saja, agama apa saja.  Hari raya identik dengan silaturahmi dan makan kenyang,  sampai tak ada ruang kosong di perut kami.

Tak kecuali setiap Natal tiba.  Rumah kami penuh tamu sejak pagi hingga malam.  Semua  bergembira, bernyanyi, tertawa dan tentunya mengucapkan selamat kepada yang merayakan.  Tak ada perbedaan, meski suku dan agama kami berbeda-beda.

Gantian, saat Idul Fitri atau Imlek, kami berputar keliling kota, mengunjungi sahabat-sahabat yang merayakan.  Lontong opor di saat Lebaran atau kue ranjang ketika Sin Chia menjadi makanan favorit yang ditunggu-tunggu.  Itulah persaudaraan, itulah persahabatan, itulah tebaran cinta-kasih.

“Barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan ditangguhkan kematiannya, hendaklah ia menyambung silaturahmi” (Shahiih Al-Bukhaariy).

Itu dulu, bagaimana sekarang?

Semakin ke sini, semakin banyak orang lebih mudah memilah sesamanya berdasarkan perbedaan, bukan persamaannya.

Suku atau agama yang tak sama dianggap beda identitas dan dikeluarkan (to exclude)  dari komunitas.   Bahkan asal daerah dari suku yang sama atau beda aliran dalam satu agama pun, menjadi persoalan besar untuk berdampingan hidup.   Kesadaran hidup inklusif semakin  luntur.

Padahal, menjadi fitrah manusia Indonesia untuk cenderung berkumpul dan bersatu,  “zoon politicon”.  Paham dari luar, sering muncul membubarkannya, sifatnya “outside – in”.  Masuk dalam pikiran dan hati manusia Indonesia, yang kemudian memporak-porandakan  nurani dan akal sehat.

Jurang perbedaan semakin lebar dan dalam.  Bahkan sengaja digali.   Yang semula dianggap “biasa-biasa” saja, kini dibangun untuk menjadi penghalang.  Moves yang jelas membahayakan kehidupan berbangsa.

Inklusif adalah terbuka bagi siapa saja. (Open to everyone: not limited to certain people). Sekarang mulai dipagari dengan perbedaan-perbedaan parokial yang semakin lama semakin dipertajam.

Melibatkan sebanyak mungkin orang – apa pun identitasnya – melahirkan suasana yang menyejukkan.  Perbedaan adalah sumber energi dan memperkaya.  Ia membuat sistem berkinerja lebih tinggi.  Menyeragamkan adalah membunuh perbedaan,  mendegradasi level energi menjadi lebih rendah.  Perbedaan  yang inklusif tidak hanya membuat kelompok menjadi lebih “hidup”, tapi juga lebih sejuk,  bertahan dan awet.

“Kita” lebih “tahan banting” dibanding “kami”.   Sikap tenggang rasa dan toleran membuat “kita” lebih bermakna dan bermartabat.  Memisahkan atau mengeluarkan orang lain dari “kita”, tak mencetak manfaat apa pun,  sia-sia.

Bukan kebetulan kalau para pendiri bangsa sudah mencanangkan prinsip inklusivitas dalam bentuk Sumpah Pemuda.  Menyatukan tanah-air, bangsa dan bahasa dalam ikatan yang kokoh adalah strategi yang jitu.  Pengingkaran yang dilakukan oleh siapa pun terhadap Sumpah Pemuda, tak hanya mencederai dignity bangsa.  Perbedaan adalah satu hal,  mengkhianati  kesepakatan bangsa adalah hal lain.  Yang terakhir itu tak bisa dibiarkan, kecuali kalau ingin bangsa Indonesia bercerai-berai.

Inklusif adalah merayakan perbedaan, mengucapkan “selamat datang” kepada semua orang, karena kasih-sayang adalah inklusif, bukan eksklusif.

“All are welcome.  Love is inclusive, not exclusive”.

P. M. Susbandono, Kontributor, Penulis buku ispiratif

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here