SI DEUS EST UNDE MALUM?

602
Febry Silaban, Kontributor, Penulis buku “YHWH: Empat Huruf Suci”
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – KALAU Tuhan itu ada, dari manakah datangnya penderitaan? Demikian terjemahan judul artikel ini. Kalau Ia sungguh-sungguh ada, Mahakuasa, Mahabaik, dan Mahatahu, mengapa Ia tidak campur tangan untuk mencegah berbagai pengalaman hidup yang buruk dan mengerikan itu?

Bagaimana bisa terjadi seorang pria yang mengaku bertuhan menyembelih wanita hingga tewas, padahal wanita tersebut sedang berdoa di rumah Tuhan alias gereja basilika di Notre Dame, Prancis? Mengapa justru Tuhan tampak seperti tak berdaya di hadapan pelbagai penderitaan dan malapetaka yang dialami manusia secara nyata, setiap waktu? Masih layakkah manusia beriman kepada sosok itu?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya sudah muncul sejak zaman dulu, zaman Yunani kuno, dan sudah dirumuskan secara klasik dalam trilema berikut, yakni (1) Tuhan mau mengatasi penderitaan tetapi Dia tidak mampu melakukannya, atau (2) Dia mampu tetapi tidak mau melakukannya, atau (3) Dia tidak mampu dan tidak mau melakukannya.

Apabila Dia mau tetapi tidak mampu maka Dia lemah. Ini sesuatu yang tidak cocok untuk Tuhan atau bisa disebut Tuhan yang kacangan, ecek-ecek, dan tidak Mahakuasa. Kalau Dia mampu tetapi tidak mau maka Dia jahat, dan ini pun bukan sifat Tuhan. Kalau Dia tidak mau dan tidak mampu, maka Dia sekaligus jahat dan lemah. Tentunya ini adalah asing bagi Tuhan.

Akan tetapi, jika Tuhan mau dan mampu, yang merupakan ciri paling cocok untuk-Nya, dari manakah asal semua penderitaan atau kejahatan (malum)? Atau, mengapa Dia tidak menyingkirkan penderitaan tersebut?

Ketika membaca ungkapan penghiburan yang dituliskan di media sosial atau whatsapp berkaitan dengan penderitaan atau kejahatan, sering kali orang tergesa-gesa membuat kesimpulan atau penjelasan yang mencoba memuaskan keinginan akal budi manusia semata. Sangat sedih sebenarnya ketika orang, yang katanya beriman, “memfitnah” Tuhan dengan ungkapan bahwa bencana ini merupakan “ujian dari Tuhan, rencana Tuhan, cobaan yang Mahakuasa,” atau bencana ini merupakan “peringatan dari Tuhan bagi kita yang masih hidup.” Dengan kesan seperti itu, kita akan mendapat kesimpulan bahwa yang bersalah adalah manusia sehingga harus diperingatkan; dengan demikian Tuhan bebas dari segala tuduhan!

Yang menjadi pertanyaan, benarkah Tuhan membiarkan si teroris memenggal kepala seorang manusia yang sedang berdoa kepada-Nya di gereja, di rumah Tuhan sendiri? Benarkah Tuhan merancang dan menjatuhkan pesawat Lion Air JT 610 di Laut Karawang beberapa tahun lalu? Benarkah Dia yang Mahabaik dan penuh belas kasihan membuat jatuh pesawat itu? Betapa jahatnya Dia, bak penjahat besar yang tega membunuh 189 manusia termasuk anak-anak dan apalagi bayi yang tidak tahu apa-apa. Benarkah Tuhan yang membuat gelombang raksasa dari lautan (tsunami) yang menghantam daerah pesisir Banten dan Lampung sehingga menyebabkan 400-an orang tewas beberapa tahun yang lalu? Apakah Dia yang disebut Mahakasih itu menggerakkan hati orang-orang di Wamena untuk menganiaya dan membunuh sesamanya hingga menewaskan 30 orang lebih? Lalu, kalau Ia memang Mahatahu, mengapa Ia tidak mencegah seorang istri yang tega membakar suami dan anaknya di sebuah mobil di Sukabumi, Jawa Barat? Apakah semua itu dirancang dan dibuat Tuhan?

Padahal manusia cenderung membuat kesalahan karena ia adalah makhluk terbatas. Bagaimana manusia dikatakan memiliki tanggung jawab moral atas adanya penderitaan di dunia, kalau Tuhan sendiri pun tidak dapat menghindarinya? Tentu argumen seperti ini pun lebih banyak mengganggu daripada menyelesaikan persoalan. Ayo, berhentilah menghakimi dan menuduh Tuhan.

Karena itu, pertanyaan dalam judul artikel ini dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya: et si non est, unde bonum? Kalau Tuhan tidak ada, dari manakah datangnya kebaikan?

Di suatu kelas, seorang profesor mengatakan, “Aku akan membuktikan pada kalian: jika Tuhan itu ada, maka Dia adalah kejahatan. Apakah Tuhan menciptakan segala sesuatu yang ada? Jika Tuhan menciptakan segala sesuatu, maka Dia menciptakan kejahatan. Itu artinya Tuhan adalah kejahatan.” Kemudian seorang murid bertanya, “Permisi, Profesor. Apakah dingin itu ada?” Si Profesor menjawab, “Pertanyaan macam apa ini? Tentu saja dingin itu ada. Apakah kamu tak pernah merasakan kedinginan?”

Murid tersebut dengan tenang menyampaikan, “Sebenarnya, Profesor, dingin itu tidak ada. Sesuai dengan hukum fisika, apa yang kita anggap dingin itu sebenarnya adalah ketiadaan panas. Profesor, apakah gelap itu ada?” Jawab profesor, “Tentu saja ada.” Sang murid langsung menyela, “Salah, Profesor. Gelap juga tidak ada. Gelap sebenarnya adalah ketiadaan terang. Terang yang kita pelajari bukanlah kegelapan. Kejahatan tidak ada. Itu sama seperti gelap dan dingin. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari apa yang terjadi ketika manusia tidak memiliki cinta Tuhan yang hadir di hatinya.” Murid itu bernama Albert Einstein.

Apakah bencana juga kejahatan? Berbicara tentang bencana, kata kuncinya adalah harmoni. Manusia sudah biasa mengganggap segala sesuatu sebagai kejahatan ketika hal itu merugikan dirinya. Bencana alam biasa dianggap sebagai malum (kejahatan) karena bencana alam membahayakan hidup manusia. Padahal, belum tentu demikian. Kejadian bencana alam bisa dilihat dari kacamata harmoni alam semesta. Terjadinya gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dan banjir ialah gerakan alam untuk kembali mengharmoniskan dirinya. Tanah pegunungan yang mulai tidak subur lantas disuburkan kembali dengan abu vulkanik. Perut bumi yang penuh dengan lava diharmoniskan kembali dengan memuntahkannya.

Dengan kata lain, sebenarnya bencana alam tidak harus melulu dilihat sebagai kejahatan, apalagi karma/kutuk/azab dari Tuhan, melainkan justru gerakan dari alam sendiri untuk mengharmoniskan atau memperbaiki fungsi-fungsi “tubuh”-nya yang mulai tidak beres agar menjadi beres kembali.

Kalau Tuhan itu omnipotens, mengapa tidak menghindarkan manusia dari bencana, meski bencana itu merupakan cara untuk menjaga harmoni? Tuhan tentu tidak membiarkan manusia mengalami gempa dan tsunami. Tuhan memberi manusia akal budi yang mampu merancang teknologi untuk mendeteksi bencana alam sedini mungkin. Akal budi diberikan Tuhan sebagai alat untuk sintas (survive). Celakanya, akal budi inilah yang biasa digunakan manusia, justru untuk men-“Tuhan”-kan dirinya.

Dengan demikian, semoga kita tidak lagi dengan mudah “memfitnah” dan “menuduh” Tuhan. Setiap dientakkan oleh bencana besar yang mengakibatkan puluhan hingga ratusan orang meninggal, atau kepergian dari dunia orang yang sangat kita kasihi dengan tiba-tiba atau dengan cara mengenaskan, semoga itu dapat pula menjadi momen kita untuk selalu siap sedia menuju Sang Kehidupan. Sepanjang hidup mempersiapkan kematian.

Akhirnya, seperti pepatah Latin hodie mihi, cras tibi, hari ini aku, esok giliran kamu. Kita semua diingatkan bahwa suatu saat nanti giliran kita juga akan tiba.

Febry Silaban, Kontributor, Penulis buku “YHWH: Empat Huruf Suci”

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here