TIDAK ADA ALASAN UNTUK MENGELUH, KATA PASTOR LEO JOOSTEN

743
Pastor Leo Joosten, OFMCap (berdiri) sedang menikmati sore di kompleks Gereja St. Fransiskus Assisi, Brastagi, Sumatera Utara
5/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – BEBERAPA kali Pastor Leo Joosten, OFMCap (79 tahun) mengucapkakn kata-kata ini (Tidak ada alasan untuk mengeluh) saat wartawan HIDUP/hidupkatolik.com, F. Hasiholan Siagian menyambanginya di Pastoran Paroki Santo Fransiskus Assisi, Brastagi, Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara di suatu sore yang cerah akhir tahun 2020 lalu. Lahir pada waktu Perang Dunia II, 9/9/1942, di Nederwetten, sebelah Timur Laut Kota Eindhoven, Braband Utara, Belanda, Pastor Leo, sapaannya, ditahbisakan menjadi imam pada 28 Juni 1970,  dan pada 19 Januari 2021, sebagai Kapusin muda, tiba di Indonesia. Karena pandemi, perayaan imamatnya  yang ke-50 tahun 2020 lalu digelar secara sederhana. Bincang-bincang sore itu turut dihadiri para pastor dan frater yang berkarya di Paroki Brastagi. Berikut petikannya:

Bagaimana rasanya 50 tahun menjalani imamat?

Sekarang mulai biasa-biasa saja. Dulu, ketika mendengar ada yang merayakan 50 tahun imamat, dianggap luar biasa. Saat ini saya merasa bisa berbuat sesuatu, masih produktif,  pastor rekan di sini, masih bisa ke stasi-stasi. Oleh kepala paroki diberi memimpin Misa dua kali pada hari Minggu setiap bulannya, juga Misa harian. Namun, karena Covid, tidak bisa seperti dulu, terutama di paroki.

Apa tantangan besar selama menjalani 50 tahun imamat ini?

Saya sangat senang di Indonesia, sangat beruntung sejak datang ke Indonesia, mulai dari Onan Runggu, Pakkat-Parlilitan, Pangururan, hingga Kabanjahe-Brastagi ini. Saya senang dengan kultur Batak (Toba dan Karo). Waktu itu kami lima orang dikirim ke Indonesia, empat ke Kalimantan. Tantangan terasa ketika diutus ke Tanah Karo pada usia tua karena saya musti belajar satu bahasa baru lagi. Ketika datang pertama sekali tidak tahu bahasa Karo sama sekali, langsung terjun. Di Kabanjahe Misa dengan Bahasa Indonesia, di stasi, pakai bahasa Karo. 80 lebih stasi. Saya belajar sendiri dengan mendengar kaset-kaset di mobil dalam perjalanan. Kamus Bahasa Indonesia – Bahasa Karo lahir dari belajar sendiri. Bagi saya, tidak ada alasan mengeluh sedikitpun.

Mengapa Pastor sampai bisa menarik refleksi seperti itu?

Itu sebetulnya disampaikan umat kepada saya. Menurut mereka, mereka tidak pernah melihat saya mengeluh. Saya sendiri pun merasa seperti itu. Artinya, saya rasa selalu bersyukur. Saya merasa sangat beruntung karena permulaan saya datang, ditempatkan di paroki yang umatnya cepat berkembang, di Pakkat-Parlilitan, sekarang Kabupaten Hubbang Hasundutan. Sesudah 13 tahun di Pakkat-Parlilitan, saya ditempakan 15 tahun di Pangururan, Samosir, dan di sini Kabanjahe-Brastagi sudah 22 tahun.

Pastor tidak mengalami suatu kesulitan yang cukup berarti?

Tidak begitu. Saya merasa lancar-lancar saja. Kalau ada rasa rindu pulang kampung (Belanda), ya ada masa cuti. Tadinya, ada rencana cuti sesudah perayaan 50 tahun imamat tapi karena situasi pandemi ini, batal.

Bagaimana ceritanya, Pastor bisa sampai memilih Indonesia?

Dulu kami diberi kesempatan untuk memilih sebelum tahbisan: mau tinggal di Belanda atau misionaris ke luar negeri. Kira-kira 20% kami memilih ke luar negeri. Saya memilih Indonesia, ada bapa uda saya pastor di Medan waktu itu. Dialah sering bilang kepada saya supaya datang ke Sumatera. Lalu, saya juga sering dengar, orang Batak pandai bernyanyi. Ini juga menarik bagi saya.

Apa yang Pastor bayangkan tentang Indonesia, khususnya daerah misi di Sumatera?

Sebetulnya, waktu awal saya datang ke sini, Indonesia tidak lagi disebut sebagai tanah misi sesuai dengan pendirian hierarki  pada 3 Januari 1961. Waktu itu, Indonesia kekurangan imam, Belanda kelebihan. Saya berpikir, saya sebagai pastor bisa menolong, atau katakanlah sebagai asistensi, bukan lagi sebagai misionaris. Saat pertama datang, saya belajar bahasa Indonesia tiga bulan di Yogyakarta walau pun saya sudah belajar Bahasa Indonesia di Belanda. Saya tidak langsung ke Pakkat, tapi ke Onan Runggu di Samosir sebentar. Dari sana saya baru ke Pakkat. Di Pakkat saya belajar budaya Batak. Semua pengalaman, saya catat/tulis. Saya suka menulis apa yang saya alami dalam karya.

Jadi, hanya Simalungun yang Pastor belum pernah alami?

Saya tidak pernah diminta atau meminta ke sana. Walau agak berat meningalkan satu tempat yang sudah agak lama berpastoral dan mulai tahu situasi di situ, saya tidak pernah minta biarpun kadang provinsial meminta memilih sendiri. Misalnya, sesudah 15 tahun di Pangururan, saat provinsial menugaskan saya ke Tanah Karo, saya berangkat.

Dari rentang pastoral itu, apa buah permenungan Pastor saat merayakan imamat ini?

Kalau kita lihat bagaimana Yesus menyembuhkan orang sakit dan lain-lain, sebagai imam, saya pikir perlu karya sosial-ekonominya. Saya sangat gembira bisa mendirikan Credit Union (CU) tahun 1974 di Pakkat. CU ini sangat menolong umat. Ketika saya “pensiun” di sini, dua hari dalam seminggu saya mengunjungi orang sakit di rumah-rumah sakit di kota ini dan di kampung-kampung.

Menurut Pastor, mana lebih baik, lebih lama berkarya di satu paroki atau cukup beberapa tahun saja?

Lebih lama lebih baik. Karena sudah mengenal lebih baik situasi umat di tempat itu dan bisa melakukan sesuatu yang berguna. Bayangkan kalau hanya beberapa tahun. Saya lihat, ada pastor yang merasa, kalau sudah beberapa tahun, sudah siap-siap pindah sehingga umat tidak mengenal mereka.

Uskup, pada usia 75 tahun boleh mengajukan pensiun, bagaimana dengan Pastor yang usia sudah 79 tahun, apakah meminta pensiun?

Saya masih bisa berkarya. Pastor paroki masih memberi kesempatan kepada saya. Saya lakukan apa yang masih bisa saya lakukan. Saya menulis beberapa buku. Juga menerjemahkan. Saya memang suka sejarah sehingga di mana pun saya ditempatkan, saya selalu menulis. Saya suka dengan kata-kata Soekarno, jangan pernah melupakan sejarah! Kita ada sekarang karena sejarah.

Pastor Leo tampak bermain garantung, salah tau alat musik tradisional Batak Toba

Bagaimana mengatur waktu antara berkarya pastoral dan menulis?

Di kamar selalu ada dua meja. Satu meja untuk urusan paroki, dan satu meja khusus untuk meja menulis. Setiap kali ada waktu, misalnya sebelum ke stasi, saya duduk di situ dan menulis, termasuk menulis kamus. Semua ditulis tangan, ketika pindah ke Kabanjahe baru kenal komputer. Sekarang ada satu frater di sini, dia suka bertanya tentang banyak hal. Misalnya, apa tradisi Kapusin. Pertanyaan ini mengajak saya berpikir dan berbuat sesuatu untuk generasi muda ini. Ya dengan menulis atau menerjemahkan buku-buku yang mereka perlukan.

Pastor Leo mengenakan pakaian adat Batak Karo

Selain membangun gereja inkulturasi, juga mendirikan museum Batak Toba dan Karo. Mengapa Pastor melakukan hal ini?

Ini berdasarkan pengalaman saya saja dengan pemerintah setempat. Mereka bertanya, mengapa juga tidak dibangun museum. Ada bupati yang bilang, ‘kalau Gereja Katolik mau menolong pemerintah dalam hal ini, kami sangat gembira’. Saya terbuka, lalu saya berbicara dengan uskup dan provinsial. Jadi, gereja yang yang lama, yang tidak dipakai lagi, dijadikan jadi museum. Pemerintah mendukung.

Tentang gereja inkulturasi sebetulnya ide awal dari Mgr. Pius Datubara ketika masih Uskup Agung Medan. Dialah yang meminta saya untuk membuatnya karena menurutnya, saya berminat terhadap budaya. Dia mendukung. Saya mengumpulkan banyak orang, berdiskusi filosofi bangunan.

Selain itu, dari pengalaman pribadi saya, kalau turis datang ke Datau Toba, mereka mengatakan gereja-gereja mengapa model Barat. Saya pikir, mereka betul. Maka, saya pun mulai mempelajari budaya dan arsitektur Toba, lalu Karo. Simbol-simbol apa yang penting dalam budaya dan arsitektur Batak. Berdasarkan pengalaman membantun gereja inkulturasi di Pangururan, hal yang sama kami lakukan di Brastagi. Saya tidak sendiri membuat ini, melibatkan banyak orang, saya hanya mengordinasi. Saya sadar, saya orang luar, jangan seolah-olah saya lebih tahu dari mereka walaupun sudah puluhan tahun di sini. Jangan merasa seolah-lah sudah tahu segala-galanya. Seorang imam harus menyadari keterbatasan dirinya.

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here