web page hit counter
Rabu, 16 Oktober 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Ia Adalah Wartawan Awam Pertama yang Dibeatifikasi, Ketika Mengalami Kelumpuhan dan Kebutaan Menghasilkan Banyak Karya

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – PAUS Fransiskus menyebutkan nama seorang Beato dalam Pesan Hari Komunikasi Sedunia ke-55 bertajuk “Datang dan Lihatlah”. Ia mengutip pernyataan sang beato itu, “Buka mata anda dengan takjub terhadap yang anda lihat, dan biarkan tanganmu merasakan kesegaran dan vitalitas, sehingga ketika orang lain membaca apa yang anda tulis, mereka akan menyentuh denyut kehidupan yang ajaib.” Itulah sepenggal nasihat Beato Manuel Lozano Garrido ketika menasihati rekan-rekannya sesama wartawan yang dicantumkan Paus. Siapakan Beato Manuel? Mengapa teladannya menjadi penting untuk kita saat ini?

Yang Pertama

Selalu ada yang pertama dalam segala hal. Dan kisah ini meceritakan tentang masuknya seorang wartawan awam ke dalam jajaran para kudus untuk pertama kalinya. Inilah dia seorang laki-laki asal Spanyol, Manuel Lozano Garrido yang dibeatifikasi pada 12 Juni 2010 di Linares.  Selama 30 tahun, ia menangani berita lokal untuk berbagai surat kabar meski lumpuh dan dalam beberapa tahun terakhir hidupnya mengalami kebutaan. Meskipun keterbatasan fisik mendera, pelindung jurnalis yang telah dirayakan ulang tahun ke-100 ini tidak pernah kehilangan pandangan akan Tuhan dan Juru Selamatnya. Ia adalah inspirasi bagi semua orang, seorang wartawan yang telah banyak menderita tetapi tahu bagaimana mencintai kebenaran melalui hidup dari pena.

Melansir Aleteia, 31/1/2021, pria yang akrab disapa Lolo ini lahir di Linares, Spanyol, pada 9 Agustus 1920. Salah satu dari tujuh bersaudara. Ayahnya meninggal di usia muda, dan ibunya harus mengurus anak-anak. Naas, saat Lolo berusia 15 tahun, ibunya juga meninggal. Dia dan saudara laki-laki dan satu saudara perempuannya, Lucia, tinggal bersama, dengan yang tertua di antara mereka melakukan yang terbaik untuk menafkahi keluarga.

Menjadi yatim piatu tidak membuatnya meninggalkan Tuhan dan Gereja. Sedari kecil Lolo telah menunjukkan spiritualitas yang nyata dengan kasih mendalam kepada Yesus. Sejak usia 11 tahun, kecintaannya pada iman Katolik menjadi fondasi terpenting dalam hidupnya. Ia bahkan menjadi anggota “Catholic Action” (CA) sepanjang hidupnya.

Ketika Perang Saudara Spanyol meletus pada tahun 1936, Lolo secara diam-diam membawa Komuni Suci kepada penduduk desa. Kala itu ia baru berusia 16 tahun. Ia tak gentar melanjutkan pelayanan rahasia ini hingga dua tahun kemudian ditangkap karena dianggap “terlalu Kristiani”. Konsekuensinya, Lolo harus menghabiskan malam Kamis Putih di sel penjara. Tetapi bagi Lolo, hal itu mudah dilakukan. Dia telah menyembunyikan Tubuh Kristus dalam karangan bunga kecil dan menyelundupkannya ke dalam selnya. Sehingga malam Kamis Putih, ia habiskan dengan beradorasi di selnya, memuji dan menyembah Tuhan yang juga menghabiskan Kamis Putih di dalam sel. Tak seorang pun dari sipirnya tahu. Keesokan harinya, saat Jumat Agung, ia dibebaskan dan menghabiskan Paskah bersama saudara laki-laki dan perempuannya.

Baca Juga Artikel:  Sinode III Keuskupan Sibolga: Bersama-sama Menemukan Kehendak Allah

Talenta Menulis

Dalam renungan spiritualitas bersama orang kudus muda CA bulan Juli 2011 dituliskan bahwa Lolo menunjukkan bakatnya sebagai penulis sejak ia masih sangat muda. Ia senang membaca berbagai publikasi dan buku dari segala aliran tulisan. Ketika masih remaja ia sudah biasa menulis di Majalah CA, kemudian menulis di koran lokal dan nasional. Rumah tempatnya dan saudara-saudaranya tinggal terletak tepat di seberang gereja. Dari balkon, Lolo bisa melihat sekilas keadaan di dalam gereja, dan ia selalu menghadap Tuhannya ketika ia membaca dan menulis. Sesekali, ia sering berhenti dari pekerjaannya dan dari balkonnya yang menghadap ke Paroki Santa Maria di Linares, ia biasa mengulang perkataan ini, “Sekarang berhadap-hadapan dengan tabernakel, saya akan menulis satu paragraf.” Ekaristi adalah jangkar dan sumber inspirasinya.

 

Beato Manuel Lozano Garrido (kanan) mendiktekan naskahnya kepada sang adik, Lucia.

Ia sendiri memandang pekerjaannya, melalui buku dan radio, sebagai sarana penginjilan. Ia bahkan mendirikan Sinai, sebuah kelompok yang terdiri dari 300 orang sakit. Kelompok ini mendoakan mereka yang terlibat di media dan yang menawarkan dukungan spiritual kepada mereka yang bekerja di bidang komunikasi sosial (komsos). Pekerjaannya membuatnya sibuk dari hari ke hari dan dengan hasil itu Lolo mampu menghidupi dirinya sendiri.

Ia juga berkesempatan mengikuti Konsili Vatikan II dengan cinta untuk Gereja dan menerbitkan, oleh dirinya sendiri, sebuah majalah bulanan untuk semua anggota Sinai. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kepercayaan penuhnya ada di dalam Kristus dan bahwa semua karyanya diilhami oleh-Nya.

Baca Juga Artikel:  Superior Provinsial SCJ Indonesia, Pastor Andreas Suparman, SCJ: Ingin Memadukan Seluruh Potensi Keberagaman

Dalam artikel yang pernah ditulisnya pada 8 April 1963 di Associated Press dan diterbitkan kembali oleh tujuh surat kabar, diceritakan olehnya tentang pengalaman yang ia alami saat mengamati dunia melalui lubang di tangan salib yang tergantung di tempat tidurnya dengan paku telah terlepas. Ia menulis, “Kebenaran adalah Yesus. Aku pernah melihat diriku begitu dekat dengan sosok-Mu. Kami begitu dekat sehingga terpikir olehku bahwa lubang di tangan-Mu adalah lensa yang bagus, yang terbaik, untuk melihat dan menyatakan kebenaran dunia.”

Dengan orisinalitas yang sama, Lolo juga telah menyusun “Dekalog Wartawan” yang sangat relevan hingga saat ini. Beberapa darinya berbunyi demikian:  Ketika Anda menulis, lakukanlah ini: berlutut untuk mencintai; duduk untuk menilai; tegak dan kuat, untuk melawan dan menabur; Kerjakan “roti” informasi yang bersih dengan “garam” gaya penulisan dan “ragi” kebenaran lalu sajikan itu dalam “potongan” untuk peminatan, tetapi jangan merebut sukacita pembaca dari menikmati, menilai, dan berasimilasi; serta Anda adalah Pohon Tuhan, mintalah Dia untuk membuatmu menjadi Pohon Ek, keras dan tidak bisa ditembus oleh sanjungan dan penyuapan.

Diserang Penyakit

Bagian paling sulit dalam hidupnya dimulai saat ia berusia 22 tahun. Lolo mengalami kelumpuhan total dan harus duduk di kursi roda selama sisa hidupnya. Ia benar-benar cacat dan pada tahun 1962, sembilan tahun sebelum kematiannya, kehilangan penglihatannya. Dalam salah satu kunjungannya ke Lolo, Pastor Roger dari Taizé menggambarkannya sebagai “sakramen rasa sakit” dan menuliskannya di kap lampunya. Namun, Lolo masih menikmati hidup dan tidak pernah kehilangan senyumnya. Sikap ini mengungkapkan sukacita yang berakar dari kedalaman jiwa Kristiani.

Diketahui ia diserang penyakit berbahaya yang dikenal sebagai spondylitis. Seorang dokter menjelaskan dengan mengatakan, “Bayangkan ada peniti yang menempel di setiap milimeter kulit Anda, dan itu belum seberapa parah penderitaannya. Nyeri menyerang leher, punggung, tulang belakang, dan akhirnya menyebabkan kelumpuhan.” Hari demi hari, penyakitnya ini mulai menyerang penglihatannya. Hanya dalam waktu singkat sebelum ia benar-benar menjadi buta. Ironi besar dalam hal ini adalah ketika penyakitnya melumpuhkannya, ini justru menjadi masa yang paling produktif dalam hidupnya.

Baca Juga Artikel:  Manyambut Hari Pangan Sedunia, Kardinal Suharyo: Menghargai Pangan Lokal, Memartabatkan Petani dan Nelayan

Selama 51 tahun hidupnya, beberapa orang bahkan beranggapan bahwa ia hanya hidup 28 tahun. Mengapa? Karena 28 tahun terakhir hidupnya, ketika ia buta dan di kursi roda, adalah saat ia menjalani hidupnya dipenuhi dengan kegembiraan. Sukacita ini sangat terkait dengan kekuatan imannya, yang ia jalani sebagai bagian dari CA. Di sinilah imannya telah dibentuk dan diperkuat, membantunya untuk semakin mencintai Yesus dan Bunda Maria setiap hari.

Kombinasi kebutuhan yang dibentengi oleh panggilan membuat Lolo menjadi wartawan, bahkan saat terkurung di balik tembok rumahnya. Ia mengetik artikelnya sampai ia hanya bisa menggunakan satu tangan. Ketika ia tidak bisa mengetik dengan kedua tangan, ia mencatat kata-katanya. Akhirnya, saudara perempuannya, Lucia, mulai menerima dikte darinya. Selama tahun-tahun itu, ia menulis sembilan buku dan artikel surat kabar yang tak terhitung jumlahnya. Tapi yang terpenting, ia menulis cerita dengan hidupnya, tentang bagaimana hidup, dan bagaimana menderita. Dia tidak mengeluh, berjuang melawan depresi, dan menolak kesedihan. Dalam refleksinya ia menulis, “Pada awalnya tampaknya penderitaan akan datang dengan munculnya seorang penuai. Namun sebaliknya, yang dilakukannya adalah menabur harapan. Karena saya harus tulus, saya memberi tahu Anda bahwa hanya penderitaan yang dapat membuat panggilan manusiawi dan impian spiritual saya menjadi mungkin.”

Lolo yang mengalami kesulitan bernapas parah akibat penyakitnya, terkena flu biasa dan meninggal karena komplikasi pada tanggal 3 November 1971. Ia berusia 51 tahun. Pada tanggal 19 Desember 2009, Paus Benediktus XVI mengakui mukjizat yang dikaitkan dengan perantaraan Lolo dalam penyembuhan seorang anak berusia dua tahun yang menderita kegagalan banyak organ karena penyakit yang disebut sepsis gram negatif. Pada 12 Juni 2010, Manuel Lozano Garrido dibeatifikasi dan dinyatakan sebagai beato. Ia sekarang dikenal sebagai pelindung jurnalis dari kalangan awam pertama.

Felicia Permata Hanggu

HIDUP, No.20, Tahun ke-75, Minggu, 16 Mei 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles