web page hit counter
Senin, 14 Oktober 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Doa Ini Menjadi Pengikat Paling Kuat antara Tradisi Yahudi dan Tradisi Kekristenan

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COMDoa Bapa Kami (selanjutnya  DBK) diamini sebagai doa yang diajarkan Tuhan Yesus kepada para murid-Nya. Dalam perjalanan waktu, DBK tampil sebagai salah satu penanda identitas orang Kristiani dari berbagai macam denominasi Gereja. Meski orang Kristiani mengklaim DBK adalah doa ‘milik’-nya sendiri, pertanyaan menggelitik bisa saja muncul, seperti: “Apakah DBK sungguh-sungguh murni Kristiani?” Atau dalam pertanyaan lain, “Jika Yesus yang pernah hadir dalam sejarah adalah orang Yahudi, apakah tidak menutup kemungkinan bahwa doa yang diajarkan Yesus itu memiliki akar dalam tradisi doa orang Yahudi?” Sejumlah ahli Kitab Suci berasumsi, DBK mengandung unsur ke-Yahudi-an. Dan, jika mendasarkan asumsi mereka, lantas bagaimana hal itu dijelaskan? Satu hal yang mesti dicatat sejak awal di sini adalah bahwa “unsur ke-Yahudi-an”  mengacu pada tradisi atau ungkapan yang  dapat ditemukan dalam Perjanjian Lama dan tulisan-tulisan Yahudi di luar Alkitab.

Dua Versi DBK

Dalam Alkitab, rumusan DBK hanya ditemukan dalam Injil Matius dan Lukas. Versi panjang DBK terdapat dalam Matius 6:9-13, yang terletak di pusat perikop Khotbah di Bukit (Matius 5:1-7:12). Versi pendek DBK terdapat dalam Injil Lukas 11:2-4. Dalam Injil Lukas, DBK merupakan respons Yesus atas permintaan para murid-Nya, “Tuhan ajarilah kami berdoa” (Luk 11:1). Dalam tradisi Yahudi, respons Yesus dengan mengajarkan sebuah doa sesungguhnya adalah tugas dan kewajiban dari seorang Rabi Yahudi. Ditegaskan pula dalam sebuah Talmud, bahwa sudah menjadi kebiasaan bagi seorang rabi yang bereputasi tinggi untuk mengajarkan doa pendek yang khas dari dirinya sebagai tambahan atas doa-doa yang sudah berlaku umum.

Kaligrafi Doa Yahudi

Para ahli Kitab Suci berbeda pendapat mengenai orisinalitas dua versi DBK tersebut. Di satu pihak, ada yang beranggapan, versi DBK yang lebih tua dan orisinil adalah versi pendek dalam Lukas. Ini mengikuti prinsip kritik teks: lectio brevior praeferenda (teks yang lebih pendek, yang lebih dipilih). Lantas, penginjil Matius hanya mengembangkan lebih lanjut DBK versi Lukas ini. Di lain pihak, ada yang berpedapat, versi DBK dalam Injil Matius adalah yang lebih tua dan orisinil. Penginjil Lukas  hanya meringkas DBK versi panjang yang ditulis oleh Matius. Pendapat lain, kedua versi itu berasal dari dua tradisi yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.

Baca Juga Artikel:  Sesudah 100 di Indonesia, Misi Baru Para Dehonian

Di luar tulisan di Perjanjian Baru, rumusan tertua DBK dapat ditemukan dalam tulisan Didakhe (semacam pedoman hidup Kristiani pada akhir abad pertama) (8:2). Dalam Didakhe, selain rumusan DBK, terdapat ajakan untuk mendaraskan DBK sebanyak tiga kali sehari. Versi DBK dalam Didakhe mirip dengan versi DBK dalam Injil Matius, dengan tambahan doxologi penutup: “Karena milikmulah kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya.” Selanjutnya, rumusan penutup ini menjadi lebih panjang dan lebih ‘Kristiani’: “Sebab Engkaulah empunya  Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan Bapa dan Putera dan Roh Kudus, sekarang dan selama-lamanya dan sampai sepanjang segala abad” (Liturgi Ilahi Yohanes Krisostomus, abad V).

Rumusan doxologi di akhir DBK bernuansa Yahudi lantaran berakar dari Perjanjian Lama, khususnya kitab 1 Tawarikh 29: 11: “Ya TUHAN, punya-Mulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi! Ya TUHAN, punya-Mulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya sebagai kepala”

Amidah versi Yesus

DBK mirip dengan doa harian orang Yahudi, yaitu Amidah ‘Doa Berdiri” (atau Shemoneh Esreh). Karena itu, ada yang menganggap DBK sebagai Amidah versi Yesus. Sama seperti DBK, Amidah terbagi atas dua bagian pokok: pujian dan permohonan kepada TUHAN.

Dalam Amidah, seruan kepada Allah menggunakan ungkapan “Bapa kami” (Ibrani: Abinu atau Abba). Dan, ‘Bapa’ merupakan salah satu sebutan (atau gelar) untuk Allah dalam Perjanjian Lama meskipun ini sama sekali tidak berarti Dia itu berjenis laki-laki (Ul. 32:6; Yes. 64:8). Faktanya, Allah juga sering dilambangkan sebagai Ibu (Yes. 49:15; 66:13). Selain dalam Amidah, kaum Hasidim (salah satu kelompok politis religius Yahudi pada zaman perang Makabe) dalam doanya juga berseru ‘Bapa kami yang ada di surga.’ Sama halnya, dalam doa yang didaraskan dalam upacara Tahun Baru Yahudi (Rosh-Hasanah), diserukan “Bapa kami, raja kami, bukalah segera kemuliaan Kerajaan-Mu.”

Baca Juga Artikel:  Uskup Sibolga, Mgr. Fransiskus Sinaga: Menjadi Murid Yesus secara Total

Pujian “Dikuduskanlah (atau dimuliakanlah) nama-Mu” sangat jelas mengingatkan kembali nubuat Yehezkiel yang berkenaan dengan Allah yang “menguduskan” nama ilahi-Nya untuk memperlihatkan keilahiannya melebihi para ilah lainnya supaya “bangsa-bangsa mengetahui bahwa Akulah TUHAN” (Yeh 36:22-27; bdk. Yoh 17:1-12). Di samping itu, “Dikuduskanlah nama-Mu” ini mirip dengan doa Kaddish (himne pujian kepada Allah berkaitan dengan kekudusan nama Allah): “Semoga nama-Nya yang agung dikuduskan di dunia yang Dia ciptakan seturut kehendak-Nya, dan semoga Dia menegakkan kerajaan-Nya…segera dalam waktu yang dekat.” Dalam doa “edushshah” yang didaraskan pada hari Sabat juga dikatakan, “Semoga Engkau dimuliakan dan dikuduskan di tengah Yerusalem…supaya mata kami melihat Kerajaan-Mu.” Dalam doa ‘Al ha-Kol’ (Massek. Soferim 14:12), hal serupa juga ditunjukkan “Dimuliakan dan dikuduskanlah. . . jadilah nama raja segala raja yang agung di seluruh dunia, yang Dia ciptakanya, dunia ini maupun dunia yang akan datang, sesuai dengan kehendak-Nya.”

Dalam bagian permohonan, permohonan akan makanan yang secukupnya menggemakan kembali ungkapan dalam kitab Amsal 30:8 “Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku.” Sementara itu, pemohonan akan pengampunan atas “kesalahan” (harfiah ‘hutang’) dalam versi Matius atau “dosa” dalam versi Lukas juga bernuansa Yahudi. Dalam bahasa Aram, istilah ‘hutang’ sering dipakai untuk kiasan dosa (bdk. Teks Gulungan Qumran 11Q Targum Ayub 34.4,  Misnah ’Avot 3.17). Pemakaian kiasan hutang mau menegaskan, orang yang tidak dapat memberikan pengampunan, tidak dapat menerima pengampunan juga. Ajakan untuk mengampuni kesalahan orang lain terungkap juga dalam kitab Yesus bin Sirakh: “Ampunilah kesalahan kepada sesama orang, niscaya dosa-dosamupun akan dihapus juga, jika engkau berdoa”(Sir 28:2).

Baca Juga Artikel:  Mencecap Kesederhanaan dan Keheningan di Stadion Bola

Dalam permohonan yang berkaitan dengan pencobaan, seruan “Jangan  masukkan kami ke dalam pencobaan” dapat ditemukan dalam doa pagi orang Yahudi yang memohon agar TUHAN tidak membawa orang beriman “ke dalam kuasa dosa, kuasa kesalahan, kuasa pencobaan, dan kuasa segala sesuatu yang memalukan” (Berakhot 60). Sementara itu, permohonan agar dibebaskan dari si Jahat atau kejahatan dalam DBK, mirip dengan doa kaum Hasidim agar dibebaskan dari si Jahat (Berakhot. 10b-17a, 60b). Dalam doa itu, istilah si jahat dapat diartikan sebagai keinginan jahat (Ibrani: yeẓer ha-ra) atau teman yang jahat atau malapetaka yang jahat.

Dari studi singkat di atas, tetap harus diakui, unsur-unsur ke-Yahudi-an dari DBK ini sudah lebih dulu hidup dan berkembang sebelum Kekristenan lahir. DBK terlihat mewarisi keyakinan dan gagasan teologis ke-Yahudi-an. Sekalipun ada yang berasumsi bahwa DBK adalah kombinasi indah dari kutipan doa dan kepercayaan dalam tradisi doa Yahudi, harus tetap disadari bahwa Yesuslah yang menggubah DBK secara baru untuk para murid-Nya dan orang Kristiani pada umumnya.

Fakta ini kiranya tidak perlu diingkari. Sebaliknya, perlu disyukuri. Bagaimanapun juga, DBK tetap berperan sebagai doa penanda identitas orang Kristiani. Yesus atau tradisi komunitas Kristiani awal telah mewariskan rangkaian doa ini dan orang Kristiani harus menjaga dan merawatnya. Di sini pun, kita juga disadarkan, DBK adalah pengikat paling kuat antara tradisi Yahudi dan tradisi Kekristenan.

Romo Albertus Purnomo, OFM, Penulis dan Pengajar Kitab Suci STF Driyarkara, Jakarta

HIDUP, Edisi No. 22, Tahun ke-75, 30 Mei 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles